Selamatkan Indonesia dari Puritanisme!

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME
Published in
5 min readOct 24, 2017
Ilustrasi: Alkhoirot.com

Syukurlah, saya berkesempatan menikmati euforia negeri ini. Euforia di mana-mana. Rakyat bebas menyuarakan hak, yang tiap kepala tak sama. Menyuarakan politik adalah hak.

Hak yang konon dari kata haqq punya dua makna: ia berarti hak, dan juga bisa berarti kebenaran. Sebagaimana kita ketahui, hak bersuara atau berpendapat telah dikukuhkan dalam UUD ’45, yang artinya siapa pun, termasuk negara tak diperbolehkan membatalkan atau menghilangkannya dari diri seseorang. Bahkan Tuhan pun tidak akan mencabut hak yang dimiliki seseorang kecuali jika orang yang memiliki hak tersebut memutuskan untuk membatalkan atau melepaskan haknya.

Nah, terkait euforia, seakan baru kemarin sore kita berdemokrasi. Sehingga kebebasan berbicara, menulis dan berserikat, tiba-tiba menjadi sesuatu yang menggembirakan, gampang terjangkau, murah. Saking murah, silang sengkarut gagasan, pendapat, tulisan, saling dukung dan tuding, serta saling caci sontak mengemuka. Langsung tersiar dengan mudah. Dalam kondisi tertentu, malah bikin beberapa karib saya eneg dan apolitis.

Bagi saya tak jadi soal. Yang eneg dan benci bicara politik, yang bersikap netral dan kritis terhadap pilpres, pilgub. Yang jenuh dengan koalisi-koalisian di gedung DPR, hingga yang vulgar hendak bubarkan FPI. Itu semua adalah wujud dari hak berpendapat. Itu adalah kebenaran. Dan itu sangat suci.

Karena kesuciannya, terasa tak wajar kalau seseorang meremehkan orang lain yang berani menyuarakan gerundelan-nya. Orang yang berani menentukan pilihan, menuliskan pendapat, menyuarakan opini; dianggap bodoh. Sementara orang yang anteng tak mengambil pilihan dan bersuara sumbang malah dianggap mulia. Jelas bukan begitu.

Yang telah mengambil keputusan untuk ini dan itu, berarti telah memberi ransum ruhaninya. Itu suatu kesucian. Jadi serasa tak etis, kalau kita malah melukainya dengan menganggap diri lebih tepat dan pener dalam bersikap ketimbang yang lain.

Soal tendensius, wajarlah! Sebab dalam menimbang pilihan tak mungkin lepas dari perasaan suka dan tak suka. Dalam berpendapat, wajar kalau seseorang ingin menonjolkan calon pilihannya. Dalam bersuara, wajar kalau seseorang ingin menampilkan konsep dan kepribadian sang calon.

Yang tak wajar dalam berargumentasi adalah menyudutkan gestur atau gaya fisik macam kerlingan mata, atau gaya bicara yang tak cekatan, dan sebagainya. Yang tak patut adalah menafikan bahkan ingin menghapus keberadaan yang berbeda-beda.

Lepas dari itu semua, saya tetap bersyukur karena hidup di tengah kurun waktu yang “semrawut”. Hari-hari ini, kita senandungkan energi positif ke langit nusantara. Kita dendangkan bait-bait yang memuji keagungan-Nya, agar bumi Indonesia tetap lestari. Pada saat bersamaan, kita juga mesti hati-hati dan sebisa mungkin menghadang laju ekstremisme (dalam suku, agama, dan ras) agar negeri maritim warisan Sriwijaya dan atau negara darussalam warisan Majapahit ini tetap ada dan tercantum dalam peta dunia hingga menuntaskan transisi 70–100 tahun.

Ya, kini saya hidup di tengah gelombang demokratisasi yang kian marak. Pancasila yang turun-naik dan pelan tapi pasti terus digali lagi falsafah nilainya. Gagasan pluralisme terus mengalir tak terbendung, meski dari beberapa kelompok agama juga getol menghadang laju pluralisme. Bahkan ingin melenyapkan. Nah, yang terakhir inilah yang masalah.

Adalah MTA (Majelis Tafsir Al-Qur’an) satu dari sekian kelompok muslim yang cenderung anti-pluralisme. Sebuah kelompok pengajian berbentuk yayasan dan berpusat di Solo, yang saya kenal sebagai kelompok puritan.

Lebih dari setahun (2009–2010), saya aktif mengikuti pengajian ahad pagi MTA di kantor pusat, depan Kraton Mangkunegaran, solo. Dari kelompok inilah, saya mendapati konsep puritan yang literalisme, anti-rasionalisme, dan anti-interpretasi.

