Memaknai #PapuanLivesMatter

Don’t take Papuan for granted. Opini

Bukhori M Aqid
Podcast Progresif
6 min readJun 14, 2020

--

25 Mei 2020, George Floyd, seorang African-American berusia 46 tahun meninggal pada saat ditangkap oleh polisi dengan dugaan kasus penggunaan uang palsu. Seorang polisi bernama Derek Chauvin menindih leher George dengan menggunakan lutut sampai dia tidak sadarkan diri dan meninggal. Peristiwa ini direkam oleh seorang warga dan kemudian menjadi sebuah rekaman viral di media sosial. Kasus ini memicu kemarahan warga Amerika Serikat terkait diskriminasi ras (rasisme) dan menyebabkan munculnya aksi protes di 75 kota di Amerika dan bahkan di negara lain. Tagar #BlackLivesMatter menjadi sebuah tagar yang ramai dipakai oleh warganet untuk mendukung dan membicarakan kasus ini. Di Indonesia, ada fenomena lain yang muncul mengikuti kasus ini. #PapuanLivesMatter namanya.

Tentunya ada alasan mengapa kedua gerakan ini memiliki nama yang mirip. Represi terhadap harga kehidupan adalah benang merahnya. Meskipun memang pada keduanya ada hal hal yang beririsan, tidak bisa dipungkiri bahwa segi sejarah dan tujuan keduanya berbeda.

#BlackLivesMatter memiliki akarnya pada kekerasan dan kebrutalan tindakan kepolisian, yang disebabkan oleh fenomena “militerisasi” institusi kepolisian, yang dimulai sejak zaman kepresidenan Richard Nixon, yang dahulu diputuskan untuk melawan narkoba. Sayangnya, sasaran kepolisian tidak hanya narkoba saja, namun juga manusia. Menurut data dari Koran Zeit (4/6/2020), di tahun 2019 saja, pihak kepolisian Amerika membunuh 1099 orang yang berlaku (dan diduga berlaku) kriminal. Lebih mengejutkannya, 99% dari kasus pembunuhan pihak kepolisian tersebut, dari 2013 sampai 2019, tidak melalui proses pengadilan; mayoritas, ya, seperti kasusnya George Floyd. Namun, yang membuat tindakan itu dinilai rasis ialah keberatsebelahannya. Di Minneapolis saja, masih menurut Koran Zeit, kota di mana George Floyd dibunuh, 60% dari kasus pembunuhan oleh pihak kepolisian dialami oleh Kaum Afro-amerika! Padahal, total Kaum Afro-amerika di kota itu hanya sejumlah 20% dari total populasi di Minneapolis.

Karena Kaum Afro-amerika sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan sosial semenjak tahun 70-an di Amerika, maka kemarahan terhadap institusi kepolisian dalam kaitannya dengan rasisme tersebut tak terbendung lagi; tindakan resistensi di bawah payung #BlackLivesMatter tidak hanya dilakukan oleh mereka yang berketurunan Afrika saja, namun juga orang-orang kulit putih. Intinya: institusi dan tindakan kepolisian yang dinilai terlalu militeristik inilah yang membicu konflik di Amerika Serikat. Ungkapan “I can’t breathe”, yang menjadi salah satu jargon demonstrasi #BlackLivesMatter, pertama kali pun dilontarkan oleh Eric Garner di penghujung nyawanya yang direnggut oleh pihak kepolisian pula tahun 2014 di New York. Semoga dengan uraian singkat ini, teman-teman dapat membedakan konteks Papua di Indonesia dan Orang Afro-Amerika di A.S., sambil membaca uraian lebih lanjutnya tentang Papua di bawah.

Irian: Ikut Republik Indonesia Anti Netherland

Tanah Papua memiliki beberapa nama. Sempat bernama Irian Barat, Irian Jaya sebelum kembali menjadi Papua. Frans Kaisiepo, adalah seorang tokoh sejarah dan pahlawan nasional Indonesia yang mengusulkan nama Irian. Ada yang menyebutkan artinya adalah Ikut Republik Indonesia Anti Netherland. Sumber lain menyebutkan bahwa Irian berasal dari bahasa Biak yang artinya persatuan masyarakat (melawan Belanda). Apapun maknanya, nuansa dan narasi pengusulan nama itu adalah sebuah upaya peningkatan rasa nasionalisme dan pemulusan langkah agar Irian/Papua bergabung ke Republik Indonesia. Perlu diingat, bahwa Papua pada awalnya bukan merupakan bagian dari kemerdekaan Indonesia 1945. Ada perbedaan pendapat mengenai status Papua pada masa itu, apakah merdeka menjadi negara sendiri atau bergabung menjadi wilayah Indonesia.

