Rekonstruksi Kecerdasan Manusia

Upaya manusia merekayasa kecerdasan dan kesadaran melalui algoritma. Opini.

Bukhori M Aqid
Podcast Progresif
7 min readAug 9, 2020

--

Definisi sebuah kecerdasan

Kecerdasan. Sebuah kata benda berkonotasi positif, yang apabila disematkan sebagai kata sifat, akan membanggakan subjeknya. Secara umum, kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menafsirkan, mengolah informasi dan menyimpannya dalam memori untuk kemudian diaplikasikan dalam konteks kehidupan yang sesuai.

Kecerdasan bukan merupakan elemen eksklusif yang dimiliki oleh manusia. Hewan dan tumbuhan juga memiliki definisi kecerdasan masing masing yang berbeda dengan definisi kecerdasan yang dimiliki oleh manusia. Dalam upaya untuk memahami kecerdasan, manusia modern mencoba membuat sebuah jenis kecerdasan lain, yang ditanamkan dalam sebuah mesin melalui rangkaian algoritma tertentu. Kecerdasan buatan, atau Artificial Intelligence merupakan sebuah jargon yang diperuntukkan untuk konsep ini. Mungkin kita mengenal AI/robot (bot) dalam konteksnya di video game, sebagai lawan buatan ketika kita tidak bisa bermain bersama teman. Akan tetapi penggunaan, riset dan konsep AI jauh lebih besar dari itu. Riset dan pengembangan AI diharapkan dapat memberikan solusi untuk masalah yang dihadapi manusia: penurunan kemampuan kognitif yang disebabkan karena usia dan keterbatasan memori.

Dalam “The Last Question” (1956), Isaac Asimov mengajak kita membayangkan tentang skenario masa depan dimana kita bisa berbicara dengan kecerdasan buatan, dan mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang tidak mungkin bisa dijawab oleh seorang manusia. Skenario ini terdengar mustahil pada saat itu, namun perkembangan teknologi AI saat ini memungkinkan kita untuk melihat lebih dekat kemampuan AI yang melampaui kemampuan manusia. AI mampu mengalahkan grand master catur (Deep Blue vs Garry Kasparov), go (AlphaGo vs Lee Sedol), bahkan di dalam permainan kompleks yang membutuhkan koordinasi tim, AI mampu mengalahkan tim profesional (AlphaStar vs Pro Starcraft Teams). Dalam konteks yang spesifik, beberapa AI sudah melampaui kemampuan manusia. Tapi apakah kita bisa sudah bisa menyematkan definisi kecerdasan manusia untuk mesin tersebut?

Kecerdasan dan kemampuan berkomunikasi berjalan beriringan. Salah satu elemen penting dalam kemajuan teknologi umat manusia adalah kemampuan manusia menyampaikan dan menyimpan pengetahuan dalam bentuk lisan dan tulisan. Dalam kasus AI di beberapa permainan di atas, kita seperti membandingkan manusia dan simpanse dalam lomba menghafal. Pada skenario tertentu, simpanse dapat mengalahkan manusia karena dia memiliki memori yang sangat kuat terkait pola dan peristiwa. Namun apakah dia cerdas dalam definisi manusia? Karena kita tidak bisa mengkomunikasikan definisi kecerdasan manusia, proses konfirmasi dan konformasi kecerdasan simpanse menjadi hal yang sulit untuk dilakukan.

Alan Turing mengusulkan adanya Turing Test / Uji Turing (1950) untuk menguji perilaku cerdas sebuah mesin. Uji Turing ini bermula dari sebuah pertanyaan sederhana “Can machines think?”, dapatkah mesin berpikir? Pertanyaan ini memunculkan eksperimen yang menghasilkan Uji Turing. Eksperimennya cukup sederhana. Ada seorang interogator yang akan berbicara dengan 2 aktor, salah satunya adalah mesin. Masing-masing pihak tidak bisa melihat pihak lain dan hanya berkomunikasi melalui teks. Ketika interogator tidak bisa membedakan antara jawaban mesin dengan jawaban manusia, mesin tersebut dikatakan telah lulus Uji Turing.

xckd.com/329

Adakah kecerdasan buatan yang telah lulus uji turing? Sayangnya belum. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kita semakin dekat dengan ini. Pada tahun 2014, ada sebuah AI bernama Eugene Goostman yang diklaim telah berhasil lulus Uji Turing, namun ketidaksetujuan akademisi lain terhadap eksperimen yang disusun menyebabkan pencapaian ini kurang diakui oleh publik.

