Gua ada rahasia …

Opini

Podcast Progresif
Podcast Progresif
4 min readMay 26, 2020

--

Photo by daniel james on Unsplash

Gua ada rahasia. Kalimat yang kita sering ucapkan ke sahabat atau orang yang kita anggap bisa dipercaya. Kalimat ini biasanya diikuti oleh sepotong informasi yang sifatnya eksklusif, tidak diketahui banyak orang.

Rahasia itu ada banyak jenisnya dan sifatnya. Sifatnya bisa positif dan bisa negatif, tergantung dari set nilai yang kita miliki sebagai individu. Jenisnya beragam dari hidup professional sampai pribadi. Di artikel ini, saya mau membahas rahasia yang jenisnya pribadi.

“Gua ada rahasia. Gua suka sesama jenis”. Kalimat yang membuat mayoritas orang terkejut dan mungkin menjauh dari si pengucap, baik secara jarak maupun hubungan. Seorang sahabat, anggota keluarga atau mungkin hanya teman biasa tentu akan kaget dan itu normal. Saya juga akan kaget kalau sahabat atau anggota keluarga saya homoseksual.

Akan tetapi, ada satu reaksi yang saya bisa amati. Banyak orang masih benci atau takut terhadap kaum homoseksual. Walaupun di Negara Barat, seperti Jerman, Amerika Serikat atau Inggris yang telah membuat pernikahan sesama jenis legal, homophobia masih sangat nyata. Kaum LGBT diperlakukan berbeda di kehidupan pribadi dan pekerjaan dan bahkan sampai mengalami kasus kekerasan fisik.

Mengutip surat kabar, die Welt, statistik kepolisian Berlin, ibukota Jerman yang sangat liberal, menunjukan angka tindak kriminal terhadap kaum LGBT meningkat sekitar 40% dalam periode 2018‑20191. Peningkatan itu juga bisa dilihat di kota London, Inggris. Menurut BBC, laporan angka kejahatan kebencian bermotif perbedaan orientasi seksual meningkat sebanyak 55% pada tahun 2014–2019 dan di samping itu, diperkirakan 81% tindak kekerasan yang sebenarnya terjadi tidak dilaporkan sama sekali. Sesuatu yang seharusnya tidak lagi terjadi di Negara Barat. Hal ini mengingatkan saya ke Indonesia, negara yang kulturnya jauh berbeda.

Di Indonesia, kondisinya sedikit berbeda. Kekerasan terhadap kaum LGBT kerap terjadi dan sedihnya, penegakkan hukum untuk melindungi kaum LGBT tidak ada atau kurang ditegakkan. Sepanjang tahun 2017 ada 973 kasus kekerasan terhadap komunitas LGBT di Indonesia. Banyak dari kasus kekerasan tersebut tidak dilaporkan karena korban juga takut didiskriminasi oleh pihak berwenang. Menurut saya, kita bisa menentukan apa yang benar dan salah sesuai dengan nilai dan ideal yang kita miliki. Akan tetapi, perilaku yang salah di mata kita tidak mengizinkan kita bermain hakim sendiri dan tidak membenarkan tindak kekerasan. Kekerasan dan diskriminasi adalah tindakan kejahatan, bukan tindakan korektif.

Dalam rangka hari anti homophobia tanggal 17 Mei lalu, saya sebagai pria heteroseksual mau berbicara tentang homophobia. Banyak sekali pria heteroseksual memiliki kebencian atau/dan ketakutan berlebih terhadap kaum LGBT dan saya, seorang pria heteroseksual, mau memberi pendapat saya kenapa itu berlebihan.

Saya kadang mendengar orang‑orang berpendapat bahwa kaum LGBT adalah masyarakat kelas dua. Mereka sudah diberi “cukup” belas kasihan dan sudah sepantasnya tidak berharap lebih. Saya sangat kaget dengan pemikiran tersebut. Menurut saya, harga martabat manusia tidak dapat diganggu gugat dan semua manusia terlahir dengan harga martabat setara (Artikel 1 HAM). Itu juga berarti bahwa orientasi seksual, kesalahan, dan keadaan finansial tidak mengubah harga seseorang sebagai manusia. Pemikiran diskriminatif seperti itu menurut saya sangat merusak dan berbahaya.

Kita tidak perlu menyukai atau memperlakukan kaum LGBT lebih spesial. Mereka juga hanya manusia yang sama-sama berada dalam perjalanan di bumi. Mereka punya talenta dan masalah sama seperti semua orang. Mereka tertarik ke sesama jenis merupakan satu dari banyak komponen yang membentuk mereka sebagai individu. Mereka juga harus berjuang sama seperti kita untuk membangun karir, mengejar mimpi, memiliki hubungan sehat, dan sebagainya.

Perdana menteri Republik Irlandia, Leo Varadkar, adalah pria homoseksual dan juga seorang dokter. Waktu krisis Corona, dia memutuskan untuk membantu para dokter di Irlandia4. Saya rasa, dia mendapat gelar dokter dan jabatan sebagai perdana menteri bukan karena dia hanya seorang representatif kaum minoritas, melainkan karena kemampuan dia di dunia medis dan juga dalam berpolitik. Contoh lain seperti Alan Turing5, seorang ahli matematika dan komputer yang memberikan kontribusi besar saat Perang Dunia II, penemu mesin Turing, dan seorang homoseksual. Mereka berprestasi dan berjuang sama seperti kaum heteroseksual. Kenapa kita harus membatasi mereka ke orientasi seksual mereka saja, kalau mereka memiliki kemanusiaan dan kemampuan untuk membuat hidup lebih baik. Kenapa mereka bisa lebih rendah dari kaum heteroseksual, kalau mayoritas orang, yang mayoritasnya juga heteroseksual, tidak memiliki kecerdasan cukup tinggi untuk menemukan mesin Turing?

Perlakukan mereka sama seperti kita memperlakukan orang lain, tidak peduli orientasi seksualnya. Itu adalah dasar yang membentuk kehidupan sosial antar manusia. Kalau itu pun masih terlalu sulit untuk dilakukan, perlu kita mempertanyakan diri kita sendiri, apa yang membuat manusia itu seorang manusia dan apakah itu ada di dalam diri kita. Kita tidak perlu menyebarkan kebencian.

Rick Haller

--

--