Kabarkanlah Berita Sukacita

Evan Yonathan
Podcast Progresif
Published in
3 min readDec 25, 2020
Photo by Robert Thiemann on Unsplash

Mendekati Hari Raya Natal, yang tahun ini mungkin jauh dari normal rasanya, umumnya pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia sudah dipenuhi dengan dekorasi natal. Mulai dari pohon natal, topi Sinterklas, lampu kelap-kelip ditambah dengan semaraknya end year sale yang melengkapi antusiasme menutup tahun. Gegap gempita perayaan kapitalisme dan konsumerisme yang mendorong orang untuk membelanjakan uangnya, bahkan di Jerman, sepertiga dari omset pertokoan dan ritel dalam setahun diraup hanya dalam tiga minggu menjelang Natal. Namun bagi umat Kristen, Natal yang berarti kehidupan dalam bahasa Latin, menandakan akan harapan kehidupan kekal yang melebihi sengsara hidup di dunia ini.

Mungkin sebagian besar orang sudah pernah dengar mengenai kisah kelahiran Tuhan bagi umat Kristen di malam Natal, terlepas dari keakuratan cerita ini, dimana banyak sejarawan yang memperkirakan bahwa Yesus lahir di musim panas dan bukan di bulan Desember, namun hasil penggabungan budaya romawi kuno dengan kisah ini, membuat cerita kelahiran Yesus ini tidak akan bisa dipisahkan dari tanggal 25 Desember. Kisah ini senantiasa diteruskan dari generasi ke generasi dan sudah menjadi tradisi. Umat Kristiani percaya bahwa untuk dapat percaya dan beriman kepada kabar sukacita akan lahirnya Juruselamat mereka ke dunia dalam wujud manusia adalah sebuah anugerah, sebuah panggilan, sebuah privilese. Dan dalam suasana natal, umat yang percaya pun kembali diingatkan untuk “menyebarkan kabar baik” sampai ke ujung bumi dan tidak menyimpan privilese yang mereka terima di dalam hati mereka saja. Terlepas dari apapun kepercayaan atau ketidakpercayaan Sobat Progresif, saya rasa kita perlu mencontoh cara pandang ini.

Di tengah dunia modern yang erat dengan individualisme dan persaingan, tak semua orang memiliki posisi mulai yang sama. Para motivator sering salah kaprah mengenai hidup ini yang diibaratkan sebagai perlombaan, dan selama kita bekerja keras dan berusaha, kita akan berhasil, sayangnya kenyataan hidup seperti itu. Apakah iya seorang yang dilahirkan di keluarga menengah atas perkotaan , bersekolah di sekolah swasta dan berkuliah di luar negeri, memulai di posisi yang sama dengan seseorang yang terlahir dari keluarga kurang mampu yang harus mencari nafkah dari hari ke hari dan tinggal di perkumuhan? Latar belakang suku, ekonomi, agama, pendidikan keluarga tentu sangat menentukan bukan? Tentu bisa saya kupas lebih lanjut, apa pengaruh dari masing-masing faktor tersebut, tapi kita simpan untuk lain hari. Untuk sampai ke pemahaman ini pun, nyatanya sulit untuk banyak orang, yang paling saya sayangkan adalah, tak jarang mereka yang mempunyai privilese lah yang menganggap yang mereka punyai adalah keniscayaan.

Kaum berprivilese ini pun seringkali membuat gelembung pertemanannya sendiri, yang terlanjut dari generasi ke generasi, menyebabkan kurang pekanya mereka terhadap sesama penghuni kota di sekitarnya. Gelembung ini selain membuat kamu berprivilese tercabut dari realita kehidupan di sekitar mereka, sekaligus juga membatasi cara pikir dan cara mereka bermimpi. Walaupun dibekali kemampuan finansial, kecerdasan dan koneksi, impian dan tujuan hidupnya sebatas melanggengkan kondisi mereka saat ini. Seolah tak ada cara lain menjalani hidup dan memenuhi tujuan hidupnya di dunia selain kumpul bersama teman di akhir pekan, berbelanja daring saat diskon 9/9 10/10 11/11 dan seterusnya. Secara tak langsung, mereka sedang mengkerdilkan dirinya sendiri, meskipun mereka memiliki bekal yang luar biasa untuk melakukan perubahan. Saya sendiri pernah dan dalam proses untuk mengeluarkan diri dari gelembung-gelembung itu. Dari batasan tak kasat mata yang mencegah saya untuk melakukan apapun yang saya mau, meskipun kamu berprivilese seperti saya tidak pernah melakukannya.

Di penghujung tahun yang penuh dengan keajaiban ini, saya ingin mengajak kalian semua untuk kembali menyadari privilese apa yang kalian punya, dan untuk menyadari seberapa dalam kalian terjebak di dalam gelembung itu? Sadarilah bahwa kalian unik dan merupakan bagian dari sebagian kecil orang yang memiliki privilese sebesar kalian. Dan kalau umat Kristiani dibebani tugas untuk menyampaikan kabar sukacita kepada mereka yang tidak memiliki privilese, saya tidak melihat perbedaan yang berarti dalam kehidupan kita bersama dengan sesama manusia di sekitar. Untuk setiap privilese yang kita punya, kita bertanggung jawab untuk membagikannya kepada mereka yang tidak mempunyai privilese seperti kita. Semakin banyak orang yang keluar dari gelembung norma itu, maka semakin ideallah dunia di mana kita tinggal.

Selamat beristirahat, selamat tinggal 2020, selamat berjuang lebih keras lagi untuk kemanusiaan di tahun depan!

--

--