Naif

Budaya dan Bias Ideologi. Opini

Geraldus K. Martimbang
Podcast Progresif
5 min readJun 21, 2020

--

Apakah benar bahwa seseorang dapat mengatakan, ini kebudayaanku, ini kebudayaanmu, atau ini identitas budayaku, ini identitas budayamu, dengan murni dan konsekuen? Aku pertama kali melontarkan pertanyaan tersebut di acara kursus musim panas di Birklehof, Jerman, beberapa tahun lalu. Waktu-waktu saat aku naif sekali secara kebudayaan.

Ada seorang kawan, yang sampai sekarang kami masih berteman, orang Georgia, yang menanyakan padaku, Indonesia itu sistem sosial politiknya seperti apa. Wah, langsung aku tancap gas dan dalam hati terbentang bendera merah putih, berkibar-kibar dalam kobaran semangatku menjelaskan padanya, bahwa Indonesia berbeda dari negara lain soal itu. Indonesia punya Pancasila! Tentu ia bertanya, apa itu? Kujelaskanlah tentang Sukarno yang luar biasa mengusulkan lima nilai itu, yang ia “gali dari dalam bumi Indonesia”, yang menjadikannya unik, hanya dimiliki oleh orang-orang yang bernaung di bawah panji Bhinneka Tunggal Ika. Setelah kusebutkan sila-silanya, dan kujelaskan sedikit, ia bertanya, apa bedanya dengan yang negara-negara lain punya? Tentu aku kaget sekali mendengar tanggapannya, sebab biasanya ini dianggap hal lumrah. Entah seberapa kaget, tapi kaget sekali, buktinya sampai sekarang rasa kagetnya masih bisa kubayangkan dengan nyata. Ia lalu menjelaskan, Ketuhanan, Kemanusiaan, Nasionalisme, Demokrasi, Keadilan sosial: semua negara di jagad raya berbasiskan pada itu. Ya, kecuali Ketuhanan, sih, jarang ada negara yang mewajibkan orang beragama biasanya. Tapi, sisanya, itu nilai-nilai universal. Tapi, tapi, tapi … batinku. Ia kemudian bertanya lagi, kalian juga pakai kapitalisme, kan? bukan sosialisme atau komunisme? Apa pula itu… pikir diriku yang dahulu. Kalian tidak pakai model ekonomi seperti di Jerman atau negara Skandinavia, kan? Apa pula itu… Ya, intinya kalian sama saja seperti negara-negara pada umumnya. Tentu diriku yang dahulu terhenyak, dan dengan bungkam mengangguk-ngangguk saja.

Diriku yang dahulu adalah diriku yang terbentuk dari pelajaran di rumah — mengenai tatakrama, cinta, empati, rasa sayang, kebaikan hati, dan seterusnya — dan di sekolah. Tentang Pancasila dan kenegaraan pelajaran di rumah mirip yang ada di sekolah, karena toh orang rumah membatinkan hal itu dulunya di sekolah juga. Ya, padahal diskusi dengan teman orang Georgia itu hanya kurang dari lima menit, tapi cukup untuk mempertanyakan pondasi “ideologis”ku yang telah kupegang seumur hidup. Seringkali kudengar di sekolah, bahwa Indonesia itu unik dengan Pancasilanya! Tidak ada di dunia lain yang punya Pancasila. Itulah identitas kita! Setidaknya demikian pemahamanku dari ribuan jam pelajaran PKn yang kuterima selama 12 tahun; mendefiniskan identitas Indonesia, yang ber-Pancasila, namun— dan ini kusadari setelahnya, tentunya — dengan tanpa membahas sedikitpun kenyataan negara lain sebagai pembanding. Jadi, semacam “keunikan” yang didefinisikan dari ruang hampa. Ya, jelas unik, karena di otak tidak disodorkan wacana-wacana dan kenyataan-kenyataan lain. Ibaratnya, anda lemparkan kaleng bekas coca-cola ke samudra, maka kaleng bekas yang terapung sendirian di muka air itu jadi unik, karena tidak ada kaleng-kaleng lain sejauh mata memandang.

Tak bisa dipungkiri memang di sekolah umum, orang Indonesia — tentu saya menggeneralisasi, sebab toh semua, secara harafiah, teman atau manusia Indonesia yang saya kenal dalam hidup — diajarkan untuk naif (untuk tidak memakai kata ‘buta’) sekali dalam memandang persoalan identitas dan budaya. Ya, seperti contoh diriku yang dahulu saja, identitas kupersamakan dengan ideologi, dan aku memahami kebudayaan dan identitas juga secara ideologis! Fatalitas yang kutelan mentah-mentah bertahun-tahun dan terus menerus, bahkan sampai setelah aku sudah suka membaca, yang namun pada akhirnya berakhir pula. Diriku yang amat naif dalam memandang identitas dan kebudayaan itu disadarkan oleh perjumpaan-perjumpaan dan dialog, dengan kenyataan dan pembanding lain.

Ketika aku sudah tinggal di Munich untuk berkuliah, teman satu indekos melihatku memakai sarung. Kebetulan ia orang India. Lalu ia tertawa melihatku. Lho, kamu pakai itu juga. Dengan bangga aku jawab, iya, ini pakaian tradisional Indonesia. Jawaban yang oleh diriku yang sekarang dinilai amat naif. Lalu ia menggeleng-geleng tidak setuju dann mengatakan, kita juga pakai itu kok di beberapa daerah di India. Namanya, “sarong”. Lho!, kataku, itu di Indonesia namanya juga “sarung”. Hahaha. Ya, memang banyak budaya yang tidak bisa diakuisisi secara nasionalistis, sih.

