Ketahanan Energi atau Ketahanan Iklim?

enathn
Podcast Progresif
Published in
6 min readMar 1, 2022

Oleh: Nathan Hemson

Liputan media beberapa hari terakhir dipenuhi berita invasi skala penuh dari pasukan Putin memasuki Ukraina. Sebuah peristiwa janggal di dunia barat di era postmodern. Di antara kebisingan berita ini keluar hari ini sebuah laporan baru dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)[1]. Laporan lanjutan terbaru mereka mengenai ‘dampak, adaptasi dan kerentanan’ yang disebabkan perubahan iklim diakhiri dengan kutipan berikut: “Perubahan iklim adalah sebuah ancaman serius terhadap kesejahteraan manusia dan kesehatan planet. Setiap wujud penundaan dalam tindakan preventif yang dilakukan secara seksama akan menutup lebih cepat jendela pengharapan yang kini sudah sangat sempit untuk sebuah masa depan yang masih layak untuk dihidupi”. Kata-kata berat yang menyelimuti permohonan tersirat supaya kemanusiaan mulai mengubah cara-cara hidupnya. Ya, di hadapan peristiwa global seperti wabah virus corona dan perang di daratan barat, perhatian terhadap masalah kronis seperti perubahan iklim mudah terabaikan. Masalah ini pun baru saja memasuki babak baru. Sebuah dilema ketahanan nasional yang disebabkan oleh dekade-dekade penuh penundaan dan kompromi.

Harga Energi yang Melangit

Masih teringat sore hari tanggal 20 April 2020 dimana saya sempat memantau harga futures contract minyak mentah yang berubah menjadi negatif. Benar, negatif. Hal ini terjadi lantaran para pembeli di pasar JUSTRU dibayar untuk membeli kontrak tersebut dan bersamanya kewajiban untuk mengambil minyak tersebut langsung dari sumur. Ribuan kapal tanker jadi bahan rebutan untuk jadi tempat penyimpanan sementara ratusan ribu ton minyak mentah di tengah-tengah lautan[3]. Sungguh sebuah fenomena menakjubkan yang menunjukan kompleksitas dari pasar bebas yang kian digital dan kian mengglobal, serta pengaruh besar geopolitik yang bisa mengganggu kestabilan pasar. Kita sekarang berada di tepi sebuah fenomena yang tidak kalah besar, namun kali ini berbanding terbalik. Harga minyak mentah justru meroket dan telah menembus tiga digit lagi[4].

Seberapa tinggi harga minyak mentah masih bisa naik?

Perkembangan harga gas di Eropa satu tahun terakhir (Gambar 1)

Kita sudah lihat bagaimana pembentukan harga di pasar global ditentukan oleh banyak faktor independen. Krisis energi Eropa tahun 2021 disebabkan antara lain oleh pengaruh cuaca, pelonggaran regulasi Covid-19, perubahan sistemik di jaringan energi serta permainan politik dari negara produsen energi[5].

Sejak konvoi pasukan Putin memasuki tanah Ukraina lima hari lalu, harga gas eropa sudah naik lagi melewati 800% YoY (dibandingkan tahun lalu), dan ini baru permulaan. Sampai saat ini gas bumi dari Rusia masih mengalir terus di pipa bawah tanah melewati Ukraina menuju Eropa Barat untuk mengakomodir keperluan energi Eropa[6]. Rusia masih terus membayar Ukraina untuk mendapatkan hak mengoperasi pipa-pipa ini. Semua ini terjadi di bawah tanah, sementara di atas tanah terjadi pertumpahan darah. Sebuah koordinasi yang masih berlanjut antara dua pihak yang de facto sedang berperang. Mengapa politik energi dan ketergantungan Eropa Barat terhadap gas Rusia sangat tangguh, sampai bisa melewati tirai peperangan? Apa gerangan yang akan terjadi jika suatu saat gas ini berhenti mengalir. Kehancuran ekonomi Eropa? Atau justru perang besar yang dapat mengancam kemanusiaan.

