Membaca Buku Membuat Saya Merasa “Bodoh”

Aditya Hadi Pratama
Podcast Buku Kutu
Published in
3 min readAug 12, 2020
Photo by Warren Wong on Unsplash

Disclaimer: Harap membaca artikel ini sampai habis sebelum berkomentar. Apalagi buat yang baca judulnya saja, tolong tahan diri kalian.

Usia saya saat ini 31 tahun. Artinya, saya sudah hidup lebih dari 11.323 hari, alias 271.746 jam. Sungguh waktu yang sangat lama untuk mempelajari banyak hal, bukan?

Wajar donk, kalau saya merasa sudah memahami banyak hal tentang hidup?

Pekerjaan sebagai jurnalis teknologi membuat saya merasa tahu banyak soal dunia startup. Jumlah uang di tabungan bikin saya yakin akan pengetahuan saya tentang perencanaan keuangan dan strategi investasi. Bila ditanya berbagai hal tentang agama yang saya anut, tidak ragu juga saya untuk menjawab.

Namun, semua itu berubah sejak awal tahun 2018.

Saat itu, saya memutuskan untuk membuat sebuah podcast yang membahas tentang buku, yaitu Podcast Buku Kutu. Hal ini “memaksa” saya untuk membaca lebih banyak buku, dan lebih sering dari biasanya. Saya pun tanpa sengaja akhirnya memperluas jangkauan bacaan ke genre-genre yang belum pernah saya sentuh sebelumnya.

Sebelumnya saya lebih sering membaca buku fantasi, fiksi ilmiah, dan sastra. Namun kini saya pun merambah genre bisnis, self-help, sains umum, romance, hingga Young Adult.

Di titik inilah saya merasakan apa yang saya sebut di judul artikel ini. Saya merasa “bodoh” setelah membaca buku-buku tersebut.

Mengapa saya merasa seperti itu? Mungkin lebih baik saya jelaskan lewat contoh nyata saja.

  • Setelah membaca “Talking to Strangers” karya Malcolm Gladwell, saya baru tahu bahwa pengertian consent dalam melakukan hubungan seksual bagi setiap orang ternyata tidak sama (ini dibuktikan lewat sebuah penelitian. Selain itu, dari buku ini pun saya baru memahami bahwa secara fisiologis perempuan ternyata punya kecenderungan lebih cepat untuk mencapai titik yang bisa membuat mereka tak sadar (blackout) ketika mengonsumsi minuman beralkohol. Hal ini jelas mengubah opini saya tentang kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual.
  • Usai membaca “Bury What We Cannot Take” karya Kirstin Chen, saya jadi menegetahui proses yang terjadi saat Cina perlahan-lahan dikuasai oleh Partai Komunis Cina setelah perang sipil yang berlangsung hingga tahun 1949. Saya pun baru sadar bahwa saya belum pernah mendengar atau mempelajari tentang perang itu sama sekali.
  • Sebelumnya saya memilih untuk tidak bicara banyak tentang konflik Timor Timur, karena saya memang tidak begitu memahami dan hanya tahu ayah saya yang seorang tentara pernah bertugas di sana. Namun setelah membaca “Orang-Orang Oetimu” karya Felix K. Nesi, saya jadi lebih bisa memahami konflik yang terjadi dan karakter para penduduk di sana.
  • Sejak lama saya telah berusaha memahami konsep cinta, yang sebagian berakhir dengan pernikahan, dan perbandingannya antara zaman dahulu hingga sekarang. Tapi belum sampai terlalu jauh, (untungnya) saya menemukan buku “Modern Romance” karya Aziz Ansari yang bisa menjawab itu semua.
  • Meski saya merasa telah tahu banyak tentang dunia startup baik di Indonesia maupun di luar negeri, saya masih “bengong” setelah membaca “We Are The Nerds” karya Christine Lagorio-Chafkin tentang sejarah startup bernama Reddit. Ternyata pengetahuan saya tentang dunia startup belum ada apa-apanya.

Dan banyak lagi contoh lain yang saya alami setiap kali selesai membaca sebuah buku.

Aneh memang, bukankah membaca buku seharusnya membuat kita merasa “pintar”? Namun setiap buku yang saya baca justru seperti membuka sebuah jendela di kepala saya, yang membuat saya sadar bahwa dunia ini tidak sesempit yang saya bayangkan.

Seperti penyelam yang merasa tahu segala hal tentang laut. Namun begitu ia menyelam lebih dalam, justru ia makin meragukan apakah ilmu yang ia miliki tentang laut memang sebanyak itu? Nah, itulah yang saya rasakan.

Mungkin ini yang orang-orang sebut dengan “bertumbuh”.

Dan mungkin memang membaca buku itu bukan seperti mengisi air ke botol, yang apabila sudah terisi penuh maka artinya kita tidak perlu membaca lagi.

Membaca buku mungkin lebih tepat dianggap seperti batu asahan, yang kita gunakan untuk terus mempertajam opini kita tentang berbagai hal seiring berjalannya waktu. Seiring berjalannya waktu, “pisau” opini kita tadi pasti akan menjadi tumpul, karena itu kita harus terus membaca buku untuk menjaga ketajamannya.

Bagaimana dengan kalian? Perasaan seperti apa yang kalian rasakan setiap selesai membaca buku?

--

--