Ma, Tenglang itu apa ya?

Blog

Evan Yonathan
Podcast Progresif
5 min readMay 8, 2020

--

Photo by Kew Li Wen on Unsplash

Kota yang berkecukupan air begitu terjemahan lepas dari bahasa Sunda, nama kota di mana saya tumbuh besar, meskipun ironis sering sekali warganya harus membeli air dari pedagang keliling di gerobak ketika musim kemarau tiba. Dua ribu rupiah harus mereka keluarkan untuk setiap jerigen nya untuk keperluan minum, mandi dan cuci secukupnya. Kota yang dikelilingi pabrik tekstil, pangkalan militer, dan perumahan tentara. Tercermin dari teman-teman saya dahulu merupakan anak dari buruh pabrik, supir angkot, atau juga cucu dari veteran TNI. Kami sekeluarga pun hidup sederhana di sebuah perumahan untuk buruh pabrik kain, tempat ayah saya bekerja.

Saya dan teman-teman di saya di sekolah dasar diberikan takdir yang serupa.

Selayaknya murid sekolah dasar yang sedang aktif-aktifnya bergerak, saya dan teman-teman rutin bermain sepak bola di halaman sekolah. Walaupun guru yang kami anggap sangat galak selalu menyita bola kami, tak peduli berapapun harganya. Mungkin sudah tidak terhitung lagi ada berapa bola sepak yang dikunci di lemari ibu guru itu. Kelas lima SD saya memiliki beberapa teman dekat. Ada yang ayahnya dan hampir seluruh pamannya berprofesi sebagai Pendeta, ada yang sering pulang menjenguk eyangnya di Jawa (saya bingung, padahal kami juga saat itu tinggal di Jawa bagian barat), ada yang nama belakang seluruh keluarganya selalu berawalan dengan „si“.

Semuanya melebur jadi satu dan saya merasa nyaman dengan keberagaman itu. Tidak pernah saya berpikir bahwa saya berbeda dengan mereka, hal terbesar yang bisa membuat pertemanan kami tidak dekat lagi adalah apakah kita masuk kelas A atau B. Sepulang sekolah biasa kami bermain bola (itupun kalau bola kami tidak disita) sambil menunggu murid-murid SMP yang satu mobil antar jemput dengan mereka pulang. Atau sesekali bermain gim di rumah teman kami di komplek seberang sekolah kami.

Di jenjang terakhir kami semua sibuk mengandai-andai ke mana kami akan meneruskan sekolah. Ada yang bercita-cita masuk SMP Negeri karena katanya lebih prestisius dan membuka kesempatan. Ada yang ingin masuk sekolah Katolik, ada juga yang ingin melanjutkan tepat di SMP di seberang gedung kami yang masih satu yayasan. Orang tua saya sudah membulatkan keputusannya jauh sebelum itu.

„Kamu harus lanjut sekolah di Bandung karena kualitasnya lebih baik.“ Itulah kurang lebih sebaris argumentasi yang disampaikan ayah saya dan saya hafalkan betul untuk menjawab pertanyaan teman saya yang kecewa karena saya tidak akan bersama dengan mereka lagi.

Memang cuma terpisah kurang dari 15 Kilometer, pikir saya pun begitu. Namun ternyata akhirnya saya tidak bisa bertemu dengan mereka lagi hingga sebelas tahun kemudian.

Setelah kelulusan tiba, saya memulai pengalaman saya yang baru di Kota Kembang. Minggu pertama Masa Orientasi Sekolah (MOS) kami diminta untuk menggunakan seragam SD masing-masing. Saya mengenakan seragam batik biru yang ternyata tidak umum dipakai di SD teman-teman saya yang lain, walaupun masih satu yayasan dan hanya beda kota. „Seperti seragam sekolah negeri“ komentar salah satu teman saya. Saya tidak mengerti apa maksud dari ucapan itu, karena yang saya tahu sekolah negeri itu berkelas. Namun sepertinya tidak di mata teman-teman baru saya dari kota besar. Saya yang biasanya jajan 5 ribu rupiah sehari saja sudah tergolong mewah, ternyata tidak bisa beli banyak di kantin sekolah.

