Bersentuhan dengan (Sebagian) Political Correctness

Sebuah Pertimbangan Dingin. Opini

Geraldus K. Martimbang
Podcast Progresif
15 min readJul 27, 2020

--

Sebuah plang di sebuah stadion sepak bola di Braunschweig, menghimbau para pendukung kesebelasan menghormati sesama dengan menghindari ujaran rasistis. Gambar: Süddeutsche Zeitung Magazin.

I.

“Zehn kleine Negerlein, die führen übern …”, demikian lirik yang dinyanyikan seorang profesor di kampus pada akhir presentasi akhir hasil kerja para mahasiswa. Aku sudah keluar dari ruangan virtual sebelum lagu itu mulai dinyanyikan, sebab memang si profesor sebelumnya sudah menyatakan bahwa pertemuan telah berahir. Namun, beberapa mahasiswa yang belum menekan tombol “leave meeting” terlanjur mendengarnya sampai akhirnya ruang virtual ditutup dari pusat.

Tak lama kemudian, di grup Whatsapp angkatan seseorang bersuara mengenai itu, mengabarkan satu angkatan bahwa si profesor telah “menyanyikan lagu kuno yang total rasistis”. Respon-respon sontak bertebaran, “apaaa?”, “what the hell??”, “untung kamu membahas itu di sini”, dst., membuat grup Whatsapp yang biasanya hanya diisi percakapan untuk tujuan transaksional urusan tanya tugas, berubah menjadi ruang interaksi politis.

II.

“Zehn kleine Negerlein”, atau dengan terjemahan “resmi” bahasa Inggris “Ten Little Indian”, secara harfiah berarti “sepuluh bocah [berkulit] hitam” atau “sepuluh bocah negro”. Pada intinya, lagu berupa sajak tersebut mengisahkan tentang sepuluh orang yang bersama-sama menghadapi rangkaian peristiwa yang membuat satu per satu dari mereka mati. Biasanya naskah lagu maupun sajak ini terdiri dari sepuluh bait, dengan tiap bait berisi dua baris; baris pertama menjelaskan jumlah orang (yang tersisa) dan kegiatan yang mereka lakukan bersama-sama, baris kedua memberitakan kematian salah seorang yang kebanyakan diakibatkan oleh hal-hal konyol.

Sepanjang sejarah, dari lagu atau sajak tersebut hanya tipologi strukturnya saja yang tetap. Isinya berubah-ubah. Ada yang bait terakhirnya memunculkan kembali sepuluh orang itu, sehingga sajaknya menggulung saja bak lingkaran, berakhir dengan awal. Ada yang bait terakhirnya, dan ini versi yang paling banyak beredar, tak menyisakan seorangpun: “and then there were none”. Penggemar Agatha Christie pasti langsung kenal frasa itu, sebab salah satu novel paling legendarisnya yang juga dijuduli persis dengan frasa itu mendasarkan seluruh cerita pada kejadian kematian satu per satu sekelompok turis atau tamu penting di sebuah pulau. Novel itupun dibuka dengan sajak “Ten Little Indians” juga, yang kata “indians”-nya diganti dengan “soldiers” di terbitan-terbitan lanjutanya.

Paling tidak di Jerman, sajak yang biasanya dinyanyikan itu hampir bisa dikatakan mirip dengan Balonku Ada Lima. Menurut teman-temanku, lagu itu diajarkan (sampai sekarang) pada anak-anak kecil di Jerman sebagai pemeriah suasana dan pengiring sebuah permainan kartu. Orang-orang dari generasi sebelumnya, seperti si profesor, tentu jauh lebih akrab dengan lagu-lagu “rakyat”, karena masa kecilnya belum dijamah oleh Spotify dan sejenisnya yang menumpahkan segala produk budaya populer seperti halnya belakangan ini yang terjadi pada generasi Z; di kepala mereka lagu-lagu seperti “Zehn Kleine Negerlein” masih sering secara spontan dinyanyikan untuk perkara-perkara sepele.