Terekam jelas dalam benak, bahwa setiap kali saya mencoba menyodorkan wacana tasawuf, langsung divonis sesat karena bukan ajaran nabi dan para sahabat. Setiap kali saya mengungkap makna filosofi Rukun Islam dan Iman, disebutnya agama (Islam) itu tak serumit filsafat yang kebarat-baratan.

Terakhir, yang kemudian memaksa saya out dari kerumunan puritan itu, karena saya menyebut Nasrani sebagai “saudara”. Menurut mereka, sebagai muslim mesti tegas dan jelas membenci bahkan memusuhi non-muslim. Muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi ucapan salam/selamat kepada non-muslim. Dan kalaupun membalas ucapan salam dari non-muslim, semestinya tak mendoakan keselamatan atau kedamaian bagi si non tersebut.

Terus terang, saya gemas dengan pikiran eksklusif mereka. Yang menguasai otoritas “perintah Tuhan” dengan cara intoleransi dan menebar kebencian pada “yang lain”. Saya merasakan benar betapa gairah mereka menabuh genderang kebencian dan antipluralisme.

Saya malu, lantaran mereka, keindahan dan keluhuran Islam jadi omong kosong. Lantaran nyaring suara anti-minoritas, kita kerap mendengar atau menyaksikan perusakan rumah ibadah gereja, pembakaran masjid Ahmadiyah, pelarangan tahlilan, selebaran anti-pluralisme, dan anti-Pancasila.

Saya meyakini, Tuhan menghadirkan manusia ke muka bumi tak sekadar berada, tapi tertuntut tanggung jawab untuk memberadabkan bumi. Memberadabkan sama artinya dengan tidak menyebarnya kekerasan, kebencian, balas dendam dan intoleransi. Memberadabkan juga berarti tak merusak keindahan warna-warni ciptaan Tuhan. Tidak melukai perasaan sesama. Dan tak menyakiti nalar sehat “yang lain”. Memberadabkan bumi adalah mewujudkan nilai kebertuhanan di atas muka bumi. Menyebarluaskan sifat welas asih. Kasih sayang pada sesama.

Gerakan-gerakan puritan, macam MTA ini, selalu menyikapi segala sesuatu dengan logika superioritas. Merasa lebih unggul yang disertai sikap arogansi, perasaan selalu benar ketika berhadapan dengan “yang lain”.

“Yang lain” itu adalah Barat, nonmuslim, para pengusung pluralisme, hingga bahkan kaum perempuan muslim. Dalam berhadapan dengan teks kitab suci, kelompok puritan itu membesar-besarkan peran teks ketimbang nalar logis. Seakan makna teks itu sudah sedemikian jelas dan gamblang, sehingga subjektivitas manusia dalam menafsirkan teks tidaklah relevan. Seakan nalar tidak sanggup mengimplementasikan perintah Tuhan.

Kemudian, hal yang tak saya mengerti dari para pengusung puritanisme itu adalah semangat mereka untuk menciptakan kutub. Di satu sisi ada kutub Islam yang merepresentasikan kebaikan mutlak, dan di sisi lain ada kutub non-Islam yang merepresentasikan kejahatan.

Menurut mereka, kutub Islam hanya wajib peduli, berinteraksi, dan berteman dengan sesama kutub. Kalau pun terpaksa meminta bantuan pada kaum “yang lain” sebatas untuk tujuan “memberikan contoh baik”. Umat Islam tidak boleh bersahabat dengan Nasrani, dan yang lain.

Pendek kata, “kelompok kebaikan” (kutub Islam) harus tidak mencintai kelompok kejahatan. Kelompok kebaikan harus mendominasi kelompok kejahatan dan mengubah kejahatan menjadi kebaikan.

Dan disebutkan pula oleh mereka, bahwa satu-satunya Islam yang benar adalah Islam yang bercorak budaya Arab Saudi. Hanya ada satu Islam sejati, yakni yang senantiasa mendasarkan diri pada kata demi kata kitab suci secara literal. Sementara segala upaya rasionalisasi, upaya pendalaman makna kata, dan upaya memasuki lorong esoteris, akan mereka sebut: pengaburan kesejatian Islam.

Begitulah. Sungguh saya tak mengerti. Sepahaman saya, Islam itu humanis dan menjunjung nalar logis.

Walhasil, pluralisme akan terus terkendala oleh gerakan puritanisme itu. Jelas mereka ini minoritas, tapi lantang menebar horor, teror, dan bentuk ekstrem lainnya.

Ya, paling tidak mereka akan selalu menyetujui fatwa yang menista kebebasan beragama.

Ungaran, 24 Oktober 2017: 03.13

--

--

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME

penyuka percakapan, tapi lebih sering sebagai penyimak curhat