Kita mah orang cina dagang aja.

Evan Yonathan
Podcast Progresif
Published in
5 min readFeb 12, 2021
Photo by Jason Leung on Unsplash

Menjadi seorang keturunan Tionghoa di Indonesia memberikan warna tersendiri baik dalam kisah hidup, karakter serta cara pandang saya. Salah satu yang mengukuhkan asal muasal leluhur saya adalah momen di awal tahun ketika saya memakai baju merah dan dipaksa menelpon kakek nenek om tante sanak saudara yang saya tidak kenal (kebetulan keluarga inti kami tinggal terpisah dari keluarga besar kami) dan mengucapkan Gong Xi Fa Cai, Xin Nian Kuai Le, Wan Shi Ru Yi. Ucapan yang dalam terjemahan aslinya berarti semoga selalu beruntung, selamat tahun baru dan semoga diberi kesehatan ini memiliki makna yang berbeda ketika saya masa kecil. Karena biasanya setelah mengucapkan mantra tersebut saya berlimpah uang jajan, yang dulu saya belikan bola sepak dan gim PlayStation 2. Baru ketika saya semakin besar saya mengerti bahwa hari penuh magis tersebut dinamakan Imlek.

Semakin saya banyak belajar saya juga mengerti bahwa keturunan Tionghoa di Indonesia mengalami sejarah yang jauh dari mulus. Dimulai dari gelombang emigrasi dari desa-desa di Tiongkok selatan yang mendarat di Nusantara untuk mencari peruntungan. Oleh karenanya bahasa dialek asal Tiongkok yang paling sering diutarakan di Indonesia adalah bahasa Hokkian, Keh dan Tio Chiu. Kurang lebih seperti bahasa Sunda, Jawa dan Batak di Indonesia. Posisi para pendatang ini di mata Belanda kala itu dipandang lebih tinggi dibanding Inlander sehingga juga mendapat privilese tersendiri. Meskipun pada masa penjajahan Belanda warga asli Tionghoa tersebut dianggap lebih berderajat, pengaruh mereka terhadap kehidupan sosial masyarakat serta politik kala itu dapat dikatakan minim dan terbatas dalam lingkup pasar dan perdagangan saja.

Tak heran bila banyak kata-kata dari dialek Hokkian yang terserap ke dalam Bahasa Indonesia, namun sekali lagi kata yang diserap mayoritas adalah bahasa mudah yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari dalam berdagang atau bergosip dengan sesama pedagang. Gope (500) Cepe (100) merupakan contoh mudah penggunaan istilah pasar dari dialek Hokkian yang sudah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, bahkan Pak Ogah seorang tokoh dalam teater boneka Si Unyil pun selalu meminta Cepe untuk upah jasanya. Kata sapaan seperti Lo dan Gue yang sekarang sudah menjadi bahasa urban pun berasal dari dialek Hokkian yang digunakan dalam pembicaraan sederhana. Mungkin yang paling susah adalah istilah Kongkalikong yang menggambarkan kesepakatan tertentu yang telah dibuat di belakang layar, juga dapat kita bayangkan digunakan dalam ranah bisnis dan jual beli. Memang kontribusi warga keturunan Tionghoa kepada Bahasa Indonesia tidak mewah namun melekat kepada khalayak banyak karena memang mereka lebih dekat dengan warga umum dibandingkan dengan kaum ningrat yang seringkali mencederai rasa hormat masyarakat dengan bersekutu dengan pihak Belanda.

Pada Orde Lama sebenarnya pengaruh keturunan Tionghoa sudah mencapai ranah lain dan tidak hanya terbatas dalam lingkup bisnis saja. Salah satunya adalah mahasiswa Universitas Indonesia bernama Soe Hok Gie yang menjadi lambang perjuangan melawan kesemena-menaan Soekarno di akhir-akhir masa menjabatnya. Selain itu tak sedikit warga keturunan Tionghoa yang menjadi anggota aktif dan sukarelawan dari berbagai partai politik saat itu. Namun gerilya warga keturunan Tionghoa dalam ranah sosial politik terhenti setelah peristiwa pembantaian PKI tahun 1965–1966 yang sampai sekarang tidak pernah diusut. Praktis di Orde Baru keterlibatan warga Tionghoa dalam ruang-ruang publik seperti halnya dengan seluruh rakyat Indonesia dibungkam. Warga Tionghoa pun seakan kembali ke habitatnya yaitu berjualan dan berbisnis. Namun yang berbeda adalah kali ini penguasa memiliki kedekatan dan keinginan untuk membangun hubungan dengan segelintir warga keturunan Tionghoa yang dijadikan rekan bisnis haram penguasa Orde Baru. Tak sedikit pengusaha Tionghoa dan keturunannya yang masih menikmati kekayaan akibat kedekatan mereka dengan Soeharto puluhan tahun silam. Di saat mereka menikmati Orde Baru, warga keturunan Tionghoa menengah ke bawah terutama di Jakarta harus mengalami tragedi yang sangat mengerikan saat Soeharto tumbang. Tragedi kemanusiaan di bulan Mei 1998 itu menyisakan dendam, amarah dan ketidakpercayaan yang mendalam. Semua itu terasa baik secara eksplisit maupun implisit juga di tengah-tengah obrolan keluarga besar saya. Baik secara langsung maupun di grup Whatsapp