Ketergantungan Bilateral

Ketergantungan negara Eropa terhadap impor energi (Gambar 2)

48% dan 72% dari expor minyak dan gas Rusia menuju ke Eropa Barat[7]. Expor migas Rusia pun merupakan 36% dari anggaran nasional mereka tahun lalu. Dengan harga energi yang sedang melangit, perusahaan energi Rusia dapat mencetak jumlah laba yang sungguh besar. Putin dan teman-teman oligarkinya melengkapi koleksi kapal pesiar mereka dengan menambah kapal transport dukungan[8]. Rusia pun menyetok cadangan devisa mereka dengan memborong emas dan mata uang lainnya hingga mencapai 630 miliar dollar.

Di pihak satunya, Eropa Barat secara rata-rata bergantung terhadap impor gas dari Rusia sebesar 35% dari total impor gas bumi mereka. Kerjasama antar negara EU dalam wujud ‘common energy market’, di mana harga energi di seluruh benua disamaratakan merumitkan konflik kepentingan ini lebih jauh. Produksi gas bumi lokal dari Norwegia dan Belanda sudah mencapai titik maksimal, plus sedikit lagi[9]. Harga LNG (Liquified Natural Gas) di pasar spot sudah naik sampai 20x[10]. Dari seluruh sanksi retaliasi EU terhadap Rusia, embargo terhadap expor migas tidak dilibatkan[11]. Eropa sangat bergantung dengan migas dari Rusia. Mereka tidak rela tidur kedinginan di malam-malam musim salju yang dingin. Jaringan energi mereka tidak sanggup mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa pasokan tambahan dari Rusia. Belum lagi efek kaskade terhadap inflasi harga konsumen yang sekarang saja sudah sangat tinggi[12]. Penyetopan laju gas bumi ke barat akan memiliki dampak yang sangat terasa buat setiap orang.

Bahan Bakar yang Andal

“The master doesn’t need to chain his slaves; their needs will chain them to him.” — Bangambiki Habyarimana

Ketergantungan Eropa Barat terhadap Rusia menempati mereka di posisi negosiasi yang lemah. Ketergantungan yang sistemik ini akibat dari dekade-dekade lalu yang disia-siakan menggampangkan kenyamanan dan kurangnya diversifikasi, koordinasi serta ambisi dalam penghijauan dari jaringan energi. Alhasil krisis energi Eropa sekarang telah menjadi sebuah isu ketahanan nasional. Untuk bergantung kepada sebuah pemerintahan otokratis untuk keberlanjutan masa depan kenegaraan merupakan sebuah mismanagement yang fatal.

Permasalahan energi ini pun bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan secara gesit. Tenaga nuklir yang cocok dijadikan beban listrik dasar tidak mudah dan sangat haus investasi. Pembangunan PLTN pun memakan waktu yang sangat lama (> 10 tahun) dan rawan membengkak. Nuklir pun bukan merupakan energi yang berkelanjutan. Limbah nuklir yang sekarang saja sudah banyak dibuang asal ke dalam lautan dan ditampung di penampungan sementara yang kian mengecil. Sampai sekarang belum ada solusi untuk masalah limbah ini, dan jika masalah ini kita turunkan kepada generasi berikutnya, nuklir secara definisi menjadi sebuah energi yang tidak berkelanjutan[13]. Patut diingat bahwa limbah nuklir bertahan lebih dari seribu tahun, jauh lebih lama dari existensi kebanyakan peradaban yang sekarang ada.

