Yang Beragam Yang Menggembirakan

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME
Published in
5 min readOct 31, 2017
Saat pembukaan Festival Literasi di Aula Amazing Beach Resort, Palu.

Siang itu, 17 Oktober 2016, Kota Palu panas. Teramat panas. Kurang-lebih pukul 14.00 WITA pesawat Lion mendarat di bandara Kota Palu. Saya bersama rombongan berangkat dari Makassar, menginjakkan kaki di Kota Palu. Dan kira-kira sejam kemudian, rombongan kami sudah berkumpul di Hotel Amazing Beach Resort, Jalan Malonda 76, Tipo, Palu.

Rombongan yang berangkat bersama dari Bandara Makassar: Raihan dan Oktavira (Gorontalo), Achi dan anggota komunitasnya (Sulawesi Utara), Heri beserta rombongan Komunitas Ngejah, Garut (Jawa Barat), Abdul dan anggota komunitasnya (Nusa Tenggara Timur).

Senja pun telah menghilang. Pantulan bulan mewarnai Teluk Palu, ketika upacara pembukaan Festival Literasi berlangsung di aula Hotel Amazing. Amat eksotik. Sebagian besar peserta menampilkan pakaian adat masing-masing. Terasa sekali warna Indonesia. Warna kebhinekaan. Ya, saat itu kami berkumpul bersama dalam keberagaman. Saya pun merinding berada di tengah-tengah mereka. Terutama saat berdiri menyanyikan lagu kebangsaan.

Esok harinya, 18 Oktober 2016, ada lomba membaca teks naratif untuk anggota komunitas, lomba meringkas dan mengonversi teks untuk pegiat komunitas. Dan, perlombaan selesai pukul 17.00. Kemudian kami pun istirahat. Ada juga beberapa teman yang melewatkan malam dengan mencicip kopi. Mereka mengobrol hingga dini hari.

Tanggal 19 Oktober 2016, adalah lomba merefleksi bahan bacaan untuk tim perwakilan provinsi. O ya, kami bertolak menuju Palu, sebagai satu tim provinsi: dua orang pegiat literasi dan dua orang anggota komunitas dari dua komunitas baca. Lomba merefleksi cerita rakyat itu lumayan menyita waktu lama. Nyaris pukul 23.00 baru bisa dituntaskan. Benar. Kami kelelahan. Capek. Namun, syukurlah sedikit terobati, karena tim Jawa Tengah (saya dan Aldias Ara, peserta didik SMP Negeri 1 Ungaran, sebagai wakil dari Kelompok Literasi Ungaran, bersama Triman Laksana dan Alvina, peserta didik SMP Negeri 1 Magelang, wakil dari Padepokan Djagad Djawa) memperoleh penghargaan juara pertama. Juara merefleksi cerita rakyat.

Nah, saya kira bukan perlombaannya yang penting. Bukan. Lomba-lomba itu biasa saja. Yang sangat merasuk dalam hati saya bukanlah saat membaca teks, meringkas, mengonversi, atau merefleksi cerita rakyat. Melainkan kebersamaan dalam keberagaman.

Festival Literasi lebih sebagai peragaan Indonesia. Saat itu kami benar-benar sedang memperagakan kebhinekaan Indonesia. Kami sedang mendendangkan Nusantara yang kaya budaya. Kaya bahasa. Kaya pikiran dan rasa. Kami sedang menjalin dan menjahit tenun Dipantara. Kami memamerkan batik masing-masing. Memamerkan macam ragam logat bahasa. Bahkan ada yang sempat atau malahan sengaja membawa dan berbagi kopi asli daerahnya. Namun, tetap saja Indonesia-lah kami, dan kita semua. Itulah yang luar biasa. Itulah sesungguhnya festival: merayakan pluralitas dan menjunjung tinggi harga bahasa Indonesia.

Tanggal 20 Oktober 2016, kami berpisah. Kami melanjutkan kisah literasi di kampung halaman masing-masing. Namun, sesungguhnya kami tak berpisah. Jarak geografi memang tak berdekatan, tapi pikiran dan perasaan kami terasa menyatu. Saban hari, melalui grup media sosial, kami berseloroh, bercanda, berbagi cerita, curah pendapat, curah gagasan, dan tak jarang pula “bertengkar”. Ya, semoga jalinan hati ini abadi. Jalinan karya kami lestari.

Seminggu kemudian, 27 Oktober 2016, saya terbang ke Jakarta. Jakarta saat itu hujan. Saya bertolak dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang menuju Wisma Cakrawala, Kantor Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Rawamangun. Angin yang dingin, rinai hujan yang jatuh, dan rasa lapar, tidak saya pedulikan. Saya ingin segera menghikmahi puncak Bulan Bahasa dan Sastra. Ya, saya tiba di Jakarta atas undangan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerima penyerahan hadiah Festival Literasi Tingkat Nasional, lomba merefleksi cerita rakyat.

