Undhuh-Undhuh, Transformasi Tradisi Jawa Menjadi Perayaan Kristiani (1)

Yvonne Sibuea
PLURAL(IS)ME
Published in
9 min readSep 16, 2018

Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mojowarno menarik perhatian saya sejak setahun lalu. Berawal ketika saya menemukan sebuah artikel di majalah pariwisata terbitan 2013 tentang Riyaya Undhuh-Undhuh; sebuah perayaan ucapan syukur pasca panen yang digelar tahunan oleh gereja tersebut.

Yang membuat saya kian tertarik adalah pemaparan penulis artikel bahwa Riyaya Undhuh-Undhuh selalu melibatkan masyarakat luas, termasuk warga muslim setempat yang secara turun temurun hidup berdampingan dengan warga Kristiani di Mojowarno. Warga muslim ikut serta dalam persiapan, menyumbangkan waktu, tenaga dan materi, dan antusias menghadiri perayaan puncak yang digelar di halaman gereja.

Selama ratusan tahun, masyarakat agraris di Jawa melakukan berbagai ritual pemujaan pada Dewi Sri dan Sudhana sebelum dan sesudah panen, agar terlindungi dari hama kemudian diberkahi hasil panen berlimpah. Warga Mojowarno yang kemudian menjadi Kristen, memodifikasi ritual ucapan syukur menjadi ditujukan pada Yesus Kristus. Sementara inkulturasi Kekristenan dengan budaya lokal tidak banyak dilakukan gereja-gereja Kristen lainnya, GKJW Mojowarno mampu mengawal transformasi tradisi itu dan mempertahankannya hingga kini.

Saya memutuskan untuk menyaksikan sendiri Riyaya Undhuh-Undhuh dan mengulik lebih banyak kisah tentangnya. Tidak menunggu lama, saya mengontak gembala sidang GKJW Mojowarno untuk mencari tahu tanggal pelaksanaan Riyaya Undhuh-Undhuh tahun ini. Informasi yang saya dapatkan, Riyaya Undhuh-Undhuh akan digelar pada 13 Mei 2018. Masih cukup persiapan untuk berangkat ke Jombang. Saya dan tim EIN Institute berembuk memutuskan siapa yang akan bertugas meliput perhelatan ini. Belakangan diputuskan; saya, Thay dan Hesti yang akan berangkat.

Kami tiba di Jombang pada Kamis sore, 10 Mei 2018. Ini pengalaman pertama saya menginjak Jombang. Cukup lelah juga menempuh 6 jam perjalanan darat. Besok pagi, kami sudah punya janji dengan Pdt. Wimbo Santjoko, gembala GKJW untuk melakukan wawancara. Jadi, sisa waktu malam ini kami maksimalkan untuk berkeliling Jombang ditemani Gus Aan Anshori dan Susi Indraswari, para pegiat Gusdurian Jombang. Kami berziarah ke makam Gus Dur di Pesantren Tebu Ireng, lalu menjajal kuliner favorit Gus Dur, Nasi Kikil.

Setelah lelah bertukar cerita, kami memutuskan pulang ke penginapan dan berjanji bertemu Sabtu malam pada Pentas Seni pra Undhuh-Undhuh di halaman GKJW Mojowarno.

Jumat, 11 Mei 2018

Wawancara EIN Institute dengan Pdt. Wimbo Santjoko

Pdt. Wimbo Santjoko menemui tim EIN Institute di kantor sekretariat gereja. Beliau menceritakan sejarah GKJW Mojowarno, juga awal mula digelarnya Riyaya Undhuh-Undhuh. Kepada kami Pdt. Wimbo memberikan sebuah buku berjudul Sejarah Riyaya Undhuh-Undhuh Mojowarno karya Tim Pencatat Sejarah GKJW Mojowarno. Hasil percakapan dan data-data dari buku sejarah GKJW saya sarikan di bawah ini.

Asal Usul Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno

Gereja Kristen Jawi Wetan memang hanya ada di Jawa Timur. Asal muasal gereja ini adalah masyarakat pedesaan yang bertani di wilayah Hutan Kracil distrik Japan; kini, Kecamatan Mojowarno; pada awal abad ke-19. Mereka bergotong royong membuka hutan, kemudian membangun pemukiman dan bertani; kebanyakan dari mereka masih memiliki hubungan kekerabatan atau pertemanan.

