Undhuh-Undhuh, Transformasi Tradisi Jawa Menjadi Perayaan Kristiani (2)

Yvonne Sibuea
PLURAL(IS)ME
Published in
5 min readSep 16, 2018

Di akhir wawancara Pdt. Wimbo bercerita, salah satu bagian persiapan Riyaya Undhuh-Undhuh yang paling menyita waktu adalah proses menghias mobil. Warga dari masing-masing blok peserta riyaya sudah akan memulai persiapan berminggu-minggu sebelumnya. Dari menentukan tema cerita Alkitab yang akan ditampilkan dalam mobil hias, bergotong royong merangkai padi ketan yang menjadi aksesoris utama mobil hias, menggarap kerangka patung-patung hias, hingga pada hari menjelang puncak acara, hasil panen dikumpulkan untuk diarak dan dilelang di halaman gereja.

Menata Kendaraan Hias Jelang Undhuh-Undhuh

Kendaraan Hias Blok Mojodukuh

Diantar oleh salah satu warga, Tim EIN Institute bergeser menyambangi salah satu dusun, yang lebih populer dinamai berdasarkan blok; Blok Mojodukuh.

Saat kami tiba di lokasi, nampak sebuah mobil bak terbuka terparkir di halaman bangunan gereja milik dusun yang masih setengah jadi. Belasan orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada beberapa orang berada di atas mobil untuk menata roncean padi ketan. Padi ketan menjadi bahan dasar hiasan mobil, juga menjadi bahan pelapis patung-patung tokoh cerita Alkitab.

Mempersiapkan Kendaraan Hias

Di sisi kiri mobil, nampak beberapa anak muda mengecat keranjang bambu, sedangkan yang lainnya mengecat bagian kaki replika naga yang nantinya akan ditata di atas mobil, menjadi bagian dari diorama sebuah cerita Alkitab.

Ya, untuk perayaan tahun ini, Blok Mojodukuh mengambil tema “Pertempuran antara Mikhael (Yesus Kristus) dan Iblis”. Sosok iblis diejawantahkan dalam bentuk replika naga. Tema ini dipilih untuk mengingatkan jemaat agar selalu waspada, karena dunia masih berada dalam kekuasaan iblis; dan hanya kuasa Allah yang mampu mengalahkan iblis.

Ketika kami menanyakan, siapa saja warga yang ikut bergotong royong, koordinator Blok Mojodukuh mengungkap bahwa bukan saja anggota gereja, warga muslim juga ikut menyumbangkan tenaga bahkan berbagai komoditas hasil panen setiap perayaan Undhuh-Undhuh. Warga Blok Mojodukuh mayoritas adalah umat Kristen, ketika ada kebaktian di hari Minggu warga muslim akan bertoleransi dengan tidak menghidupkan pengeras suara masjid. Sementara pada Hari Raya Idul Fitri para anggota gereja tak pernah lepas bersilaturahmi dengan warga muslim. Di wilayah Mojodukuh tidak pernah dilaporkan terjadi konflik antar umat beragama.

Selesai mengobrol dengan warga Mojodukuh, Tim EIN Institute mengambil waktu untuk kembali ke penginapan di Jombang. Rencananya, setelah beristirahat sejenak kami akan kembali ke GKJW Mojowarno untuk menyaksikan pentas seni yang digelar malam menjelang Undhuh-Undhuh.

Lomba Kothekan (Menabuh Lesung) Tahunan

Lomba Kothekan (Menabuh Lesung)

Malam menjelang Undhuh-Undhuh diwarnai dengan kemeriahan lomba menabuh lesung , pagelaran tari, serta berbagai aktivitas unik lainnya seperti lomba catur massal antar bapak-bapak.

Tim EIN sempat menyaksikan aksi beberapa kelompok peserta menabuh lesung. Peserta terbagi dalam kelompok-kelompok dengan busana seragam, muda mudi bergabung dengan ibu-ibu maupun bapak-bapak. Mereka mengenakan busana tradisional rakyat Jawa. Atasan lurik untuk laki-laki, sedangkan perempuan mengenakan kebaya kutubaru dan jarit setinggi lutut.