Di gerbang sekolah pun banyak teman saya yang sudah ditunggu supir pribadinya, dengan sigap sang supir langsung membawakan tas sekolah teman saya yang memang di hari-hari tertentu karena kami diwajibkan untuk membawa buku teks untuk hampir setiap mata pelajaran dalam bahasa Inggris dan Indonesia yang beratnya bisa mencapai 13 kilogram.

Saya merasa ada di dunia yang sama sekali berbeda.

Setelah beberapa bulan bersekolah di gedung tinggi tanpa halaman yang luas, saya berkesempatan mengunjungi SD saya dulu dan bertemu dengan ibu kepala sekolah. Satu kalimat yang saya tidak akan pernah lupa yang ia ucapkan adalah „Gimana van, asyik gak? Di sana banyak orang tenglang yah?“. Dengan penuh kebingungan karena tidak tahu apa arti kata tersebut, saya pun mengangguk saja. Di perjalanan pulang saya bertanya pada ibu saya, „Ma, tenglang itu apa ya?“ dengan penuh keraguan ibu saya pun menjawab „Orang tenglang itu yang seperti kamu.“

Ketika jawaban itu terucap, saya hanya tertegun. Apakah berarti seharusnya saya sama dengan teman-teman baru saya di SMP? Sama-sama memandang sekolah negeri sebelah mata? Sama-sama memiliki uang jajan yang banyak? Sama-sama memiliki supir pribadi?

Apa yang membuat saya dengan teman-teman baru saya sama?

Saya merasa lebih sama dengan teman di SD saya. Saya tidak pernah merasa minder di hadapan mereka. Tapi kalau mungkin memang sudah seharusnya saya sama dengan teman-teman baru saya, saya yang harus berubah dan menerima bahwa saya belum „Tenglang“ seutuhnya.

Setelah satu semester berlalu, bulan Januari, di pelajaran bahasa Mandarin ada pembahasan mengenai hal-hal yang orang ucapkan ketika menyambut tahun baru Imlek dan tradisi keluarga masing-masing dalam perayaan tersebut. Akhirnya saya menemukan bahwa ada kesamaan di antara teman-teman baru saya dan saya. Kami mempunyai tradisi yang mirip. Kami memanggil bibi dan paman dengan sebutan yang sama, kami sama-sama mendapat uang tanpa melakukan apa-apa dari sanak keluarga yang kami tidak pernah ingat pada hari dimana semuanya memakai baju bernuansa merah.

OH! Tenglang itu artinya saya mewarisi kebudayaan orang-orang keturunan Tionghoa. Di momen itu saya mengerti bahwa saya sama dengan mereka, karena kami satu suku, satu nenek moyang, satu keluarga. Ternyata semua teman saya di SD dulu pun berasal dari keluarga besar tertentu dan punya tradisinya masing.masing.

Lalu kalau kami dulu berasal dari keturunan yang berbeda, mengapa saya merasa sama?
Dan kalau kami sekarang berasal dari keturunan yang sama, mengapa saya merasa berbeda?

Setelah merenungkan ini bertahun-tahun kemudian, saya percaya bahwa rasa memiliki bukan sesuatu hal yang niscaya melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Terlalu naif bila kita mengelompokan orang hanya berdasarkan kesukuannya. Dan terlalu arogan bila kita merasa kelompok kita adalah yang terbaik untuk semua orang, terutama bagi yang satu keturunan.

Nyatanya setiap manusia merupakan makhluk yang unik dan berhak memiliki keterikatan dengan kelompok manapun, bebas dari tekanan baik secara implisit atau eksplisit. Karena setiap individu melewati banyak kejadian dalam hidupnya dan punya ribuan cara memaknai itu.

Mungkin teman-teman baru saya memaknai kata „tenglang“ sebagai keluarga dan tempat ia bermuara dan merasa nyaman. Namun bagi saya „tenglang“ menjadi seperti sebuah ekspektasi untuk bertindak, berpikir, bekerja serupa dengan orang-orang dari keturunan yang sama.

Memang mungkin darah lebih kental dibanding air, tapi di saat haus saya ingin minum air, bukan darah.

--

--