Pembangkitan listrik menggunakan energi solar dan angin juga secara fundamental tidak andal. Sifat dasar mereka yang berselang membuat mereka tidak mampu untuk menjadi beban listrik dasar. Dibutuhkan teknologi penyimpanan energi seperti dalam wujud hidrogen atau Power-to-x lainnya, terdesentralisasi menggunakan mobil listrik atau baterai lithium lainnya, ataupun menggunakan waduk penyimpanan untuk melengkapi kebutuhan jaringan. Sayangnya investasi ke teknologi berkelanjutan tersebut banyak yang mandek ditahan oleh lobby konglomerat bahan bakar fosil[14]. Lantas apa yang Eropa akan lakukan untuk menghadapi krisis yang kian hari kian mendekat..

Tambang lignite terbesar di dunia di Hambach, Jerman (Gambar 3)

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap Rusia, banyak negara-negara Eropa Barat mulai menyalakan kembali PLTU batubara mereka[15]. PLTU bertenaga lignite yang lebih kotor dan memiliki nilai kalori lebih rendah[16]. Tapi apa daya, pilihan pemerintahan sekarang hanya antara merisikokan resesi dan kericuhan yang disebabkan hilangnya sebuah kebutuhan dasar, berujung pada kejatuhan karir politik mereka, atau menunda tindakan preventif terhadap bertambah buruknya perubahan iklim yang toh, efek extrimnya baru akan terasa oleh generasi anak cucu mereka. Dalam realita, sebenarnya mereka tidak punya dua opsi. Di dunia neoliberal, batubara merupakan sang sexy killer yang tidak bisa ditolak.

Rencana reformasi energi yang sudah ditekadkan pun akhirnya direncanakan untuk ditunda[17]. Izin operasi PLTU batubara juga direncanakan untuk diperpanjang[18]. Apa gerangan yang telah terjadi terhadap janji-janji NDC (Nationally Determined Contributions) yang dibuat di Glasgow beberapa bulan lalu?[19] Nampaknya ketahanan energi Eropa akan datang dengan mengorbankan ketahanan iklim.

Tweet dari sekjen PBB António Guterres menyoroti kerentanan ketahanan energi di hadapan krisis geopolitik (Gambar 4)

Ketahanan Nasional Sebagai Wujud Resiliensi

Pada dasarnya ketahanan nasional adalah kepentingan yang sifatnya nasional. Pernyataan ini namun tidak lagi benar di zaman anthropocene sekarang ini, di mana tindakan manusia telah menyebabkan perubahan geo-meteorologis dan ekologis yang signifikan. Ambil contoh ketahanan pangan nasional, yang sangat bergantung terhadap perubahan iklim yang sifatnya global. Dunia masuk ke dalam sebuah skenario teori permainan dalam wujud prisoner’s dilemma, di mana untuk mencapai economic rent yang maksimal, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak yang terlibat. Sebuah realita yang bahkan fiksi ilmiah utopis paling optimis pun tidak berani bayangkan. Di muka konflik kepentingan dan krisis global ini, hanya negara yang tangguh yang akan keluar sebagai pemenang.

Ketangguhan sebuah negara itu pun dapat diukur dari bagaimana mereka mengelola risiko untuk menghindari terjadinya skenario buruk dan bagaimana mereka bisa mengidentifikasi dan memanfaatkan kelebihan strategis yang mereka miliki. Tenggelamnya kota Jakarta merupakan sebuah contoh skenario buruk, yang jika terus diabaikan akan memiliki dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan kemasyarakatan. Lokasi geografis dan kekayaan mineral Indonesia, terutama dalam wujud perkebunan dan pertambangan di sisi lain harus dimanfaatkan lebih banyak dengan cara melokalisasikan pertambahan nilai melalui investasi di industri pemrosesan dalam negeri. Hanya melalui penguatan ketangguhan nasional di seluruh sektor, Indonesia bisa menjamin masa depan yang tidak rentan terhadap krisis geopolitik, ekonomi maupun alam. Keberlangsungan kehidupan sejahtera di Indonesia untuk hari esok bergantung kepada keputusan-keputusan strategis yang kita ambil hari ini. Sudah tiba saatnya kita harus menentukan bersama haluan negara yang resilien.

--

--