Rumus Sakti Toleransi

Antonio Winatian
PLURAL(IS)ME
Published in
3 min readOct 22, 2017

bukan cuma bimbel loh yang punya..

suatu pantai di Lasem

Ditulis sebagai refleksi pasca menyelesaikan kegiatan belajar keberagaman “Lasem Pluralism Trail 2017” 12–15 Oktober 2017.

Terlahir sebagai seorang Tionghoa di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dilihat dan diperlakukan berbeda sudah menjadi hal lumrah. Kulit kuning dan mata sipit menjadi tanda pengenal yang lebih sakti dibanding Kartu Tanda Penduduk ataupun berkenalan langsung.

Kesipitan, dengan anehnya dipercaya sebagai penentu kemampuan ekonomi dan perilaku sosial dari sang pemilik mata.

Beberapa generasi terlewat, tetapi hal ini tidak berubah. Malahan, pandangan ini seolah subur dilestarikan agar dapat dipanen pada waktu yang tepat demi kepentingan pribadi. Tak ayal, meski hanya dipicu oleh bisikan kecil, massa sanggup berkumpul dan bergerak dengan semangat sembari meneriakkan kata-kata diskriminatif dengan lantang. Nyawa toleransi di Indonesia tidak lama lagi.

Inilah yang kupahami tentang negeriku, Indonesia. Inilah yang kurasakan sebagai salah satu dari 1.8% Warga Negara Indonesia ber-etnis Tionghoa.

Pemahaman ini pula lah yang menyertaiku sebagai salah satu peserta Lasem Pluralism Trail 2017. Sekilas mencari, banyak orang berkata bahwa Lasem adalah tempat dimana ‘toleransi’ benar-benar memanifestasikan wujudnya. Dan ternyata, ‘kata orang’ tersebut bukan omong belaka.

Tiga hari berkeliling Lasem sambil dijejali berbagai materi, mengantarkanku ke beragam pemahaman yang baru; salah satunya sukses menjadi obat dari ketakutan yang kurasakan. Begitu perjalanan kami berakhir, aku merenung bahwa ternyata toleransi di Indonesia akan segera MATI bila semua orang tetap duduk diam.

Faktanya, di Lasem sendiri, konflik TIDAK terhindarkan. Beragam konflik timbul dan tenggelam seperti di daerah lain. Kerusuhan ‘98? Lasem juga akan tercatat di sejarah sebagai salah satu tempat pembantaian bila pada waktu itu salah satu pemuka agama Islam tidak berteriak lantang memerintahkan para pengacau untuk pulang.

Pada 2012, perayaan besar-besaran umat Tionghoa juga sempat memicu rasa iri dari etnis lain. Hal ini direspon cerdas dengan mulai diadakannya Festival Lasem pada 2014; yang melibatkan semua warga terlepas dari label etnis apapun. Persatuan, toleransi, apapun sebutannya tidak akan tercipta bila orang-orang hanya duduk diam.

Di Lasem, persatuan ini disengaja dan diciptakan oleh mereka sendiri.

Masjid sengaja dibangun di tengah lingkungan etnis Tionghoa dan kelenteng sengaja dibangun di daerah yang dekat dengan pesantren. Ini menjadi salah satu contoh nyata.

Kini, masyarakat Lasem juga sedang berusaha agar bangunan-bangunan tua diakui sebagai cagar budaya agar tidak dihancurkan atau dirusak. Hal ini merupakan salah satu upaya agar para pewaris Lasem tetap ingat akan kentalnya toleransi yang telah terbangun sejak lama saat melihat bangunan- bangunan tersebut.

Jadi, untuk seluruh teman sebangsa yang punya kegalauan seperti saya, sadarlah. Kita BISA melakukan sesuatu untuk mengubah negeri ini menjadi lebih baik, faktanya, kekuatan toleransi Lasem juga tidak ujug-ujug muncul dengan sendirinya toh?

Mulai dengan hal sederhana misalnya laporkan akun yang menghembuskan isu SARA saat kita menggunakan media sosial. Selain itu, kita juga bisa menulis dengan tema persatuan dan toleransi sebagai lawan dari berita-berita miring yang berseliweran dimana-mana.

Tetapi, jangan sampai lupa, semua ini harus dilakukan sembari kita banyak belajar dan banyak paham agar tidak terdiam saat didebat oleh kaum miring yang banyak omong.

Akhir kata, ingatlah bahwa golongan orang yang paling berdosa adalah orang yang tahu, tetapi TIDAK MAU melakukan apapun dengan pengetahuannya.

Bandung, 22 Oktober 2017.

--

--