Contoh produk buku anak-anak dari tahun 1926 yang mengangkat kisah “Zehn Kleine Negerlein”. Dijual di Amazon Jerman seharga 175 Euro. Gambar: Amazon.de

Tentu ada perubahan yang membuat sajak yang dilibatkan Agatha Christie dalam novel legendarisnya harus dirombak, khusus pada kata “indians”, dan yang menyebabkan reaksi-reaksi cukup kaget, tersinggung dan kecewa yang dilontarkan teman-temanku di grup Whatsapp terhadap tindakan si profesor menyanyikan lagu yang dianggap “total rasistis” itu.

III.

Secara umum, kata “indian” memang sudah agak dijauhi, dan sebisa mungkin diganti oleh para penggunanya yang tadinya menggunakan istilah itu untuk merujuk pada penduduk asli (native) benua Amerika yang digenosida dalam sejarah kolonialisme. Kita semua tahu mengapa kata itu muncul. Columbus yang diutus untuk mencari sumber penghasil rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dst. yang digembar-gemborkan sebagai India (tanah orang-orang di lembah Indus) akhirnya malah sampai ke benua Amerika dan menganggap bahwa ia telah “menemukan” tanah orang India tersebut, yang kemudian ia sebut-sebut sebagai “dunia baru”. Akhirnya, seluruh peradaban yang tak ada hubungannya dengan India sama sekali itu dicap dan dinamai (secara sepihak) sebagai “indian”, dan juga, sebagai intermeso, cabai, produk dari benua Amerika yang juga salah dimaknai sebagai lada, disebut pula akhirnya sebagai pepper.

Melihat dari sejarah singkat tersebut, jelas kita jadi mafhum, bahwa istilah “indian” itu memang sudah tidak tepat secara hakiki: yang dirujuk sama sekali bukan indian, tidak memiliki ciri-ciri apapun yang sama dengan para indian, dan hanya dinamai sendiri dengan “indian”. Meskipun demikian, yang sebetulnya lebih parah ialah muatan stereotyping yang dominan pada kata itu. Dengan kata itu, misalnya, orang kulit putih di Amerika (bagian selatan, terutama) bisa menyederhanakan identitas para pribadi penduduk asli tersebut dengan geliat merendahkan mereka, menganggap para indian sebagai ‘yang lain’ dari dan yang ‘terbelakang’ dibandingkan peradaban kulit putih.

Namun, tentu sejarah orang-orang “indian” juga dipenuhi dengan sejarah perlawanan terhadap penindasan atau penjajahan oleh orang kulit putih, yang juga merupakan sejarah penuntutan sebuah pengakuan, bahwa mereka bukanlah orang “indian”, melainkan orang-orang yang memiliki nama yang turun-temurun sudah disematkan dalam diri mereka, dan sudah selayaknya dihargai sebagaimana mestinya. Semenjak adanya UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, terminologi “indigenous” dipakai untuk menggantikan kata yang tidak memuaskan pihak orang-orang “indian” dan juga orang kulit putih yang sudah mulai berpikiran pluralistis, akibat reformasi pendidikan yang masif diadakan setelah PD 2. Indigena, akar kata dari bahasa Latin-nya, artinya dapat secara umum atau universal digunakan di seluruh daerah tanpa mengganggu pihak manapun, yakni orang yang berasal dari setempat. Di Indonesia, walaupun agak keluar konteks tetap menarik untuk disebutkan, terminologinya mungkin lebih baik lagi, yakni Masyarakat Adat yang mulai diperkenalkan sejak 1993; kata yang lebih kaya maknanya, memuat keasal-usulan dan praktik adat, ketimbang indigena yang hanya menunjukkan sisi keberasalan.

IV.

Sama halnya, kata “Negerlein” dalam bahasa Jerman, atau negro yang umum dipakai di Amerika, Prancis, Inggris, Italia, dan banyak lagi, bahkan di Indonesia, juga mulai dihindari. Sejarah mengenai kata itu paling tertaut dengan Amerika Serikat, di mana memang orang kulit hitam dalam jumlah besar sudah tinggal beriringan dengan orang kulit putih dengan intensitas yang tidak dialami di daratan Eropa.

