Representasi Keberagaman melalui Bangunan di Tiongkok Kecil

Juli Wira
PLURAL(IS)ME
Published in
3 min readOct 21, 2017

Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.

Tambak garam berpetak di pinggir jalan. Garam menggunung di sisi tambak. Bau khas pantai mulai tercium dari dalam mobil. Hawa panas juga telah terasa meskipun belum turun menapaki jalanan. Bangunan kuno berjajar di sisi kanan jalan. Beberapa bergaya Eropa, beberapa bergaya Tionghoa, dan beberapa bangunan juga memperlihatkan bangunan rumah bergaya Jawa. Banyak ragam bangunan yang terlihat di sana, menandakan betapa beragamnya masyarakat yang tinggal di Kota Lasem.

Lasem merupakan sebuah kecamatan yang menjadi bagian Kabupaten Rembang. Kota yang dijuluki Tiongkok kecil ini juga disebut sebagai laboratorium penelitian keberagaman dan pluralisme. Meskipun disebut sebagai sebuah Tiongkok kecil, Lasem sepintas tak mencirikan kampung Tionghoa dari bangunan secara keseluruhan. Namun, ketika memasuki gang-gang kecil di sisi kiri dan kanan jalan raya, bangunan bergaya Tionghoa sangat banyak terlihat. Tembok luar yang tinggi dengan gerbang ganda menjadi cirinya. Filosofinya, agar mereka merasa aman tinggal dalam sebuah ‘benteng’ yang mereka ciptakan sendiri.

Gerbang depan Lawang Ijo (Foto: Juliwira)

Lawang Ijo menjadi tempat tinggal kami, 10 peserta Lasem Pluralism Trail 2017; sebuah kegiatan belajar keberagaman yang digagas oleh EIN Institute-Semarang. Lawang Ijo adalah salah satu contoh bangunan bergaya Tionghoa yang ada di Lasem. Rumah ini dulunya dimiliki oleh seorang saudagar Tionghoa, sebelum kemudian dibeli oleh KH M. Zaim Ahmad Ma’shoem yang biasa disapa Gus Zaim; pimpinan Pondok Pesantren Kauman-Lasem. Rumah ini dibeli Gus Zaim dengan tujuan melindungi rumah-rumah bergaya Tionghoa sehingga masih bisa menjadi cagar budaya di Lasem.

Bagian depan Lawang Ijo sesuai dengan rumah bergaya Tionghoa pada umumnya. Pada bagian pintu gerbang terdapat tulisan Cina. Di balkon rumah tergantung lampion berwarna merah di langit-langit rumah, ada juga lampu hias kuno yang memperkuat kesan tua pada rumah itu. Pintu dan jendela rumah mirip dengan bangunan gaya Belanda. Lantai rumah tidak menggunakan keramik sehingga orisinalitas bangunan lama masih melekat pada Lawang Ijo.

Selain rumah, ada beberapa keunikan bangunan di Lasem, khususnya di Desa Karangturi. Salah satunya adalah poskamling yang berada di depan Pesantren. Poskamling ini menggambarkan sebuah perpaduan antara budaya orang Indonesia dengan orang Tionghoa. Bangunan poskamling yang berupa ruangan kecil itu didominasi dengan warna merah dan hitam. Lalu, tulisan ‘Poskamling’ di papan nama juga sedikit memadukan huruf latin dengan gaya tulisan Cina sehingga jika tidak dilihat dengan cermat, orang akan mengira itu adalah tulisan Cina.

Adanya perpaduan budaya yang terlihat dari poskamling memberi bukti bahwa masyarakat Lasem memiliki semangat toleransi yang tinggi, mengingat bangunan itu juga berdiri di depan Pondok Pesantren.

Tidak hanya jenis bangunannya, letak bangunan di Lasem juga sangat unik. Mendengar langsung dari Yon Suprayoga, seorang warga Lasem yang memahami sejarah kota kecil ini; ia mengisahkan bahwa letak bangunan yang merepresentasikan berbagai agama berdampingan dalam satu daerah yang sama, hanya terpisah dengan jarak 300 meter.

Kita bisa menyaksikan bagaimana bangunan-bangunan tersebut berdiri berdampingan; pesantren, gereja, kelenteng, dan vihara terbangun di satu lingkungan yang hanya dipisahkan oleh beberapa rumah. Hal ini, setidaknya bagi saya, menjadi menarik karena meskipun banyak daerah di Indonesia melakukan hal yang sama, tapi tak ada yang bisa menyaingi Lasem.

Tak hanya itu, sebuah Pondok Pesantren juga berdiri di lingkungan kampung Tionghoa. Bagi saya, dengan hal ini Lasem memberikan pandangan lain mengenai stereotip kehidupan orang Tionghoa dan interaksinya dengan kelompok etnis lain. Keberadaan pesantren ini menjadi salah satu contoh.

Jika stereotip tentang kehidupan orang Tionghoa yang eksklusif masih ada, dan penerimaan etnis lain terhadap mereka tidak baik, apakah mungkin ada sebuah pesantren yang berdiri di tengah kampung Tionghoa?

Setelah tinggal, menjelajah, dan mendengar tentang Lasem, saya sadar bahwa apa yang saya lihat sekarang tentu melalui proses panjang. Jenis bangunan, kepemilikan, dan letak bangunan yang merepresentasikan agama; semua memiliki satu benang merah yang menunjukkan toleransi. Adanya perbedaan dalam kelompok masyarakat ini tidak menghentikan semangat toleransi dalam diri warga, meskipun apa yang saya bahas hanya sebagian kecil dari kehidupan multikultur di sebuah kota kecil di pesisir utara Jawa.

Dari sebagian kecil ini kita bisa melihat bahwa kebudayaan yang berbeda bisa menjadi sebuah napas bersama dalam mewujudkan hidup yang lebih damai.

Pengalaman selama tiga hari di Tiongkok kecil ini membuat saya optimis bahwa Indonesia mampu menjadi negara yang lebih toleran, meskipun perlu waktu yang panjang untuk saling berdamai dengan perbedaan.

--

--