Kedudukan menentukan kesadaran. Kesadaran menentukan kedudukan.

Opini

Bambang Smarasanta
Podcast Progresif
3 min readMay 31, 2020

--

Photo by Ashton Mullins on Unsplash

Kedua kalimat di judul tersebut penting. Hanya kurang kata “menuju”, yang harus menghubungkan keduanya yang di terpisah oleh titik. Kedudukan berarti status, dan letak seseorang dalam strata sosial. Bisa juga prestasi, pencapaian. Kesadaran berarti perangkat untuk menelaah realitas. Kedudukan dan kesadaran tak dapat dipisahkan. Mari membahasnya satu per satu.

Kalimat pertama seharusnya merujuk pada zaman dahulu, sebelum ada modernitas. Bayangkan, kira-kira di Indonesia, zaman sebelum abad ke-19. Tiap-tiap orang lahir ke dalam kedudukan tertentu, berdasarkan garis keturunan: tergantung orangtua kita siapa. Istilah kelas sosial amat relevan. Kalau kau lahir di keluarga petani, jangan harap kau bisa menikmati belaian selir di keraton. Sebab, kau kelas petani. Kalau kau lahir di keluarga pekerja kasar, kuli angkat, tukang bersih-bersih, abdi dalem, ya, seumur hidup begitu. Menderita seumur-umur. Pelarian? Karl Marx yang berengosan dan semacam dianggap perwujudan iblis di Indonesia akan mengatakan agama. “Agama adalah candu rakyat!”, demikian kalimat yang dikutip-kutip oleh para orang berhalauan komunis, yang setidaknya sampai tahun 60-an masih punya taring di Indonesia. Walaupun sebetulnya, Marx tidak pernah bermaksud untuk “menyebarkan kebencian” akan agama; yang dia lakukan hanya analisis “objektif” saja, mengenai kemana lantas para kelas “proletar” menyalurkan hasrat objektivikasi diri-nya. Yang menjadikan kalimat itu tendensius, tentulah para penelaahnya. Nah, kembali lagi ke topik, kalau kau anak raja, berbahagialah, nak! Kau dapatkan seluruh kekayaan dunia, kau dapat kembangkan potensi, bakat, hobi, kesukaan, dan hasrat karyamu dengan utuh. Karena, kau kelas bangsawan. Jangan bayangkan seperti kita sekarang, lahir ke keluarga apapun, dan bisa menjadi apapun. Jangan harap anak-anak zaman dahulu punya kesadaran bahwa mereka punya potensi diri yang bisa dikembangkan. Sedari kecil, semua orang diajarkan, atau dicuci otaknya supaya tunduk pada kodrat sosial. Kodrat, suatu konsepsi penting yang sekarang asing. Kodrat berarti pula kedudukan. Maka, tuntaslah: kedudukan menentukan kesadaran. Anak bangsawan akan memiliki kesadaran kebangsawanan. Anak buruh memiliki kesadaran “keburuhan”. Anak petani memiliki kesadaran “kepetanian”. Anak pedagang, atau saudagar memiliki kesadaran “kepedagangan”.

Kurang lebih demikian sampai abad ke-18, di Indonesia. Abad ke-19 menawarkan kesempatan baru. Kalian pasti ingat, Belanda butuh juru tulis, juru ketik, pengawas, untuk kepentingan bisnis, industri dan pabriknya. Banyak orang Belanda mana mau ke Nusantara jauh-jauh untuk jadi juru ketik saja. Berdirilah sekolah-sekolah khusus profesi-profesi kecil itu. Baca, tulis, hitung: wajib bisa. Alumnusnya bekerja di pabrik, menjadi terpandang di kalangan buruh maupun petani. Tahta, kedudukan dengan pamornya: sesuatu yang untuknya semua terjajah rela menghalalkan segala cara. Pramoedya mengisahkannya di Bumi Manusia, menyematkannya dalam penokohan Sanikem: dijual ayahnya ke orang Belanda pemilik industri, supaya ayahnya dapat diangkat jadi juru tulis. Ia sadar, bahwa ia dapat punya pamor lebih; ia menghalalkan segalanya, termasuk tindakan imoralpun, untuk menggapainya. Bahasanya sekarang: ia mau pansos, panjat sosial. Sudahkah ia masuk ke model ke dua? Belum. Ia masih korban dari pesona kedudukan. Model kedua mensyaratkan kesadaran yang bukan bercirikan korban, melainkan aktif.

Kata kuncinya tentu wajib pendidikan moderen. Anak petani? Anak buruh? Anak mantan raja? Anak pengerajin? Anak penari? BEBAS mau jadi apapun, asalkan tersedia pilihannya, atau lebih tepatnya, asalkan disediakan pilihannya oleh sistem pendidikan. Filosofinya kuna sekali, pewujudan jati diri, bukan lagi kodrat. Paling tidak setelah Taman Siswa orang-orang Indonesia tidak lagi diajarkan untuk mengerti kodrat. Jati diri dibentuk oleh banyak elemen, salah satunya bakat dan potensi diri. Kesadaran baru di zaman sekarang, zaman moderen (terserah mau pasca-moderen, atau akhir-moderen, ya, intinya itu), seharusnya kesadaran yang banyak ditentukan oleh pemahaman bakat dan potensi diri. Seharusnya, ya, seharusnya, wajib pendidikan menumbuhkan kesadaran baru itu. Kesadaran aktif untuk menentukan kedudukan yang tak lagi berkaitan dengan pamor sama sekali, melainkan spesialisasi. Maka, kata kunci selanjutnya ialah spesialisasi. Pilihan kegiatan yang dilakukan sepanjang hidup makin melimpah dengan sistem modernitas yang makin kompleks, yang harus dibagi-bagi ke kelompok-kelompok turunan. Tentu, spesialisasi ini harus dipilih setiap orang atas dasar kesesuaiannya dengan minat, bakat, dan potensi masing-masing. Maka, kata kunci selanjutnya adalah pilih. Dan memilih, dari segi kebahasaan saja, sudah mensyaratkan keaktivan. Masing-masing, maka, merujuk pada otonomi individu; setiap individu punya hak untuk aktif memilih. Dengan begitu kesadaran menentukan kedudukan: model yang seharusnya berlaku untuk tiap manusia modern.

Maka, kalau ada orang di masa sekarang, yang tidak menggali potensinya, dan hanya berusaha untuk mencari pamor (seperti mereka yang berjam-jam bersolek dan mengunggah foto dan video untuk kepentingan sensasi) dan panjat sosial, maka jelas, bahwa mereka salah zaman. Mereka mirip ayah Sanikem, mungkin juga dalam imoralitasnya. Kuharap mayoritas tidak demikian.

--

--