Para warga perintis pertanian di Hutan Kracil itu sebelumnya telah mengenal injil melalui seorang Rusia-Jawa , Coenrad Laurens Coolen yang bekerja sebagai sinder blandong (pengawas kehutanan) di daerah Ngoro. Pada 1827, Coolen mulai membuka hutan di Ngoro. Ia mengenalkan kekristenan pada para asistennya dengan media budaya Jawa.

Pada masa yang sama, ada juga seorang guru injil bernama Johanes Emde yang berprofesi sebagai tukang arloji di Surabaya. Emde mengajar melalui traktat yang dibagikan pada masyarakat setempat. Cukup banyak masyarakat Jawa yang tertarik belajar injil pada Emde.

Kedua kelompok masyarakat dengan guru injil yang berbeda ini kemudian berkesempatan bertemu. Dalam diskusi-diskusi lanjutan mereka menyadari, ada perbedaan pengajaran antara dua guru injil mereka. Emde menganggap penting upacara baptisan, sedangkan Coolen tidak setuju upacara baptisan diterapkan pada masyarakat di Jawa.

Coolen berpendapat, masyarakat lokal yang menganut kekristenan tidak perlu dibaptis, karena menurutnya baptisan adalah aturan “barat”. Coolen menginginkan orang Jawa yang mempelajari kekristenan tetap berpakaian dan mempertahankan budaya Jawa, sehingga banyak orang Jawa tertarik belajar Alkitab dari Coolen.

Awal Pembukaan Hutan Kracil

Membuka Hutan Kracil. Sketsa: Ds. R. Susalam Wiryotanoyo — 1928

Dikisahkan dalam manuskrip Permulaan Orang-Orang Kristen Ngoro Menerima Tanda Baptis pada Tahun 1853 yang ditulis Simsim Mestoko; tiga orang asisten Coolen yaitu Singotruno, Ditotruno dan Yakup meninggalkan Ngoro karena diusir oleh tuannya. Mereka berkelana hingga akhirnya tiba di Hutan Kracil.

Tiga orang ini bertemu dengan rombongan dari Kertorejo yang juga diusir Coolen karena perbedaan pandangan soal baptisan. Kemudian bergabung juga rombongan dari Sidokare (kini Sidoarjo) yaitu keluarga Karolus Wiryoguno sejumlah 66 dewasa dan 21 anak-anak.

Bersama-sama, rombongan besar ini membuka Hutan Kracil secara bertahap. Dukuh pertama yang dibangun setelah hutan terbuka dinamai Mojowarno; kata mojo berasal dari Mojopahit, karena Hutan Kracil dahulu termasuk wilayah Mojopahit; kata warno berasal dari warno-warno (bahasa Jawa) yang artinya berbagai daerah dan latar belakang sosial budaya.

Paulus Tosari dan Lumbung Miskin

Paulus Tosari || Foto: GKJW Mojowarno

Jemaat Kristen Mojowarno pertama kali dipimpin seorang pamulang Madura bernama Paulus Tosari. Tosari diangkat sebagai pemuka jemaat pada 1851. Tosari menulis tembang dan kitab bergambar dengan tulisan Jawa sebagai bagian penghayatannya terhadap iman Kristen.

Pada masa kepemimpinannya (1848–1882), masalah kemiskinan begitu nyata dialami oleh para anggota jemaat. Sehingga Tosari bersama beberapa pemimpin jemaat dan anggota gereja menginisiasi pendirian lumbung miskin. Lantai lumbung dibuat dari anyaman bambu, di atasnya digelar sesek, yaitu anyaman bambu yang lebih halus. Ini dilakukan untuk mencegah kelembaban pada lantai, agar padi tidak rusak.

Jemaat gereja diwajibkan mengisi lumbung padi pada masa panen yang terjadi setahun sekali. Lumbung padi milik gereja berukuran cukup besar dan mampu menampung padi dalam jumlah banyak. Ketika masa paceklik tiba, jika ada anggota gereja yang kesulitan beras, mereka diperbolehkan meminjam padi dari lumbung. Bagi warga peminjam beras yang cukup mampu, mereka diwajibkan untuk mengembalikan beras dengan jumlah lebih dari yang dipinjam, agar bisa mensubsidi para peminjam yang tak mampu.