Meskipun kata negro atau niger, atau Neger berbeda dengan “indian” yang lahir dari salah kaprah, kedua kata itu tetap berbagi kesamaan dalam hal sejarah kelamnya, terutama sebagai simbol segregasi dalam masyarakat. Sejarahnya panjang sekali, tentu dimulai dari perbudakan orang-orang Afrika yang mulai amat intensif semenjak zaman Renaisans, abad ke-16, untuk keperluan kerja paksa di ladang-ladang di “dunia baru” yang ditemukan oleh Columbus tersebut. Karena keuntungan perdagangan di segitiga Eropa — Afrika — Karibia, paling tidak sampai tahun 1866, ada lebih dari 12 juta manusia yang disebut negro itu telah dikapalkan untuk dijual dan diperbudak ke sana.

Tentu orang-orang kulit hitam juga melakukan perlawanan. Penindasan selalu membuahkan perlawanan. Kita tahu dari film Lincoln (2012), bahwa orang kulit putih yang punya perasaan dan humanis akhirnya juga berjuang di sisi orang kulit hitam, yang melahirkan kesetaraan dan pelarangan perbudakan dalam konstitusi di Amerika Serikat tahun 1865. Namun kenyataannya, orang kulit hitam masih terus didiskriminasi dengan intensitas yang parah sampai sekitar tahun 1960-an.

Ada sekitar 20 juta orang Afroamerika (sebutan untuk orang kulit hitam yang merupakan warga negara Amerika dan sudah turun temurun menetap di sana) di dekade tersebut yang tinggal di Ghettos dengan kualitas hidup yang tak sebanding dengan tempat tinggal orang kulit putih, tidak mendapat akses ke pendidikan yang sama seperti anak-anak kulit putih, secara ekonomi jauh terbelakang (jumlah pengangguran orang kulit hitam dua kali lipat lebih besar dari orang kulit putih), dan juga secara hukum dibedakan perlakuannya dari orang kulit putih. Pun demikian, yang paling menyakitkan ialah apa yang dialami dalam keseharian. Segregasi di Amerika Serikat, atau pemisahan perlakuan dalam keseharian antara orang kulit putih dan mereka yang disebut negro, sampai pada taraf pemisahan sekolah, pemisahan kelompok bangku di tempat-tempat umum, pemisahan toilet, dan seterusnya.

Titik baliknya, yang dengan proses panjang setelahnya kemudian mengakhiri (atau kalau kita percaya dengan adanya “rasisme struktural”, paling tidak mengurangi) segregasi dan diskriminasi terhadap orang-orang yang disebut negro, dimungkinkan oleh para revolusioner pada tahun-tahun ideologis tersebut, diantaranya Martin Luther King Jr. yang dijuluki “Gandhi Negro”, Malcolm X, gerakan “Black Power” yang dimulai di Chicago, juga gerakan radikal “Black Panther”. Semenjak itu pula, kata “negro” yang tadinya masih digunakan di antara orang kulit hitam sendiri mulai dianggap merepresentasikan inferioritas dan penindasan oleh orang kulit putih terhadap mereka. Kata “black” (atau “schwarz”), juga “colored”, mulai kemudian diajukan untuk menggantikan kata “negro” tersebut. Akhirnya, di akhir 1980-an pendekatan institusional mulai digunakan, sehingga penghindaran kata itu mulai menjadi norma dalam masyarakat Amerika, dan kebanyakan negara Eropa. Sekarang, kata yang paling disarankan untuk digunakan berubah lagi menjadi “African American” atau disingkat “Afroamerican”, seperti halnya di Jerman juga, menjadi “Afrodeutscher”, atau “Afrogerman”.