Lain waktu, ketika aku sedang main ke rumah seorang sahabat di Rumania, aku bertemu ibunda sahabatku itu. Ibunya sudah banyak keliling-keliling negara lain, termasuk negara-negara Asia. Aku menginap beberapa hari di sana, dan karena ini acara yang telah lama direncanakan, orangtuaku juga menitipkan padaku cinderamata kain batik untuk diberikan pada orangtua temanku. Ya, kuberikanlah kain jarik motif batik Jogja itu di hari terakhir aku menginap, sambil kuperkenalkan, ini kain khas dari Jogja, batik namanya. Oh, batik? Kata yang sama untuk hijab di bahasa Turki, ya? Tentu aku merespon dengan kaget sekali. Iya, mereka punya kata yang mirip sekali dengan “batik” untuk hijab.

Kesempatan lain lagi — dan ini akan jadi peristiwa terakhir yang kutulis di sini — ialah ketika aku dan sahabatku dari SMA, yang kebetulan sedang main ke Jerman, pergi bersama-sama ke Berlin. Kami mengunjungi museum tanpa henti, sebab memang kami cukup gila informasi dan sejarah. Salah satu museum yang kami kunjungi ialah Pergamon Museum: tempat yang hanya membuat mata mencolot keluar sebab ditarik oleh kegilaan koleksinya. Salah satu bagiannya ialah koleksi peninggalan peradaban Islam. Paling tidak ada tiga koleksi yang membuat kami kaget. Salah satunya ialah reruntuhan tembok Keraton Mschatta, yang “diangkut” dari wilayah Jordania ke Berlin di abad lalu. Sekilas melihat ornamentasinya, orang yang pernah ke Keraton Yogyakarta, ke Taman Sari, pasti tidak menganggapnya baru dan asing. Dengan rambatan tanaman yang sekilas mirip tanaman anggur (sebab, buahnya juga mirip anggur) dan dengan sebaran binatang-binatang yang “hinggap” di batang rambatannya yang horisontal, paling tidak tipologi yang sama juga diamati di Taman Sari. Koleksi selanjutnya, masih bagian dari tembok Mschatta, kami menemukan ornamentasi yang juga tidak asing. Motif yang ada di ornamen “piring” atau lingkaran yang sebelah kiri di foto, di dalam lingkaran dalamnya, persis sekali dengan salah satu motif batik Yogyakarta bernama Jodheg, yang kebetulan sahabatku itu punyai. Koleksi ketiga, sekaligus yang terakhir kutulis di sini, ialah “shadow puppet” yang berasal dari Kairo, sekitar abad ke-13 sampai 15, yang juga dibuat dari pahatan kulit sapi, persis seperti wayangnya Indonesia. Yang berbeda tentu tokoh yang dibuat wayang, yang tidak ada hubungannya dengan kisah-kisah Mahabarata atau Ramayana.

Dari kiri kanan, koleksi pertama sampai ke tiga. Dokumentasi pribadi. 2019, Pergamon Museum, Berlin.

Wayang, batik, sarung, bahkan motif batik, ornamen keraton, dan tentu masih banyak lagi peninggalan budaya bendawi yang ditemukan di daerah geografis yang diberi nama “Indonesia” sama sekali tidak tunduk dengan ideologi. Kitalah yang menganggap mereka “budaya (nasional) Indonesia” sekarang. Namun, dahulu ketika mereka diciptakan, nampaknya otak para pencipta barang-barang itu tidak mengenal logika itu.

Sama halnya bahwa kita tidak dapat dengan naif mengklaim, bahwa lima nilai universal yang kita jadikan pedoman, bahkan ideologi sekaligus identitas nasional, merupakan hal yang mengantarkan Indonesia ke keunggulan dibandingkan yang lain, kita juga sebaiknya tidak mencoba untuk mengklaim kepemilikan nasional sebuah kebudayaan secara buta dari ruang hampa. Budaya bisa jadi tidak pernah homogen, seperti kesan yang ditampilkan oleh frasa “clash of civilization”. Banyak sekali proses-proses yang mirip kawin silang terjadi, yang menghasilkan budaya hibrid. Maka dari itu, amatlah wajar, bahwa banyak yang dianggap Indonesia, juga milik negara lain. Padahal, tak usah perlu membandingkan ke luar, kalau kita mau melihat ke dalam saja, dengan dialog dan melihat beragamnya bentuk, tingkatan, roh, dan aspek-aspek lain dari banyak, lebih tepatnya ratusan budaya yang ada di Indonesia, kita juga sewajarnya lepas dari kenaifan nasionalistis itu. Indonesia terlalu beragam untuk dipahami sebagai satu dan dunia terlalu terhubung untuk memahami Indonesia secara kaku.

Kolom Opini, Publikasi Podcast Progresif. Minggu, 21 Juni 2020. Oleh Geraldus K. Martimbang.

--

--

Geraldus K. Martimbang
Podcast Progresif

Angkatan 99. Diletan penyuka arsitektur, filosofi, seni, sosiologi, fotografi, dan sejarah. Sedang berkuliah di TUM.