Membebaskan Keimanan

Opini

Podcast Progresif
Podcast Progresif
5 min readNov 15, 2020

--

“Kalau hanya untuk percaya pada yang tak kau lihat, kau tak butuh iman, Kekasih, kau cuman butuh mikroskop.” — Sujiwo Tejo

Michelangelo Buonarroti: Separation Of Light From Darkness

Tulisan ini bukan berisi ceramah. Tulisan ini juga bukan berisi kritik terhadap iman. Melainkan, tulisan ini mencoba untuk membebaskan iman dari pembahasannya yang monoton. Wajar saja, pembahasan mengenai iman seringkali didominasi oleh khotbah-khotbah di atas mimbar. Bukan berarti menyalahkan apa yang mereka serukan, namun tidak ada salahnya sedikit eksplorasi mengenai konsep iman di luar konteks tersebut. Toh, tokoh-tokoh besar agama seperti Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim, Yesus, Buddha, dan lainnya adalah orang-orang yang saya sebut sebagai “pemberontak spiritual”. Mereka tidak dengan begitu saja menerima apa yang orang-orang di sekitar mereka percaya, tapi mereka berani untuk mengeksplor kemungkinan dan menantang status quo pada masa ketika mereka hidup.

Ketika saya SD sampai SMP, saya tidak pernah mempertanyakan apa yang diajarkan oleh orang tua saya dan guru-guru saya, utamanya soal agama. Ketika SMA, entah karena pertumbuhan nalar atau karena saya terekspos dengan pandangan-pandangan orang yang beragam di internet, saya mulai memberanikan diri untuk memendam pertanyaan-pertanyaan “bandel”. Misalnya: “Kan Tuhan Maha Tahu, berarti Tuhan sudah tahu apakah pada akhirnya kita akan masuk surga/neraka, lalu untuk apa sebenarnya kita hidup?” Pernah juga saya mempertanyakan ayat-ayat yang berbicara tentang perbudakan, ayat-ayat patriarkis, ayat-ayat yang tidak saintifik, dan lain sebagainya. Kadang saya utarakan pertanyaan-pertanyaan ini kepada orang-orang yang saya pikir tahu soal agama. Jawaban yang saya dapat bermacam-macam, tapi pada akhirnya dia merujuk pada suatu kata kunci, yaitu iman: “Kita punya iman, jadi kita yakin saja kepada Tuhan dan ayat-ayat-Nya.”

Ada yang bisa menebak apa yang ada di pikiran saya? Ya, betul, namun “apakah iman sedangkal ini?” Iman yang seperti ini menurut saya adalah kemalasan intelektual dan ketidakberanian untuk mengeksplorasi kebenaran. Saya bertanya-tanya, apakah mungkin menemukan kebenaran agama tanpa asumsi iman? Bukankah iman berarti mengasumsikan jawaban akhir sebelum melakukan investigasi? Dan setiap orang memiliki iman yang saling berkontradiksi terhadap satu sama lain, tidak mungkin semuanya benar. Apakah jika saya terlahir dari orang tua yang Kristen, saya akan otomatis memiliki iman Kristen yang tak perlu lagi saya pertanyakan? Dari sini, saya memulai perjalanan spiritual saya. Saya menganggap semua yang saya percaya selama ini bisa saja salah dan mulai membangun apa yang sebenarnya saya percayai satu bata demi satu bata.

Pada masa ini saya mulai mempunyai konotasi negatif terhadap iman. Iman bagi saya ketika itu tidak lebih dari alasan. Saat bukti tidak sesuai dengan apa yang tertulis di kitab suci, saat kita menemukan kontradiksi pada ideologi tersayang, atau saat kita menemukan apa yang tidak nyaman pada kepercayaan kita, kita lalu bersandar pada keimanan. Iman itu layaknya sebuah gelembung yang melindungi seseorang dari ketidaknyamanan untuk tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial dalam hidup. Padahal, ketidaktahuan tidak bisa menjadi alasan kita untuk mengarang jawaban kita sendiri. Seperti kata seorang fisikawan tersohor, Richard Feynmann: “Saya lebih memilih mempunyai pertanyaan yang tidak bisa dijawab, dibandingkan mempunyai jawaban yang tidak dapat dipertanyakan.” Bagi saya, ketidaktahuan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Justru dari ketidaktahuanlah muncul berbagai kemungkinan.

Saya belum berubah pikiran soal itu. Tapi saya tidak lagi percaya bahwa iman itu selalu negatif. Buku yang merubah pendapat saya tentang iman adalah “Agnostics: A Spirited Manifesto” yang ditulis oleh Lesley Hazleton. Sangat ironis, orang yang membuat saya mengerti keimanan bukanlah seseorang yang religius, melainkan seorang agnostik. Lasley adalah seorang peneliti agama. Dia sudah menghabiskan bertahun-tahun mempelajari agama-agama besar dunia, namun dia sendiri mengaku sebagai seorang yang agnostik. Pada artikel ini, saya tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai persepsinya tentang iman. Menurutnya, iman bukanlah bentuk dari kepercayaan, melainkan kemampuan untuk menangguhkan ketidakpercayaan.