Tentu sejarah orang kulit hitam di Jerman lain lagi, paling tidak segregasi kentara yang terjadi di Amerika (juga Afrika Selatan) tidak terjadi. Pengalaman sejarah dengan Nazi (National Sozialismus) dan Hitler yang merupakan rezim dengan salah satu biopolitik yang paling rasis terhadap kelompok ras tertentu sepanjang sejarah membekaskan mekanisme dalam hati nurani yang menghindarkan kebanyakan orang Jerman untuk berpikir dan bertindak secara rasis. Tentu, kalimat tersebut bukan merupakan sebuah klaim yang tepat lagi mengingat naiknya partai sayap kanan AfD yang politiknya digerakan oleh sentimen-sentimen xenofobik. Namun paling tidak, pengalaman reflektif seintensif itu ada di Jerman, dan tidak ada di Amerika Serikat.

V.

Selepas respon-respon spontan dan emosional dilontarkan oleh banyak teman-temanku, ada beberapa temanku yang kemudian serius menanggapinya. Intinya, sebagai profesor, yang tak hanya berarti sebuah pekerjaan, namun juga status, panutan, dst., tindakan tersebut tidak dapat ditoleransi, meskipun tindakan tersebut terjadi dengan atau tanpa maksud rasistis. Mereka yang setuju dengan pendapat ini lantas membuat grup Whatsapp sendiri, yang di dalamnya mereka berdiskusi mengenai isi surel yang akan dilayangkan atas nama teman-temanku yang tidak terima kepada si profesor.

Yang menarik memang, seperti sudah kunyatakan, betapa menjadi politisnya grup obrolan angkatanku. Beberapa yang tidak setuju dengan surat protes yang akan dilayangkan langsung diserang dan dikucilkan; yang paling agresif diperlakukan demikian adalah seorang temanku yang memperingatkan untuk melayangkan surat protes setelah akhir semester, setelah proses penilaian dijatuhkan saja, sebab ia takut bahwa satu angkatan akan dinilai secara lebih rendah akibat aksi protes ini. Reaksi-reaksi singkat, spontan, dan tidak ramah, seperti “goblok”, “chauvi” (merujuk pada sikap chaufinistik), dan sejenisnya terlontar untuknya. Sedangkan, beberapa yang mencoba untuk melihat situasi secara kritis, seperti bertanya, sebetulnya konteksnya apa, mengapa si prof menyanyikan lagu dengan kata rasistis tersebut, tidak digubris. “Mungkin tidak, bahwa si prof menyanyikan lagu itu untuk analogi situasi, ketika kita meninggalkan ruang virtual satu per satu?”, tanya seorang teman secara retoris, yang sebenarnya juga mewakili pertanyaan sekaligus pendapatku, namun juga tidak digubris — benar-benar tidak direspon.

Alasan mengapa keadaan menjadi tegang tentu lekat dengan “Zeitgeist” waktu itu. Peristiwa ini terjadi kira-kira awal bulan lalu; masa-masa ketika gerakan Black Lives Matter membahana dari Amerika dan menular ke Eropa — bahkan juga ke Indonesia yang kemudian “dikontekstualisasi” dengan dibelokan ke narasi Papua. Segelintir dari kawan yang melayangkan surat protes tersebut adalah aktivis yang tergabung pada gerakan tersebut dan juga berkulit hitam (Afrojerman).

Tak lama selepas surat protes dilayangkan, si profesor menjawab dengan nada membela diri dan dengan isi yang bisa dikata menyuruh mereka yang protes untuk berefleksi. “Kisah” hidupnya, tutur si prof, tidak berada di atas maupun di bawah “kisah” hidup mereka yang memprotes. Kata maaf tak sama sekali tertulis.

VI.

Secara implisit, inti dari surel balasan si prof ialah, bahwa ia memiliki konteks tersendiri yang membuat tindakannya menyanyikan lagu yang memuat kata “Negerlein” itu, menurutnya, menjadi sah atau paling tidak selaiknya dimaklumkan. Mungkin dari situ kita sudah dapat melihat perbedaan bahasan teman-teman para pelayang surel protes dari si profesor dan beberapa temanku yang bertanya soal konteks. Para pelayang surel (hanya) mempermasalahkan kata atau teksnya saja, sedangkan si profesor mencoba membahas juga hal-hal lain yang menyertai sebuah teks atau kata “Negerlein” tersebut.