Hari ini setelah Orde Baru lebih dari 20 tahun tumbang, trauma dan kebencian terhadap para penjarah entah kenapa masih diteruskan ke generasi saya dan rekan-rekan sebaya. Padahal waktu itu usia kami (atau kita) mungkin baru 2 tahun. Generasi di atas kami akhirnya banyak yang memilih menutup dan menjauhkan diri dari kegiatan-kegiatan yang bersinggungan dengan sosial dan masyarakat luas. Mereka pun kembali mengamini pereduksian peran mereka yang dilakukan oleh Orde Baru bahwa tidak ada tempat bagi warga keturunan Tionghoa di Indonesia selain untuk berbisnis atau menjadi pemain Bulutangkis. Namun bedanya kali ini generasi di atas kami secara sukarela mengeksklusikan diri atas dasar trauma dan ketakutan.

Saya tapi tidak bisa menerima hal ini. Karena situasi di tahun 2021 dengan tahun 1980 tentu jauh berbeda. Dewasa ini minimal melihat dari lingkaran pertemanan saya (yang juga keturunan Tionghoa) hampir semuanya minimal memiliki gelar sarjana dan tak jarang juga dari luar negeri (seperti saya). Mereka memiliki tingkat akses informasi dan pendidikan yang jauh melampaui rata-rata generasi di atas kami di tahun 1980 dulu. Tentu saja kemajuan ini bukan hanya terjadi di keturunan Tionghoa tapi juga di masyarakat Indonesia secara umum. Namun terlepas dengan kemajuan ini dengan gelar mentereng, tak pernah terbesit sedikitpun di dalam pikiran mereka untuk melakukan hal lain selain berbisnis atau berdagang. Entah darimana keterbatasan cara pandang ini berasal, mungkin dari cerita mengerikan yang berbau rasisme yang diturunkan dalam keluarga besar mereka, bahwa orang “Indonesia” asli tidak dapat dipercaya ataupun tidak bisa kerja. Mungkin atas dasar prasangka ini juga orang tua kami menyekolahkan di kami di sekolah mayoritas Tionghoa. Sehingga mengakibatkan satu-satunya pengalaman kami bersentuhan dengan orang “pribumi” alias orang Indonesia Non-Tionghoa hanya dari asumsi yang sudah usang tersebut.

Segregasi ini pun akhirnya menciptakan lingkaran setan atau mungkin lebih cocok digambarkan sebagai gelembung. Di mana generasi muda keturunan Tionghoa hanya melihat Indonesia dan sekitarnya dari balik gelembung tanpa pernah bersentuhan secara langsung. Sementara orang-orang pun enggan atau tidak ada kesempatan untuk bersentuhan dengan keturunan Tionghoa karena kami pun dikungkung dan lebih parahnya hanya sibuk membesarkan gelembung kami sendiri. Sebuah hal yang sangat disayangkan mengingat kami adalah generasi yang pada umumnya berpendidikan baik dan harusnya mampu melakukan perubahan di luar “hanya” berbisnis saja. Transfer of Knowledge dari kaum berpendidikan kepada masyarakat umum pun akhirnya tidak terjadi yang menjadikan kesenjangan antara generasi muda keturunan Tionghoa dengan masyarakat menjadi lebih lebar.

Tentu tak ada yang salah sama sekali dengan berbisnis maupun berdagang. Namun saya mau ajak kita merenungkan kembali, apakah memang itu yang kita cita-citakan, atau malah merupakan sebuah hasil pembatasan cara pandang berdasarkan dari trauma masa lalu yang digeneralisasi dan diagungkan? Jangan-jangan istilah “Kita mah orang Cina dagang aja” bukan diutarakan untuk memberi arahan hidup tetapi malah mengambil makna hidup kami yang sesungguhnya.

Selamat Hari Raya Imlek! Gong Xi Fa Cai!

-Evan Yonathan-

--

--