Kamu Tidak dari Dunia Ini!
Opini.
Sebuah penggalan ayat suci dari Alkitab yang ditujukan untuk menggambarkan fananya kehidupan di dunia ini dan betapa tidak bergunanya hidup seseorang bila hanya mengejar kekayaan materi dan kebahagiaan semu.
Tapi saya rasa sangat tepat untuk menggambarkan perkembangan dunia baru di dekade ini. Saat sebagian besar orang di dunia menggenggam gawai ajaib di sakunya yang tergabung melalui kabel bawah laut yang membentang puluhan ribu kilometer. Setiap orang dapat membuat replika dirinya semirip mungkin dengan dunia nyata. Orang-orang dengan sukarela membeberkan tanggal lahirnya, makanan kesukaannya, foto-foto aib dan lokasinya, agar tampak semakin serupa dengan dunia kita saat ini. Seakan tak cukup kita hidup di dunia yang dapat kita sentuh, rasa dan cium, manusia perlu dunia baru untuk mengungkapkan diri yang sesungguhnya, tak jarang dengan dua akun atau lebih.
Dunia baru ini pun menjadi primadona di antara kita. Menjadi tempat kita berlari ketika dunia yang dapat kita pijak ini terasa menjenuhkan. Namun, tak ada yang mengira bahwa, seperti film Inception, kita tidak bisa lagi membedakan apakah kita sekarang sedang berada di dunia yang bisa kita raba atau di dunia baru yang kita ciptakan itu. Seolah-olah semua sudah melebur jadi satu dan tak mungkin lagi dipisahkan satu dari yang lainnya. Dunia baru yang tadinya seakan sebuah tempat good vibes only , hancur karena kita dunia asli yang perlahan mulai hancur ini, mulai mengganggu imajinasi kita akan sebuah dunia baru yang sepenuhnya terlepas dengan dunia saat ini.
Fatamorgana itu sirna oleh kasus skandal antara Cambridge Analytica dan Facebook yang diyakini menjadi pengaruh besar terhadap terpilihnya milyuner eksentrik bernama Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat. Dunia yang tadinya menjadi cerminan masyarakat ideal tanpa pengaruh besar dari pengontrol kekuasaan pun seakan tinggal angan. Algoritmanya seakan mengurung kita dalam keseragaman agar kita tidak berpaling ke platform lain. Dunia yang kita gunakan untuk kabur dari kenyataan malah menjebak kita, sehingga kita tidak bisa kabur lagi.
Bahkan, bila sekarang kita ingin sepenuhnya kembali menikmati hidup di dunia nyata, sebuah komentar sinis kita bertahun silam di dunia khayalan itu dapat menjadi momok dalam kehidupan kita di dunia nyata. Itulah masalahnya. Jika kita melakukan hal bodoh di dunia nyata, tak ada yang sadar. Bila kita lakukan itu di dunia idaman kita, ia akan selalu di sana selamanya, bahkan hingga dunia asli ini berakhir.
Mungkin memang kita harus mengingat kembali, bahwa kita tidak berasal dari dunia itu. Kita ada di dimana kita ada. Tidak ada dunia khayalan manapun yang mampu menyangkal keberadaan kita di dunia ini sekarang. Mau seberapa banyak follower, like, comments kita miliki di dunia itu, tak ada yang dapat kita bawa ke dunia tempat kita hidup sekarang. Kapan kita akan menyadari bahwa dunia khayalan itu hanyalah penting ketika kita mementingkannya? hanya berharga ketika kita menghargainya? hanya ada ketika kita mengandainya?
Kamu tidak berasal dari dunia (maya) itu! Berdirilah dan bergeraklah!
Kolom Opini, Publikasi Podcast Progresif. Minggu, 13 September 2020. Oleh Evan Yonathan.