Pembahasan mengenai kata-kata dan pengajuan kata-kata tertentu sebagai masalah tentu berkaitan erat dengan soal political correctness. Salah satu serial Netflix, explained, memiliki satu episode berdurasi kira-kira 20 menit yang menjelaskan persoalan tersebut dengan menarik dan inklusif secara keberpihakan naratif. Intinya, ketika sebuah kata dianggap diskriminatif, maka pengucapan kata itu tidak benar secara politis (atau politically incorrect). Apa itu diskriminasi? atau tindakan diskriminatif? Secara singkat: tindakan atau ucapan dengan maksud merendahkan maupun merugikan yang diarahkan kepada kelompok sosial tertentu. Kapan dalam konteks ini sesuatu itu merendahkan atau merugikan? Ketika tindakan atau ucapan tersebut melanggar konsensus atau norma dalam masyarakat (modern) yang memuat prinsip kesetaraan dan keadilan. Maka, kata yang dianggap diskriminatif tentunya merupakan sebuah kata yang keluar dari ucapan diskriminatif. Contoh kasus tentang kata diskriminatif yang disajikan pada episode explained tersebut di antaranya permasalahan tentang Ms. , Mrs. dalam bahasa Inggris, serta Madam, Madamoiselle dalam bahasa Prancis. Kemudian contoh lainnya tentu juga hal-hal yang telah kujelaskan pada bagian III (indian, indigenous, indigena, Masyarakat Adat) dan bagian IV (negro, black, colored, African American, dst.).

Dengan demikian, premis atau dasar dari surat protes dan pendapat teman-temanku berbunyi, bahwa si profesor telah melontarkan ucapan diskriminatif, karena kata “Negerlein” merupakan kata yang diskriminatif dan kata tersebut dinyanyikan dengan lagu, yang memuat kata diskriminatif tersebut, yang akhirnya menjadi diskriminatif pula. Argumen teman-temankupun berbunyi demikian, bahwa kata tersebut “mewakili (terjemahan buruk dari: stehen für) penindasan martabat dan tindakan tak berperikemanusiaan terhadap orang kulit hitam” (black people; salah satu variasi kata yang merujuk pada orang kulit hitam yang saat ini dinilai benar secara politis), dan juga bahwa, “lagu tersebut tak dapat ditoleransi dalam konteks apapun”. Untuk selingan, namun penting: lagu dan kata dalam pikiran para pelayang surel protes tidak dibedakan secara jelas; maka dari itu, aku juga tidak mencoba merumitkan bahasan dengan mempermasalahkan hal yang selayaknya juga dipermasalahkan itu — Nietzsche pernah berkata, setan bersembunyi di antara rincian.

Terlepas dari apakah si profesor benar maupun salah, hal yang amat menggangguku ialah kenyataan bahwa upaya protes (supaya lebih halus: upaya sosialisasi) yang dilakukan oleh pelayang surel tersebut gagal. Gagal untuk membuat si profesor meminta maaf, dan gagal untuk membuat teman-temanku (yang bertanya soal konteks tadi) enggan untuk berpartisipasi dan menandatanganinya.

Mengapa? Jawabannya sebetulnya sudah beberapa kali tertulis di atas: kebanyakan dari teman-temanku yang enggan untuk memberikan tanda tangan memandang peristiwa ini secara kritis, dengan tak hanya memperhatikan teks yang ada saja, namun juga, sebagaimana si profesor dalam pledoinya, memikirkan soal konteks dan — tambahan istilah — subteks yang menyertainya.

VII.