Perjalanan Papua yang akhirnya menjadi bagian Indonesia tidak bisa dibilang mulus. Diskusi alot dalam konferensi meja bundar, munculnya operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) dan pada akhirnya dilaksanakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 adalah rangkaian peristiwa yang menghasilkan sebuah pengakuan akan status Papua sebagai wilayah Indonesia.

Tambang Grasberg: cadangan emas terbesar di dunia

Papua memiliki banyak potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Grasberg, yang dikelola oleh Freeport memiliki kandungan emas terbesar di dunia, tembaga nomor dua terbesar di dunia dan logam mulia lain yang tidak sedikit hasilnya. Jangan lupakan juga kecemerlangan George Saa, seorang juara fisika dunia dan berbagai prestasi akademisi Papua lainnya. Seluruh potensi Tanah Papua tersebut tidak semerta merta membuatnya menjadi wilayah kesayangan Indonesia. Yang terjadi justru malah sebaliknya. Berbagai konflik dan eksploitasi alam sering terjadi yang pada akhirnya menyebabkan ketidakstabilan situasi sosial dan ekonomi di Papua. Tak usahlah kita membahas terlalu dalam karena sudah banyak media yang meliputnya. Bisa dicek beberapa rangkumannya di sini, sini, atau di sini. Ada juga kumpulan pranala mengenai suara Papua di sini (bahasa Indonesia) atau di sini (bahasa Inggris).

“Pitekantropus elektus ndase king king”
- komentar warganet tentang Frans Kaisiepo

2016, setelah wajah Frans Kaisiepo diabadikan di pecahan uang 10 ribu rupiah banyak muncul reaksi warganet mengenai pecahan uang ini. Reaksinya beragam, dari yang tidak tahu sampai dengan candaan bahkan penghinaan. Artikel ini, meskipun kurang elok dalam pengemasannya — mencoba merangkum berbagai pendapat negatif yang muncul di internet. Miris ketika melihat seorang tokoh yang berjuang agar Papua dapat bergabung dengan Indonesia, malah pada akhirnya dihina oleh warga Indonesia lain yang kurang budiman.

Tidak hanya itu, pada tahun yang sama juga terjadi sentimen rasisme terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta. Bermula dari penyuaraan aspirasi mahasiswa untuk mendukung ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) dan diakhiri dengan penangkapan Obby Kogoya serta pengepungan asrama dengan penghinaan rasial, peristiwa ini menunjukkan bahwa rasisme terhadap warga Papua nyata adanya. Meskipun keinginan aparatur negara untuk menjaga kedaulatan dengan mencegah kegiatan separatis dapat dipahami, namun penghinaan rasial dan kekerasan berlebihan bukan merupakan bagian yang diperlukan dalam penjagaan kedaulatan.

Dalam sebuah artikel di jurnal antropologi (Elia Nurindah Sari & Samsuri: 2019) disebutkan bahwa kemajemukan bangsa Indonesia melahirkan banyak wacana dan tantangan, salah satunya mengenai integrasi nasional. Etnosentrisme, atau kecenderungan bahwa sebuah budaya etnik memiliki keunggulan daripada budaya lain memiliki kecenderungan berbahaya akan munculnya perilaku rasisme dan intoleransi antarsuku. Ujaran rasis yang dialami oleh orang Papua adalah salah satu efek negatif etnosentrisme yang terjadi di Indonesia.

Hukum ketiga Newton: aksi = reaksi

Hukum ketiga Newton menyatakan bahwa apabila sebuah benda mendapatkan gaya (aksi) maka akan terjadi reaksi dengan kekuatan yang sama namun dengan arah yang berlawanan. Foucault mengatakan hal yang serupa: di mana ada represi, maka ada resistensi. Dengan banyaknya aksi represi terkait kehidupan dan sumber daya di Papua, tentunya reaksi berlawanan atau resistensi tidak terhindarkan.