Keesokan hari, 28 Oktober 2016, tepat dengan peringatan Sumpah Pemuda. Persisnya pukul 11.00, saya meninggalkan Wisma Cakrawala menuju Hotel Bidakara. Membelah keramaian Kota Jakarta, untuk turut menikmati sajian puncak acara. Lagi-lagi, saya tak begitu tertarik dengan penyematan gelar dan anugerah plakat. Bahkan dari sekian tamu agung yang berpidato di podium, hanya Abdul Gafur yang terasa menggugah. Ia menggugah kesadaran rasa keindonesiaan saya.

Saya melihat sang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, terasa terbata-bata di atas mimbar ketika menimpali paparan Abdul Gafur. Ia berjanji akan menggairahkan masyarakat agar lebih disiplin berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Abdul Gafur, Menteri Pemuda dan Olahraga era Soeharto, menyesalkan merebaknya penggunaan bahasa asing di ranah publik. Secara tak langsung pemerintah dan masyarakat telah mengabaikan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara.

Begitu kritik yang diserukan pencetus Bulan Bahasa pada 1980 itu di puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2016. Dia menyerukan agar Presiden Jokowi memelopori pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia.

Syukurlah saya turut menyaksikan puncak Bulan Bahasa dan Sastra di Hotel Bidakara, Jakarta, 28 Oktober 2016. Saya turut merasa kegelisahan Abdul Gafur atas penduaan bahasa Indonesia. Saya juga merasakan kegembiraan para tokoh dan pegiat yang memperoleh penghargaan. Saya melihat kebahagiaan para pemenang sayembara dan festival literasi. Dan, terutama saya berkesempatan menatap lebih dekat gemerlap warna-warni para duta bahasa yang datang dari segenap penjuru provinsi di negeri ini. Ya, para duta bahasa itu tak satu pun yang tak rupawan. Semua menarik. Sungguh!

Takjub. Saya tak sanggup menutup ketakjuban atas peristiwa itu. Benar-benar acara puncak kebahasaan dan kesusastraan. Terlebih seruan untuk memartabatkan bahasa Indonesia, terasa menyentuh hati. Barangkali, selama ini kita (lebih tepatnya saya) latah bahkan bangga menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Kita acap mempercakapkan sesuatu dengan piranti bahasa asing. Kita lebih bangga menamai sanggar atau komunitas literasi dengan istilah asing.

Masih jelas dalam benak, sebelum perhelatan puncak di Hotel Bidakara tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah melangsungkan Festival Literasi Tingkat Nasional di Hotel Amazing Beach Resort. Nah, bagaimana coba, nama hotel pun terasa “wah” dengan menggunakan istilah bahasa asing kan? He-he-he….

Namun, bagaimanapun saya tetap wajib bersyukur, berkesempatan menjadi bagian dari para penyemarak festival. Menyertai dinamika festival, dan lantas berasyik-asyik di Ibukota.

“Kita tidak anti bahasa asing, tapi kita orang Indonesia yang memiliki bahasa Indonesia. Jika ada padanannya, ya, tulislah begitu! Kalaupun tidak ada, ya, buatlah kata-kata serapannya…!” ujar Abdul Gafur.

Sementara dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, pada puncak Bulan Bahasa dan Sastra itu meluncurkan KBBI V, Tesaurus tematis, Ensiklopedi sastra Indonesia, dan bahan literasi: cerita rakyat.

Kemudian acara ditutup dengan persembahan lagu oleh Dira Sugandi. Dan penampilan Tari Batik.

Akhirnya, Sabtu pagi, 29 Oktober 2016, saya menempuh laku untuk meneguhkan lagi kecintaan atas Indonesia di Semarang, Jawa Tengah. Ya, setidaknya untuk diri dan keluarga.

Ya, kenangan itu. Kenangan merasai Indonesia. Saat mengikuti Festival Literasi di Kota Palu. Menikmati puncak Bulan Bahasa dan Sastra di Hotel Bidakara, Jakarta. Ketika bersama-sama merayakan keberagaman Indonesia. Negeri yang konon sebagai penggalan surga ini, sungguh tepat memilih sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Yang beragam tapi bersatu. Yang bermacam rupa, tapi menggembirakan.

Ungaran, 31 Oktober 2017

--

--

Soepardi Kafha
PLURAL(IS)ME

penyuka percakapan, tapi lebih sering sebagai penyimak curhat