Tentu anak linguis atau anak komunikasi memiliki cara lebih ribet dan kompleks lagi untuk menerangkan peristiwa ini, namun untuk orang awam seperti kita, yang berada di garda terdepan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa semacam ini, apalagi yang berkaitan dengan political correctness, cukuplah kita melibatkan tiga istilah amat sederhana, namun mutakhir, ini saja: teks, konteks, subteks.

Sebuah kata (teks) yang diucapkan di ruang publik (dalam narasi maupun dialog) tidak mungkin memiliki pengaruh tanpa disertai konteks dan subteksnya. Mempermasalahkan penggunaan sebuah kata, tanpa melibatkan pertimbangan konteks dan subteksnya, dalam tingkat terparahnya dapat mengantarkan kita semua menuju absurditas (atau ketidakjelasan yang hakiki), yang banyak menjerat para aktor political correctness yang gagal dalam mengkomunikasikan maksudnya (seperti kawanku para pelayang surel protees). Teks merupakan apa yang diucapkan. Konteks merupakan keadaan yang menjadi syarat teks muncul. Subteks merupakan makna tersirat dari teks yang dilahirkan oleh konteks tersebut. Mari kita coba analisis tindakan profesor yang dituduh diskriminatif secara tekstual tersebut dengan tiga istilah itu, dalam skenario yang paling mungkin dan sesuai dengan surat balasan si profesor.

Teks: Lagu yang melibatkan kata “Negerlein” tersebut dinyanyikan oleh si profesor dan terdengar oleh beberapa peserta

Konteks: Si profesor menyanyikan lagu tersebut karena mengira, bahwa seluruh peserta yang tadinya menghadiri ruangan virtual telah meninggalkan ruangan tersebut, sehingga tidak dapat mendengar nyanyian si profesor

Subteks: Lagu yang melibatkan kata “Negerlein” tersebut dinyanyikan sebagai analogi untuk keadaan, ketika para peserta presentasi meninggalkan satu per satu ruangan virtual sampai tak tersisa satupun.

Barangkali, jika teman-temanku para pelayang surel itu mendinginkan kepalanya terlebih dahulu dan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, mereka akan dapat mengajak ngobrol si profesor dan teman-teman lain, yang kurang setuju dengan sikap mereka, secara lebih dialogis, sehingga dapat lahirlah wacana yang saling memperkaya satu dan yang lain. Paling tidak, seluruh pihak (andaikan terjadi dialog diskursif) akan dapat menemukan inti dari permasalahannya (kurumuskan dalam pertanyaan, supaya kita dapat merenungkannya sendiris secara kritis):

a) — pertanyaan pribadi — Bagaimana jika salah satu pihak tidak paham konteks sehingga tidak mengetahui bahwa teks yang ia utarakan (di ruang publik) itu tidak benar secara politis?

b) — pertanyaan pribadi kedua — Bagaimana jika ternyata, permasalahan ini (hanya) disebabkan oleh permasalahan teknis, bahwa si profesor tidak merasa menyanyikan lagu “Zehn Kleine Negerlein” di ruang publik (di depan mahasiswanya), melainkan hanya untuk diri sendiri atau para asisten profesor yang hadir di ruangan di mana ia berada saat mengakses ruangan (lain) virtual tersebut, karena mengira semua peserta sudah keluar ruangan virtual, mengingat jumlah yang hadir sudah tinggal belasan?

c) Apakah pertimbangan mengenai konteks dan preteks dapat memaafkan sebuah teks, tanpa harus dituduh sebagai preteks (‘excuse’)?

d) Siapa, dari antara si profesor dan kawanku pelayang surel yang masing-masing memiliki konteks atau “kisah” yang berbeda, berhak menentukan konteks milik siapa yang harus didahulukan? dan bagaimana caranya?