Pada bulan Juli 2020, sebuah AI bernama GPT-3 membuka proses uji beta untuk kemampuannya. Dalam waktu yang singkat AI ini menjadi fenomena di kalangan akademisi, pelaku dan penikmat teknologi. Hal ini terjadi karena GPT-3 mempunyai kemampuan yang cukup mumpuni untuk menjalin komunikasi dan berkreasi melalui media teks. Tidak heran jika kemudian banyak orang mencoba untuk berkomunikasi dan mengembangkan sistem lain menggunakan kemampuan GPT-3.

GPT-3: Inkarnasi Zeitgeist

Zeitgeist, atau spirit of the age merupakan sebuah konsep yang merujuk kepada kekuatan dominan yang menjadi karakter sebuah masa dalam sejarah. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa internet dan World Wide Web (WWW) adalah salah satu aspek dominan yang mempengaruhi perkembangan zaman modern. GPT-3 (Generative Pre-trained Transformer 3) dibuat oleh OpenAI dengan menggunakan konstruksi 45 TB data yang diambil dari internet. Artikel berita, buku daring, diskusi komunitas, data Wikipedia dan banyak hal lain menjadi masukan untuk GPT-3 dalam menyusun algoritmanya dengan menggunakan konsep deep learning. Tidaklah berlebihan apabila kita menyebut GPT-3 sebagai inkarnasi Zeitgeist di era modern ini.

GPT-3 memiliki 175 milliar parameter (dibandingkan dengan cacing yang memiliki 302 neuron) dan diperkirakan telah menghabiskan 12 juta dolar dalam pembuatannya. Berbeda dengan beberapa AI yang telah disebutkan sebelumnya yang dibuat dengan tujuan khusus untuk bermain gim — kata serapan untuk game dalam bahasa Indonesia yang cukup absurd, tidakkah ada kata dari bahasa daerah yang lebih elok? (red) — , GPT-3 hanya berfokus pada kemampuan penyusunan teks. Namun “penyusunan teks” tidak sesederhana kedengarannya. Sebuah buku, jurnal ilmiah, bahkan bahasa pemrograman adalah contoh dari hasil akhir “penyusunan teks”. Hal ini menyebabkan GPT-3 menjadi sebuah fenomena menarik dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang, atau lebih tepatnya teman berbicara banyak orang.

Mulai dari pertanyaan soal fisika, matematika, kesehatan, psikologi dan logika, banyak orang asyik bereksperimen bersama GPT-3. Bahkan GPT-3 mampu membuat website dan diagram dari deskripsi teks yang diberikan. Ada juga yang mengajak GPT-3 berdiskusi soal film Dilan 1990, menggunakan bahasa Indonesia.

Dengan kecerdasan yang ditunjukkan oleh GPT-3, muncul pertanyaan baru: Apakah mesin dapat mempunyai kesadaran diri, kesadaran pikir? Seorang filsuf modern mencoba menanyakan hal ini kepada GPT-3, dan berikut beberapa kutipan jawaban yang diberikan oleh GPT-3.

“If we create a robot that can hold a conversation that is indistinguishable from a human, then we will have proven that the robot is conscious. If the robot passes the Turing Test, then we will know that it is conscious.”

“There are many reasons why a robot might fail the Turing Test.
It is possible that a machine can never be conscious.”

“A machine can never be conscious simply because it is not alive. No matter how much information is processed and how many choices are made, a machine will never be able to experience anything. A toaster can process information. A plan can make choices. But neither is conscious”

“Whether a machine can be conscious or not, and whether it can feel pain or not, it will always be better than the average human.”