Ada satu tembang yang demikian ramah di telinga, yang dinyanyikan salah satu kelompok peserta sambil menabuh lesung, liriknya demikian:

Sampun lebar panene, lah lah lah, lah lah lah

Sampung minggah pantune, lah lah lah, lah lah lah

Sabine tiyang tani pinaringan berkah,

samangke sampun mukti, lan ayeming manah,lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah… lah lah lah…..

Tabuhan Lesung “Wus Lebar Panene”

Belakangan baru saya tahu, tembang ini adalah pujian khusus yang diajarkan secara turun temurun oleh para leluhur Mojowarno kepada anak-anaknya. Tembang ini ditulis oleh Pdt. Poensen asal Belanda, judulnya Wus Lebar Panene (Telah Usai Panennya).

Jumat malam ini disudahi dengan berakhirnya lomba menabuh lesung, para pemenang yang ditentukan dewan juri telah menerima hadiahnya masing-masing. Sementara pentas seni dan pertandingan catur massal digelar keesokan harinya, Sabtu malam.

Sabtu Malam, 12 Mei 2018

Gebyar Malam Seni dan Budaya

Ketika kami tiba di halaman gereja, pentas seni pra-Undhuh-Undhuh tengah berlangsung, warga tumpah ruah menikmati tari-tarian sembari menikmati kudapan yang dibagikan panitia. Kami duduk santai di bawah naungan tratak. Saya menyapa Susi Indraswari, pegiat Gusdurian Jombang; yang hadir sebagai undangan kehormatan. Ia sedang mengobrol dengan Ibu Pendeta Wimbo di deretan kursi terdepan. Tak lama, mbak Susi diundang ke panggung untuk membacakan puisi.

Susi Indraswari — Gusdurian Jombang

Para pegiat Gusdurian Jombang memang sangat akrab dengan komunitas Kristen, Katolik, maupun Konghucu di seputar Jombang. Mereka jarang absen bila ada kegiatan, bahkan kerap menginisiasi berbagai kegiatan lintas agama yang bertujuan menjalin kedekatan personal antar warga, serta memupus prasangka buruk.

Pasca pentas berakhir, kami beramai-ramai menuju rumah dinas pendeta. Ternyata, halaman rumah dinas telah dipenuhi meja dan kursi yang ditata untuk pertandingan catur massal. Terlihat berpasang-pasang pecatur duduk berhadapan sambil memindah-mindahkan biji catur; ada yang berpikir hingga berkerut kening, ada pula yang tertawa-tawa ceria. Semua berbaur menikmati suasana. Sejenak kami ikut mengamati keasyikan mereka sebelum laparnya perut mengembalikan fokus kami pada meja makan di tengah rumah dinas.

Pertandingan Catur Massal

Kami mengambil sendiri hidangan yang disediakan jemaat. Lalu kami makan sambil duduk melingkar. Pdt. Wimbo bercerita mengenai foto-foto dan lukisan wajah yang tertata rapi pada tembok ruangan. Mereka adalah para pionir, guru injil, maupun pendeta yang pernah bertugas di jemaat Mojowarno. Foto disusun secara kronologis sesuai masa pelayanan para tokoh tersebut.

GKJW Mojowarno cukup rapi mendokumentasikan sejarah gereja beserta kisah hidup para pendahulunya. Selain budaya tutur dari generasi ke generasi yang dikembangkan anggota gereja, gereja juga memiliki tim pencatat sejarah yang kemudian menerbitkan beberapa buku. Buku-buku terbitan GKJW Mojowarno berkontribusi besar dalam pencatatan sejarah penginjilan di Nusantara.

Setelah puas bercerita dan berbaur dengan keramaian warga, kami berpamitan pulang ke penginapan. Besok, pagi-pagi sekali, puncak acara, Riyaya Undhuh-Undhuh akan digelar. Saya diserbu rasa ingin tahu yang mengakibatkan sulit tidur, selain itu ada juga faktor takut bangun kesiangan. Pasalnya, kalau sampai terlambat, jalan utama menuju gereja akan ditutup.

— — (bersambung ke Bagian 3) — —

Originally published at http://ein-institute.org on September 16, 2018.

--

--