Sebab, tentu tindakan para pelayang surel juga dapat kita analisis dengan model teks-konteks-subteks tersebut. Mereka (teks) memprotes si profesor karena telah menyanyikan lagu “Zehn Kleiner Negerlein”, karena (konteks) menganggap bahwa lagu tersebut an sich atau pada dirinya sendiri rasisitis. Siapapun yang menyanyikannya haruslah ditegur, (subteks) sebab kita sebagai anggota masyarakat madani yang demokratis harus aktif melawan diskriminasi untuk masa depan yang lebih baik. Yang agak lucu lagi dari peristiwa kawanku para pelayang surat ialah, bahwa hanya segelintir (2–3 orang) saja yang mendengar si profesor menyanyikan lagu itu; teman-temanku aktivis BLM yang Afrojerman sendiri juga tidak ada di sana saat lagu itu dinyanyikan — aksi yang murni didorong subteks, apakah otentik?

Tentu subteks inilah yang membuat seseorang distigmatisasikan sebagai seorang Social Justice Warrior atau SJW, jika ditambahkan faktor cara sosialisasi yang agresif dan metode yang reaksioner dalam merespon sebuah teks permasalahan. Upaya yang sejatinya dilandasi motivasi yang memperjuangkan toleransi dan inklusivitas malah berujung pada intoleransi dan eksklusivitas dengan perseteruannya yang tak membuahkan apa-apa selain kegagalan komunikasi. Sebab, yang terjadi adalah pemaksaan sebuah teks dari satu pihak ke pihak lain, tanpa konteks. Marcuse (1965) memiliki frasa yang paling mengena untuk fenomena paradoksal ini: “intolerance disguised as tolerance”.

VIII.

Paling tidak dua hal harus terpenuhi (sebagai necessary condition) untuk kesuksesan sebuah kata supaya dianggap tidak benar secara politis (politically incorrect), yakni 1) secara institusional kata tersebut dihindari, seperti yang terjadi dengan kata “indians” yang diganti menjadi “indigenous” atau “Masyarakat Adat”, dan juga 2) secara intersubjektif, di dalam masyarakat, kata tersebut dirasa memuat nilai-nilai yang terlalu negatif sehingga merugikan segala tindakan komunikatif, atau tindakan yang dilandasi oleh komunikasi antara paling tidak dua orang (Valeri, 2017; 4).

Belum tentu sebuah kata dihindari dalam masyarakat meskipun institusinya sudah melakukannya, dan juga sebaliknya. Contoh pertama, meskipun orang-orang Toraja sudah menyatakan bahwa nama kelompok Masyarakat Adat mereka yang sesungguhnya berbunyi “toraya”, secara institusional, di sekolah, instansi pemerintahan, dan sejenisnya, pelafalan “toraja” tetap dipakai dan akhirnya membuat “toraya” dikenal secara nasional sebagai “toraja”. Contoh kebalikannya, banyak dari kita tetap menggunakan kata Cina untuk menyebut para keturunan Cina, ketimbang menggunakan kata Tionghoa untuk menyebut para keturunan Tionghoa, padahal sudah ada Keppres dari SBY yang menganjurkan supaya seluruh penyebutan “cina” untuk diganti dengan “tionghoa” — kisah yang mirip juga terjadi dengan kata “pribumi”.

Maka, sesungguhnya upaya dari kawanku para pelayang surel (dan umumnya aktor political correctness) ialah upaya untuk mencapai poin (2), supaya kata tersebut “ditarik peredarannya” dari masyarakat (secara institusional kata “Neger” tidak lagi dipakai di Jerman). Terlepas dari benar atau salahnya, yang diperjuangkan oleh aktor political correctness memang bukan hal yang mudah, sebab paling tidak ada dua tantangan utamanya: a) bagaimana sesuatu yang hanya berlaku pada ranah personal (keluarga maupun lingkaran terbatas) dapat diperluas keberlakuannya (Geltung) secara umum di dalam masyarakat, kemudian b) bagaimana membuat sebuah kata harus dihindari atau ditetapkan oleh norma masyarakat sebagai diskriminatif, tanpa harus dengan disertai konteks atau bebas dari konteks apapun.

