“Salah Sambung!”

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME
Published in
4 min readOct 25, 2017
www-cdn.oneindia.com

Tahun 2015 Rajkumar Hirani merilis film tentang alien yang terdampar di bumi. Sang alien, PK, mempersoalkan perdebatan keberagamaan yang ternyata sampai hari ini masih mengemuka. Agama eksklusif versus agama inklusif. Agama individu dan agama sosial. Kutub puritan dan kutub moderat. Lantas, pilihan mana yang tepat?

“Kita semua anak-anak Tuhan kan? Lalu, ayah macam apa yang selalu menuntut anaknya untuk memberinya susu dan memujanya?” tanya PK.

“PK, jika demikian, maka apa yang akan Tuhan katakan?” timpal Jaggu.

“Dia akan bilang, ‘setiap hari, jutaan anak kelaparan di Delhi. Kenapa meninggalkan mereka dan memburu-Ku? Jagalah mereka! Biarkan mereka yang meminum susu, bukan Aku.’” jawab PK.

Begitulah kutipan dialog antara PK, yang diperankan oleh Aamir Khan, dengan Jaggu, yang diperankan oleh Anushka Sharma, dalam film PK. Film komedi India yang mengajak kita merenung. Sutradara Rajkumar menyindir pola beragama yang cenderung mengedepankan ritual ibadah. Beragama yang hanya sibuk mengejar kenyamanan individu. PK menyebutnya “salah sambung!”

Nah, masih seputar keberagamaan. Terlebih Islam, karena saya muslim. Akhirnya saya sederhana saja: beragama ialah bersentuhan dengan keseharian yang sepele, lumrah, dan wajar. Beragama merupakan cara memanusiakan yang lain, terutama dengan yang berbeda keyakinan. Kalau berbaikan dengan sesama agama, lebih-lebih sesama mazhab, niscaya sudah dengan sendirinya. Namun ber-koeksistensi dengan sesama umat manusia, sesama keluarga besar manusia, inilah pekerjaan rumah kita yang tak kunjung rampung.

Pekerjaan rumah yang lebih gampangnya saya sederhanakan dengan istilah proyek humanisasi. Memanusiakan manusia. Menyapa yang tersisih, yang marginal, dan minim perhatian. Menyatu rasa sesama manusia, yang penuh empati. Peka terhadap kesulitan. Dan saling mengulur nilai kebajikan. Ya, pekerjaan merawat nilai fitrah yang sebetulnya lahir seiring kelahiran manusia itu sendiri.

Meski nilai bawaan lahir, di sana-sini, sampai hari ini, masih saja kita dijejali tindak dehumanisasi, diskriminasi, saling hujat, saling tuduh kafir dan fatwa sesat, hingga pengusiran dari kampung halaman. Belum lepas dari ingatan: warga Syiah di Madura yang terpaksa mengungsi. Mereka terusir. Mereka harus meninggalkan tempat tinggal saat itu juga. Begitu pula, saudara-saudara Ahmadiyah mengalami nasib serupa. Mereka tidak terakui sebagai sesama muslim, lantaran kukuh menjalani keyakinan: ada pewarta atau nabi setelah Nabi Muhammad. Syiah dan Ahmadiyah, tidak mendapat tempat di hati mayoritas muslim. Padahal jelas mereka itu juga umat manusia, bukan setan, jin, dan kerumunan binatang.

Hukum rimba, yang pantas dan memang jadi gaya keseharian kehidupan binatang, ternyata juga berlaku di dalam corak pemikiran sebagian umat Muhammad. Mereka itu sebetulnya juga minoritas, tetapi bersuara lantang dan merasa berhak untuk menyingkirkan “duri” Ahmadiyah dan Syiah dari tubuh Islam. Begitu pula terhadap non-muslim, terutama umat Kristiani. Saya sering mendapati kata-kata ketus dan keengganan kawan-kawan “islamis” itu untuk menyapa sesama yang Kristen. Saudara-saudara kristiani, mereka anggap najis, yang seolah tak boleh disentuh, tak elok disapa, hingga pengharaman mengucap selamat hari Natal. Mereka acap memplesetkan Selamat Hari Natal dengan Selamat Dari Natal.