Sistem semacam koperasi tersebut dimulai gereja sekitar tahun 1844, sebuah upaya yang sangat bermanfaat membantu masyarakat kurang mampu

Jelle Eeltjes Jellesma (1852–1858)

Jelle Eeltjes Jellesma || Foto: GKJW Mojowarno

Setahun setelah Paulus Tosari resmi diangkat menjadi pemuka jemaat, seorang penginjil Belanda bernama Jellesma diperbantukan di Mojowarno atas prakarsa organisasi penginjilan Nederlands Zendelings Genootschap (NZG).

Ketika tiba di Mojowarno Jellesma mendapati tantangan besar, yaitu terdapat dua aliran yang berbeda dalam jemaat:

-Golongan murid Coolen yang tidak menyukai baptisan dan perjamuan kudus

-Golongan murid J. Emde yang beraliran barat; menekankan pentingnya baptisan

Jellesma dilaporkan berhasil mempersatukan kedua aliran kekristenan ini, sehingga tercipta sebuah aliran yang khas.

Dengan tekun, Jellesma mendampingi Paulus Tosari dan mendorong peningkatan kapasitas Tosari untuk menjadi ‘gembala’. Jellesma memiliki hubungan yang sangat cair dengan masyarakat Mojowarno. Ia tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi dari masyarakat lokal. Kualitas ini tidak dimiliki para penginjil lainnya. Sayang sekali Jellesma tidak berusia panjang. Ia meninggal pada usia 41 tahun pada 1858. Sesuai pesannya, Jellesma dimakamkan di Mojoroto.

Peninggalan Jellesma hingga kini adalah, GKJW menerapkan baptisan dan perjamuan kudus, sembari tetap mempertahankan berbagai ritual Jawa dalam kebaktian.

Lumbung Pirukunan untuk Membangun Gedung Gereja

Pada 1871, Tosari mengusulkan pendirian gedung gereja dengan tembok beton. Upaya yang dilakukan adalah membuat Lumbung Pirukunan, yaitu mengumpulkan persembahan anggota gereja berupa padi, yang kemudian dijual saat harga padi tinggi. Uang yang dihasilkan dari penjualan padi ditabungkan ke bank.

Pada 1879, telah terkumpul 6.000 gulden, sehingga pada 24 Februari 1879 dimulailah peletakan batu pertama pembangunan gereja. Gedung gereja selesai dibangun dalam waktu dua tahun, dan diresmikan pada 3 Maret 1881. Setahun kemudian, Tosari meninggal dunia pada usia 70 tahun.

Driyo Mestoko || Foto: GKJW Mojowarno

Posisinya digantikan oleh dua pamulang lain hingga sampai pada pendewasaan jemaat pada tahun 1923. Yang menjadi syarat kedewasaan sebuah jemaat adalah: mampu mengatur diri sendiri, mampu membiayai diri sendiri, serta dapat mengembangkan diri sendiri.

Sebelum 1923, jemaat Kristen Mojowarno masih menerima bantuan dari organisasi penginjilan Nederlands Zendelings Genootschap (NZG) yang mengirimkan tenaga pengajar injil dari Belanda untuk menunjang keberlangsungan jemaat. Pasca deklarasi pendewasaan jemaat, maka mereka berhak menentukan sendiri gembala dan pengurus jemaat.

Peristiwa ini kemudian mengawali terpilihnya Driyo Mestoko sebagai pendeta Jawa pertama di Jemaat Mojowarno, sekaligus pertama di Jawa.

Lumbung Pirukunan inilah yang kemudian menjadi embrio Riyaya Undhuh-Undhuh, yaitu penggalangan dana dari masyarakat petani pada musim panen untuk keperluan pembiayaan gereja.

Tradisi Masyarakat Agraris

Kita yang tidak lagi hidup dengan bertani, tidak mudah memahami pola penghayatan masyarakat agraris. Pola penghayatan ini yang hendak dipertahankan oleh Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno melalui pelaksanaan Riyaya Undhuh-Undhuh setiap tahunnya.

Sebelum Undhuh-Undhuh digelar, ada dua ritual yang mendahului yaitu Kebètan dan Keleman.

Kebètan

Dalam bahasa Belanda, doa disebut Gebed, kemungkinan besar orang Jawa mengadaptasinya menjadi kebet atau kebetan. Kebètan adalah acara doa bersama kepada Gusti Allah yang dilakukan sebelum para petani mulai turun mengerjakan sawah, biasa dilaksanakan sekitar bulan Oktober. Doa berisi ucapan syukur dan meminta perlindungan dan keselamatan agar tidak ada halangan selama bekerja, juga agar hujan turun secukupnya.