Para pelayang surel protes memiliki pengalaman atau konteks tersendiri terhadap kata “Negerlein” dalm lagu “Zehn kleiner Negerlein”, yang membuat kata tersebut mereka anggap sebagai diskriminatif, yang tidak sama dengan pengalaman atau konteks yang dimiliki oleh si profesor terhadap kata tersebut (a). Selain itu, para pelayang surel protes menginginkan (lebih tepatnya: menuntut) supaya kata tersebut dianggap diskriminatif juga oleh seluruh pihak tanpa menceritakan dalam konteks apa mereka bertindak maupun tanpa memperhatikan dalam konteks apa kata tersebut diucapkan di ruang publik oleh si profesor (b) — misalkan, pelayang surel bisa saja menceritakan pengalaman pribadinya, menempatkan dirinya sebagai subjek dan demikian memberikan konteks dalam tuntutanya.

Dari pengalamanku kita tahu: upaya komunikatif yang reaksioner, emosional, dan mencoba untuk diskursif namun tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam diskursus, dengan cara gagah-gagahan (sering) tidak terlalu berhasil. Sebab, meskipun si profesor akhirnya meminta maaf di surat balasan keduanya untuk surat balasan dari kawan-kawanku yang akhirnya meminta ia secara eksplisit untuk “mengoreksi” perbuatannya, rasa simpati tidak tumbuh di pihak yang kurang setuju dengan para pelayang surel protes terhadap maksud mereka; sebuah gerakan yang tidak menarik simpati sebanyak-banyaknya orang untuk mendukungnya — dengan cara tidak populis tentunya — tentulah sebuah gerakan yang gagal.

IX.

Pertanyaan yang lantas muncul: bagaimana kemudian teman-temanku para pelayang surel sebaiknya menyampaikan aspirasinya atau menyosialisasikan agenda political correctness-nya? Atau supaya lebih umum: bagaimana kita, non-aktivis maupun aktivis, dapat menyentuh maupun menggerakan orang lain untuk bertindak dan ikut membantu kita untuk mewujudkan maksud, tujuan, dan cita-cita kita?

Pertanyaan tersebut akan kucoba untuk kutematisasi pada tulisan berikutnya, entah secara filosofis maupun amatiran, yang jelas dengan lewat ke pelipir pertanyaan apa: apa yang sejatinya membuat sebuah komunikasi yang sejenis itu berhasil? Dari situ bagaimana akan dapat kita rumuskan mandiri. Bocoran sedikit: “As a narrative structure, a narrative is considerably more effective than words isolated from their context” (Valeri, 2017; 8).

Pustaka dan Bacaan Lebih Lanjut

Rademacher, Cay. Martin Luther King Jr. Tod eines Träumers. Geo Epoche, № 88, 2017, h.58.

Bardow, Dominik. Dänisch — Westindien: Aufstand der Entrechteten 1733. Geo Epoche, № 97, 2019, h. 64.

Lichev, Valeri. Political Correctness. Between Fiction and Social Realitiy. Philosophies, Vol. 15, № 2, 2017.

Scherr, Albert & Ulrike Hormel. Einleitung: Diskriminierung als gesellschaftliches Phänomen. Diskriminerung. Grundlagen und Forschungsergebnisse, 2010, h. 7.

Why we say “Indigenous” instead of “Aboriginal”, 2020, dibuka melalui: https://www.animikii.com/news/why-we-say-indigenous-instead-of-aboriginal

Babcock, John. When Did the Word Negro Become Socially Unacceptable?, 2010, dibuka melalui: https://www.ferris.edu/HTMLS/news/jimcrow/question/2010/october.htm

Text, Context, dan Subtext. Seperating the levels of storytelling. 2020, dibuka melalui: https://medium.com/storiusmag/text-context-and-subtext-lets-make-some-distinctions-16613142edfa

Kolom Opini, Publikasi Podcast Progresif. Minggu, 26 Juli 2020. Oleh Geraldus K. Martimbang.

--

--

Geraldus K. Martimbang
Podcast Progresif

Angkatan 99. Diletan penyuka arsitektur, filosofi, seni, sosiologi, fotografi, dan sejarah. Sedang berkuliah di TUM.