Tragedi Kampung Oneibo, 2017 yang menyebabkan 1 orang meninggal adalah salah satu contohnya. Peristiwa ini bermula ketika warga membutuhkan pinjaman mobil dari sebuah perusahaan yang beroperasi di Wilayah Adat Meepago. Mobil itu dibutuhkan untuk membawa seorang warga yang tenggelam di sungai ke rumah sakit. Sayangnya, representasi tersebut perusahaan menolak untuk meminjamkan mobil tersebut sehingga menyebabkan warga tersebut meninggal. Warga lainnya kemudian marah dan bentrokan antara warga dan aparat keamanan terjadi yang menyebabkan 1 orang meninggal dan beberapa luka luka.

Pengepungan asrama mahasiswa Papua terjadi lagi pada tahun 2019, di Surabaya. Kali ini alasannya adalah perusakan bendera Merah Putih. Beberapa warga sipil dan aparat keamanan mengepung asrama dan terjadi konflik yang disertai dengan ujaran rasis. 43 Mahasiswa kemudian dibawa ke Polrestabes Surabaya untuk diperiksa. Kasus ini kemudian menimbulkan kerusuhan besar di Manokwari. Buntut dari kerusuhan ini adalah rusaknya kantor DPRD Papua Barat, pembakaran ban di beberapa lokasi dan beberapa kerusakan infrastruktur lainnya. Dengan klaim bahwa banyak hoaks muncul yang memperparah kerusuhan ini, pemerintah Indonesia memutus akses internet di 4 kota/kabupaten di Papua mulai dari 21 Agustus sampai 4 September 2019.

Juni 2020: Pemerintah dinyatakan melanggar hukum atas tindakannya memutus internet di Papua

Pergerakan sosial media juga tak kalah ramai. Sekitar bulan Juni 2020, #PapuanLivesMatter muncul mengikuti tagar #BlackLivesMatter, menjadi bahan diskusi hangat warganet. Tagar ini diisi dengan informasi informasi terkait represi dan eksploitasi yang terjadi di tanah Papua selama ini. Selain itu banyak juga narasi dan agenda lain yang muncul dan dibahas melalui tagar ini.

Reaksi tidak melulu terkait dengan konflik atau amplifikasi informasi di media sosial. Ada bentuk reaksi lain berupa fenomena resignification sebagai upaya untuk menanggapi rasisme yang dibahas di sebuah jurnal masyarakat budaya (Ubaidillah: 2019). Pada dasarnya, resignification adalah sebuah penunjukan bahwa ujaran (kebencian) dapat dikembalikan kepada penuturnya dalam bentuk berbeda yang tujuannya adalah untuk melawan maksud asli ujaran tersebut. Sebuah foto dokumentasi Komite Nasional Papua Barat yang sempat viral di media sosial pada tahun 2019 menggambarkan fenomena resignification ini.

Beberapa contoh reaksi yang dibahas di atas sebenarnya adalah sebuah peringatan, bahwa ada yang salah dalam cara kita menyambut dan/atau mengelola Papua dalam konteksnya sebagai salah satu bagian wilayah Indonesia. #PapuanLivesMatter sebagai tagar pemantik diskusi di media sosial seakan mencoba mengingatkan kita akan makna Papua. Apakah kita — dan pemerintah — sudah memperlakukan Papua sebagaimana seharusnya? Sebagai bagian integral, bukan sebagai tamu jauh yang menumpang tinggal. Karena sudah sewajarnya Papua berdiri setara dan sederajat dengan siapapun yang merasa dirinya Indonesia. Entah itu tercapai dengan pemaknaan Papua sebagai saudara serumah, atau sebagai tetangga. Kedua pilihan itu akan selalu ada karena masalah Papua ini tidak sederhana. Sejarah, interaksi sosial budaya dan masalah sistemik selalu akan membayangi masalah ini dan berujung kepada dua pilihan tersebut, tergantung bagaimana kita mendalami dan memaknai informasi yang ada.

--

--