Biasanya warga membawa encek (isinya: urap-urap, ayam, orem-orem), untuk dimakan bersama di kantor desa. Acara Kebètan dipimpin oleh kepala desa/kepala dusun, dengan mengundang pendeta dan penatua untuk berdoa bersama. Setelah acara Kebètan selesai, para petani baru mulai mengerjakan sawah.

Setelah tanaman padi berusia selapan dina (36 hari), warga mengadakan upacara Keleman. Upacara bertujuan meminta perlindungan Tuhan agar tidak ada serangan hama, agar ada air yang berkecukupan, dan pertumbuhan padi bisa bagus. Keleman berasal dari kata kelem (Jawa) yang berarti tenggelam atau terbenam dalam air. Keleman digelar ketika tanaman padi saja yang terlihat menghijau di persawahan, dan sawah-sawah telah tergenang air.

Dalam pertemuan ini, para tetua desa mengadakan diskusi interaktif dengan generasi muda petani; menerangkan dan mengarahkan tentang pemeliharaan padi sekaligus mendengarkan pengalaman dan keluhan mereka. Proses belajar mengajar terjadi secara kultural. Pengalaman diturunkan dan dibagikan secara lisan.

Hidangan yang disajikan pada upacara Keleman umumnya berupa kue dan makanan ringan lainnya; antara lain ada horog-horog dan pleret, kue tetel/juwadah, wajik, serabi dan nagasari, dll.

Kue Pleret dan Horog-Horog

Kue horog-horog dan pleret dibuat dari tepung beras dan dimakan dengan kelapa yang diparut. Biasanya horog-horog dikukus dan awalnya dibentuk kerucut seperti gunung atau dibungkus diberi gula kelapa pada bagian tengahnya yang diberi nama pura, atau bentuk lainnya. Kue pleret melambangkan hama ulat yang perlu dibasmi; pleret dibentuk berlekuk-lekuk seperti ulat. Saat acara, masyarakat akan makan horog-horog dan pleret secara bersama-sama.

Setelah Keleman selesai, tahap selanjutnya adalah melakukan perawatan agar padi bisa tumbuh subur dan hasilnya nanti bisa dipanen dengan melimpah.

Riyaya Undhuh-Undhuh adalah puncak dari rangkaian upacara yang mendahuluinya tadi. Undhuh-undhuh berasal dari kata dasar undhuh dan kata kerja ngundhuh yang artinya “memetik”, yaitu memetik buah atau memanen.Hari raya ini merupakan hari raya ungkapan syukur dan persembahan atas hasil panen.

Riyaya Undhuh-Undhuh adalah tradisi yang terbentuk dari perjumpaan tradisi Jawa dan ajaran Kristen. Di masyarakat Jawa dikenal ritual panen raya dan penyimpanan padi ke lumbung sesudah panen. Dulu, ritual ini dilakukan dengan gotong royong, bersama tetangga atau keluarga. Dari sisi iman Kristen, praktik ini meneladani ajaran Nabi Musa dengan mempersembahkan hasil panen pertama yang terbaik.

Di masa lalu, acara memasukkan padi ke lumbung disertai upacara, membuat dua ikat padi kecil bertangkai yang dibentuk seperti golekan (orang-orangan atau boneka). Satu golekan diberi pakaian laki-laki, melambangkan Sudhana. Satu boneka lagi diberi pakaian perempuan, melambangkan Dewi Sri.

Dimulai pada tahun 1930-an, upacara memasukkan padi mengalami perubahan, yakni dari lumbung pribadi ke lumbung gereja milik jemaat. Dilakukan modifikasi, para petani bukan lagi membuat golekan atau boneka Sudhana- Dewi Sri, tetapi warga jemaat membuat bangunan/patung yang lebih besar, sesuai tokoh-tokoh dalam cerita Alkitab yang dibuat dari hasil bumi. Bangunan diarak dengan sukacita dengan mengalunkan lagu-lagu pujian yang diiringi musik kothekan, menuju halaman gedung gereja.

Riyaya Undhuh-Undhuh, dimulai sejak 1939. Pada 2018, tradisi ini berusia 79 tahun.

— — (bersambung ke Bagian 2) — —

Originally published at http://ein-institute.org on September 16, 2018.

--

--