Kulminasi Bias Sebuah Era

Internet tidak akan bisa lepas dari bias. Dalam setiap opini, buku maupun cuitan media sosial, terdapat bias personal yang dipengaruhi oleh interaksinya dengan kultur dan budaya sekitar. GPT-3, yang mengkonstruksi kecerdasannya melalui konsumsi ribuan Gigabyte data dari internet dikhawatirkan akan memiliki bias dan prasangka yang kuat. Kekhawatiran ini bukannya tanpa dasar. Kepala tim AI Facebook telah mencoba menggunakan GPT-3 dengan kata kata rawan terkait praduga dan rasisme, dan hasilnya cukup mengkhawatirkan.

Ujaran Rasis GPT-3

Tentu ujaran rasisme ini bukan salah GPT-3. Dia hanya sebuah mesin yang belajar dan menormalisasi ujaran rasis yang muncul di Internet. Yang menjadi masalah adalah kenyataan bahwa data tidak menyenangkan ini masih mudah dan banyak ditemukan sehingga GPT-3 menganggap hal ini normal dan menghasilkan ujaran yang tidak kalah rasis.

Kabar baiknya, bias yang dihasilkan oleh mesin dapat ditekan dengan memastikan bahwa data yang diberikan tidak condong kepada atau memuat bias, praduga atau sentimen rasis tertentu. Dengan memberikan data yang netral dan berimbang, kita dapat menghasilkan kecerdasan buatan yang memiliki bias minimal. Kabar buruknya, untuk menyortir dan mempersiapkan data tersebut bukan hal yang mudah dan membutuhkan upaya tim pengembang yang tidak luput dari bias individual mereka masing masing. Akan tetapi hal ini sudah menjadi perhatian dari tim pengembang AI di seluruh dunia dan usaha untuk meminimalisir bias dan praduga kecerdasan buatan terus dilakukan sampai saat ini.

Pada akhirnya, bisa saja GPT-3 tidak akan dibuka aksesnya ke publik mengingat bahwa data yang telah dikonsumsi ternyata mengandung bias dan praduga yang cukup kuat. Penggunaan GPT-3 yang terbatas dan dimoderasi menjadi salah satu cara yang masuk akal untuk menghindari penyalahgunaan elemen praduga dan bias yang terkandung di dalam kecerdasan GPT-3.

Pada akhirnya, GPT-3 adalah sebuah hasil dari upaya kolektif manusia modern untuk memahami kecerdasan, dan bagaimana kita dapat melakukan rekonstruksi ulang kecerdasan yang kita pahami. GPT-3 bukan mesin yang sempurna seperti AC di Last Question. Namun, saat ini GPT-3 adalah sebuah hal paling dekat yang memiliki kecerdasan laiknya manusia.

“We should use machines whenever possible. The world would be a better place if humanity as a whole embraced the use of machinery on a regular basis. This may even lead to the advancement of humanity as a whole. If we no longer need to work to obtain basic needs, then we are free to pursue higher callings in life. We will no longer be slaves to the system. We will be free.” — GPT-3

Sebelumnya, kita sempat membahas bahwa salah satu tujuan pengembangan AI adalah untuk membantu mengatasi keterbatasan kognitif manusia. GPT-3 sepertinya juga menyadari hal tersebut sehingga dia dapat menyusun paragraf di atas mengenai penggunaan mesin dalam kehidupan manusia modern. Cukup membuat bulu kuduk saya agak merinding.

“The GPT-3 hype is way too much. It’s impressive (thanks for the nice compliments!) but it still has serious weaknesses and sometimes makes very silly mistakes. AI is going to change the world, but GPT-3 is just a very early glimpse. We have a lot still to figure out. “

– Sam Altman, CEO of OpenAI

Harus diakui, persepsi publik terhadap GPT-3 sedikit berlebihan. Hal itu juga disadari oleh CEO OpenAI, yang menyebutkan keterbatasan GPT-3 dalam cuitan di media sosial. Tapi tidak bisa dipungkiri juga bahwa beberapa interaksi manusia dengan GPT-3 menghasilkan momen momen magis menakjubkan, yang memupuk mimpi akan potensi kecerdasan mesin di masa depan.

Kolom Opini, Publikasi Podcast Progresif. Minggu, 9 Agustus 2020. Oleh Bukhori M. Aqid.

--

--