Bayangkan seorang detektif kejahatan yang setiap harinya harus bergumul dengan perilaku-perilaku terburuk manusia: pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan lain sebagainya. Berdasarkan bukti-bukti yang ia dapat dari pengalaman sehari-harinya, sah-sah saja bagi dia untuk percaya bahwa manusia itu makhluk yang kejam dan amat jahat terhadap sesamanya. Namun, lewat keimanan, ia dapat tetap percaya bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Dengan kata lain, keimananlah yang memberikannya kemampuan untuk menangguhkan ketidakpercayaan pada sifat dasar kebaikan manusia, meskipun bukti-bukti disekitarnya menunjukkan ke arah sebaliknya.

Dalam perspektif ini, iman tidak lagi menjadi soal kepastian, melainkan soal ketidakpastian dan harapan. Konsep ini berkebalikan dengan konsep iman yang sering dipegang oleh fundamentalis, yaitu iman yang benar-benar yakin, tanpa ada sedikitpun ragu di dalamnya. Jauh dari itu, keraguan dan ketidakpastian menjadi bagian terpadu dari suatu keimanan. Mengutip Lasley,

“But faith — and the vulnerability and humility that come with it — is the most important lacking in fundamentalists of all religious stripes. Their absolutism is the opposite of faith, and this makes them the real infidels. By insisting on absolute belief, they have found the perfect antidote to thought, and the ideal refuge from the hard demands of faith”.

Lalu bagaimana caranya agar iman tidak berubah menjadi iman dangkal yang hanya berupa kemalasan intelektual dan ketidakberanian untuk mengeksplorasi kebenaran? Menurut saya, kita dapat memulai dari merubah pandangan kita tentang agama, yang asalnya merupakan tujuan, menjadi sebuah metode. Banyak orang menganggap agama merupakan tujuan terpenting manusia ada di bumi. Wajar saja, beberapa agama memiliki dogma yang pada akhirnya menilai hidup kita dari seberapa baik kita menjalankan agama tersebut. Jika berhasil menjalankan agama dengan baik, maka orang tersebut akan mendapatkan reward hidup penuh kenikmatan di surga selamanya. Sebaliknya, jika ia gagal, maka ia akan disiksa selamanya di neraka.

Alan Watts, seorang pemikir agama yang mempopulerkan agama-agama timur seperti Hindu dan Buddha ke dunia Barat, memberikan analogi agama sebagai jari yang menunjuk pada bulan. Dalam analogi ini, agama bermaksud untuk menuntun kita pada bulan, namun orang-orang banyak yang “salah fokus” pada jarinya. Ia juga memberikan analogi agama sebagai sebuah rakit. Ketika kita menggunakan rakit untuk menyebrangi sungai, kita tidak lalu membawa rakit tersebut ke daratan. Kita meninggalkan rakit tersebut dan meneruskan perjalanan. Dengan analogi-analogi ini, ia ingin membuat poin bahwa agama adalah sebuah metode, dan bukan merupakan tujuan akhir dalam hidup.

Saat agama menjadi sebuah metode, maka kepastian dan absolutisme tidak lagi menjadi penting dalam keimanan. Karena pada akhirnya, ada berbagai jalan untuk mencapai tujuan yang sama. Kita tidak perlu lagi percaya sepenuhnya bahwa jalan yang kita lalui lah yang menjadi satu-satunya jalan kebenaran. Dengan persepsi seperti ini, saya percaya bahwa secara alamiah kita akan menjadi lebih toleran dalam beragama dan tidak lagi takut untuk mengeksplorasi kebenaran.

Lalu tujuan apa yang sebenarnya ingin dituju oleh agama? Inilah yang menjadi pusat dari perjalanan spiritual masing-masing. Saya mengundang teman-teman pembaca untuk mengeksplorasi pertanyaan ini. Jangan takut dengan pertanyaan-pertanyaan dan ide-ide yang muncul selama perjalanan spiritual ini. Ikuti dan nikmati saja. Misalnya, jika ada yang bilang bahwa tujuan akhir dari agama adalah surga, maka pertanyakan mengapa kita ingin ke surga? Apakah karena kesenangan abadi? Jadi apakah tujuan dari hidup adalah untuk mencapai kesenangan abadi? Begitu juga dengan berbagai proposisi lain seperti: pencerahan, cinta, kebijaksanaan, dan lain-lain. Tidak perlu takut dengan ketidakpastian dan keraguan yang akan kita alami dalam perjalanan ini. Karena pada dasarnya, keimanan yang hakiki tidak pernah takut dengan keraguan.

Kolom Opini, Publikasi Podcast Progresif. Minggu, 15 November 2020. Oleh: Nirmala (nama pena).

--

--