Duh, betapa mereka! Saya sakit mendengar guyonan rendah mereka tersebut. Saya tak habis pikir, apa yang salah dengan Natal. Ada apa dengan Natal? Sekadar mengucap tanda empati sesama manusia, sesama umat beragama, lantas begitu ringan mereka vonis sebagai biang kemusyrikan. Mengucap Natal dinilai kafir! Sehingga mengubah kata “hari” menjadi “dari”, seakan tiket surga telah menanti.

Apakah sedemikian jadul-nya Tuhan? Sehingga, untuk menentukan baik buruk seseorang, layak tidaknya menghuni surga, hanya dengan memvonis sesat kepada yang tak sealiran? Sedemikian kuno-kah Tuhan? Astaghfirullah!

Kalau memang benar demikian tradisi Tuhan: kuno, demen mengeksklusifkan, sektarian, dan rasis; detik ini pula, saya keluar dari dogma kebertuhanan! Saya tak akan bertuhan. Saya akan memilih jadi ateis. Bertuhan saja tidak apalagi beragama.

Namun, saya belum sempat ke arah sana, takdir menuntun saya untuk terlebih dahulu menyaksikan film PK. Saya tertegun saat Aamir Khan menyebut “salah sambung” kepada umat beragama yang hanya khusyuk beribadah dan hobi menghitung-hitung pahala. Sutradara Rajkumar Hirani meyakinkan saya bahwa bertuhan itu tidak sama dengan bersorban dan bermanis-manis di depan umum. Rajkumar melalui tokoh PK menggugah bahwa bertuhan itu berarti membendung luka hati sesama.

PK membongkar kesalahpahaman kita tentang sasaran ibadah. Tapasvi Maharaj, lelaki bertubuh tambun, memanfaatkan ketakutan banyak orang atas orientasi hidup. Ia berhasil mengecoh banyak kalangan untuk mengalihkan harta pada penggelembungan kantong pribadinya dan pembangunan rumah ibadah. PK mengkritik itu. Bertuhan yang sesungguhnya adalah mengedarkan pandangan kepada yang kekurangan yang ternyata jumlahnya jutaan, bukan dengan mengumbar ketakutan dalam ruang ibadah, apalagi pada keagungan seseorang, Tapasvi.

Dari situ saya menemu titik terang, bertuhan sama artinya dengan kebahagiaan bagi setiap orang, bahkan setiap makhluk. Tuhan itu penuh rahmat. Penuh kasih dan penyayang. Kira-kira Islam begitu pula. Saya masih memahaminya sebagai doktrin yang mengusung kasih sayang terhadap sesama. Islam adalah perjuangan membela kaum tersisih (sabilil mustadh’afin). Agama humanis. Agama yang hadir untuk menegakkan rahmat bagi semesta kehidupan. Bukan hanya sesama muslim yang sealiran, melainkan keseluruhan umat manusia. Bahkan segenap makhluk penghuni bumi.

Akhir kalam, saya miris dengan limpahan vonis sesat, kafir, fatwa murahan, dehumanisasi, dan beragam diskriminasi. Sungguh, nalar saya tidak sampai untuk memahami bahwa Tuhan itu diskriminatif. Bahwa yang berhak surga hanyalah Islam. Bahwa yang menganut selain Islam bakal mendekam di neraka. Bahwa yang banyak istri itu makin mendekati sunnah nabi, kian dekat Tuhan. Berpoligami adalah tiket gratis masuk surga. Jelas sudah, sebagaimana ungkapan PK, itu cara beragama yang “salah sambung”.

Ungaran, 25/10/2017: 12.30

--

--

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME

penyuka percakapan, tapi lebih sering sebagai penyimak curhat