Mesias yang dinanti itu bernama vaksin

Evan Yonathan
Podcast Progresif
Published in
3 min readOct 6, 2020
Photo by L N on Unsplash

Ketidakpastian di tengah pandemi global ini tentunya akan tercatat dalam buku sejarah, sebagai salah satu pertarungan sengit manusia mempertahankan eksistensinya melawan benda tak kasat mata bernama SARS-CoV-2. Dengan dalih ingin menciptakan optimisme dan semangat di tengah publik yang sedang galau, pemerintah Indonesia berkali-kali mendesuskan kehadiran vaksin sebagai juru selamat. Awalnya juni 2020, lalu mundur ke awal 2021, walaupun terbukti tak berdasar, harapan semu ini tetap didengungkan. Tapi memang, kemampuan berharap dan berangan-angan adalah salah satu kunci sehingga kita (Homo Sapiens) bisa bertahan melewati banyak tantangan.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk cerdas, ia menolak menyerah pada keadaan. Ia bisa melihat melewati keadaan yang ia hadapi di saat ini. Ia bisa berharap. Ahli-ahli biologi secara umum menyetujui bahwa, kemampuan manusia (Homo Sapiens) untuk membayangkan sesuatu, mempercayainya dan membagikannya kepada manusia lain memegang peranan penting terhadap kemajuan peradaban Homo Sapiens selama 200 ribu tahun ke belakang. Ketika kerabat evolusi terdekat kita hanya bisa menyadari bahaya ketika hal tersebut sudah nyata di depan mata, manusia dapat merekam bahaya yang mereka pernah alami dan mengantisipasi bahaya tersebut. Pun ketika situasi sulit untuk bertahan hidup, pengalaman, cerita dan angan-angan itulah yang memberikan manusia harapan akan kondisi yang lebih baik di sebuah waktu di masa depan. Berharap adalah mekanisme instingtif manusia untuk melawan ketidakpastian.

Modus memperalat keputusasaan masyarakat ini pun dapat kita lihat manifestasinya dalam berbagai bentuk penipuan yang tak jarang menimbulkan korban. Mulai dari investasi bodong, penipu yang mengatakan bahwa anak korban tertabrak mobil dan harus dilarikan ke rumah sakit hingga para calon selebritis yang mengalami pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein dengan iming-iming ketenaran atau kontak dengan orang yang dapat meroketkan karir mereka. Semuanya memanipulasi insting alamiah kita. Insting yang muncul di kondisi saat kita paling rentan dan rendah. Lebih parahnya lagi, harapan semu itu mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Kita berfokus atas ketidakberadaan, ketidakmampuan dan ketidaktahuan alih-alih menyadari apa yang kita punya, apa yang bisa kita lakukan dan apa yang kita tahu.

Di saat-saat yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini, pemerintah pun mengabarkan kabar sukacita mengenai akan datangnya sosok “mesias” yang dapat mengakhiri masa-masa suram ini. Harapan ini terus dijual untuk meningkatkan optimisme, aktivitas ekonomi dan agar masyarakat Indonesia tetap get up, dress up and never give up. Namun iman terhadap sang juru selamat ini justru berbalik membawa keburukan. Masyarakat tak mengindahkan kaidah-kaidah yang dibuat oleh para nabi bernama ilmuwan. Mereka merasa tak perlu lagi mengikuti aturan, karena toh sang juru selamat akan segera datang dan menghapus dosa mereka yang bernama Covid-19 itu. Namun apa daya, sang dosa sudah menyebar dan bermultiplikasi secara eksponensial, karena suburnya praktik keimanan ini tanpa memenuhi tugas dan melakukan bagiannya selama mereka masih ada di dunia tanpa juruselamat itu. “Iman tanpa disertai dengan perbuatan (memenuhi tugas) hakekatnya adalah mati”, begitulah penggalan sebuah ayat dari Alkitab. Ayat yang rasanya nyata sekali terejawantahkan dalam kondisi dewasa ini. Iman (kepada vaksin) tanpa disertai dengan perbuatan (mematuhi protokol Covid-19) pada hakekatnya adalah (ke)mati(an).

Alih-alih membangkitkan iman tanpa isi, pemerintah sebaiknya memberi penekanan lain. Penting sekali untuk beriman dan meneguhkan harapan akan kondisi yang segera pulih dalam sebuah komunitas layaknya semua institusi keagamaan. Namun hal itu saja tidak cukup, selagi kita menanti sang mesias yang bernama vaksin itu, marilah kita saling menjaga, marilah saling bertanggung jawab.

Bila pemerintah hanya meminta kita untuk beriman, maka kita harus juga melakukan bagian kita sebaik-baiknya agar iman kita tidak mati.

Kolom Opini, Publikasi Podcast Progresif. Minggu, 6 Oktober 2020. Oleh: Evan Yonathan.

--

--