Renaisans dan Studiolo

Referensi untuk Kerja dan Belajar di Rumah serta Perubahan. Esai

Geraldus K. Martimbang
Podcast Progresif
16 min readMay 17, 2020

--

I.

Wabah Covid-19 mengubah banyak hal, entah untuk sementara atau selamanya. Banyak Orang Indonesia mulai menyebarluaskan istilah yang lagi naik daun secara global, “the new normal”, atau kewajaran baru; istilah yang tentu tidak sembarangan artinya. Sosiolog Armin Nassehi, di salah satu wawancara dengan Koran Zeit edisi “Das Neue Normal”, mengatakan bahwa “kita mempelajari lebih banyak tentang keadaan masyarakat kita ketimbang tentang wabah” itu sendiri. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa dampak wabah tidak hanya menjadi masalah besar bagi keadaan kesehatan beberapa juta individu, melainkan menelanjangi keseluruhan sistem peradaban modern. Globalisasi, orientasi pada pertumbuhan ekonomi, sistem distribusi internasional, sistem negara-negara nasional banyak menjadi sasaran kritik para pemikir kiri di seantero jagad.

Pun demikian, tak hanya borok-borok saja yang tersingkap ke cahaya, namun juga kesempatan-kesempatan baik yang sebelumnya tidak terlihat mungkin. Grafik mobilitas yang menukik tajam ke bawah, penurunan polusi udara (walaupun sementara), pemanfaatan sebanyak-banyaknya ruang daring, kegiatan dari rumah bagi sejumlah kalangan, dan seterusnya, menjadi mungkin.

Tulisan ini mengerucut ke persoalan berkegiatan dari rumah saja, sesuatu yang dialami penulis sendiri di masa perkuliahannya, yang satu semester penuh terancam mengubah kamarnya menjadi ruang kerja dan studio.

II.

Banyak pelaku kegiatan dari rumah mengeluhkan keadaan saat ini. Beraktivitas tanpa perpindahan tempat telah menjadi sesuatu yang asing. Barangkali semenjak modernitas masuk membawa segala teknologi, pesawat, dan mesinnya, pun tataruang yang memisahkan kerja dan rumah. Kerja berarti tidak di rumah. Rumah haruslah menjadi ruang di mana seseorang dapat bersantai. Bersantai berarti menikmati saat-saat tanpa beban. Silogisme sederhana akan membawa ke kesimpulan bahwa kerja berarti beban.

Ah, tak begitu juga bagi sebagian orang. Kerja menyenangkan! Ada teman-teman kerja yang laiknya keluarga sendiri dan hal-hal menyenangkan yang bisa kulakukan dengan dibayar pula. Kelebihannya kerja di kantor atau toko atau pasar atau bengkel atau sekolah atau yang lainnya ialah munculnya perjalanan ke tempat kerja dan pemisahan antara kerja dan yang pribadi. Luar biasa, berarti suasana kota begitu indah dengan kendaraan bermotornya yang menderu dan menyerbu marga, dengan pisuhan seorang pengendara motor terhadap si “mobil” atau seorang penyetir mobil dengan si “motor”! Yang pribadi tentu dibutuhkan oleh masyarakat modern yang terindividualisasi, untuk tetap dapat menyemai hal-hal kesukaannya atau hobinya yang terhimpit kerja yang monoton dan tak memuaskan hasrat aktualisasi diri. Atau, mudah saja, yang pribadi dibutuhkan orang-orang biasa pula, yang berkeluarga, ingin berbincang-bincang dengan istri atau suami, anak, adik, kakak, atau merawat orangtua.

Mungkin mahasiswa dan anak sekolah juga sama, sekolah dan rumah harus terpisah! Sebab, di rumah itu seharusnya menyenangkan. Di sekolah, penderitaan. Oh! Harus duduk mendengarkan guru mengajar pelajaran sejarah dengan monoton dan dipenuhi perintah untuk menghafalkan tahun-tahun kejadian tanpa mafhum secuilpun musabab kumpulan angka-angka berdijid tiga sampai empat itu. Oh! Harus tegak mengindahkan keinginan-keinginan dosen yang nanti kalau tak dipenuhi nilai-nilaiku jadi anjlok dan nama serta wajahku dihafalkan untuk dimasukkan ke daftar hitam mahasiswa kritis. Ah, namun, tidak juga untuk banyak dari mereka yang tak memiliki hubungan wajar dan menyenangkan dengan keluarga, orangtua atau saudara: sekolah itu surga, sedang rumah pemasungan.

III.

Barangkali, di waktu-waktu pelik seperti ini, yang bisa saya sajikan ialah contoh; contoh ide atau konsepsi yang tidak menyekat-nyekat rumah, kerja dan studi.

Mari kita lihat ke belakang.

Kalau tak salah ingat dari cerita-cerita, dahulu, para mbah pengerajin, pun petani — apapun dahulu dikerjakan — di desa selalu begitu. Masak, makan di rumah. Menenun, menganyam, membatik, atau membentuk gerabah juga di rumah. Nonton wayangan, nembang, menutur tentang bijaknya Yudhistira ke cucu juga di rumah, atau beberapa langkah dari rumah. Pun sesungguhnya, ribuan tahun telah berlangsung demikian. Rumah sebagai pusat.

Tentu masih ada yang menarik dan barangkali lebih relevan, masih dari belakang, tapi dari tanah eropa. Machiavelli, Da Vinci, Lorenzo, Alberti; oh, para Humanis (dalam konteks luar mencakup filolog, filsuf, pedagog, teolog, pematung, arsitek, pelukis, dll.) termahsyur dari Abad Renaisans, semua tinggal, bersantai, bekerja, dan belajar di dan dari rumah.

Supaya ada kerangka yang jelas, mari kita membahas terlebih dahulu lahirnya Abad Renaisans yang menarik untuk dipelajari waktu-waktu sekarang ini. Sebab, Renaisans dilahirkan oleh serangkaian bencana, salah satunya dari wabah skala besar juga: pes atau kala itu dijuluki black death.

IV.

Sekitar tahun 1346, sekelompok tikus dan manusia dari Pelabuhan Kaffa, milik Republik Genoa, sekarang di Ukraina, mencapai Republik Genoa dari kapal yang habis berlabuh membawa dagangan-dagangan eksotis dunia timur yang habis menempuh perjalanan tahunan melalui Jalur Sutera. Dibawa sertalah dalam badan tikus-tikus dan manusia itu penyakit yang dijadikan amunisi orang-orang Kipchak yang tengah mencoba menguasai pelabuhan Kaffa. Dari Republik Genoa dan pelabuhan-pelabuhan utama lainnya menyebarlah bakteri Yersinia Pestis (yang sejenisnya 700 tahun lalu juga memporak-porandakan Konstantin, dengan nama yang lain, Wabah Justinian) melalui jalur-jalur kompleks dengan pos-pos (stazione) dan rumah sakit (ospital) sepanjang jalan menuju kota-kota lain di Eropa. Wabah bubonik abad itu (wabah ini bertubi-tubi menyerang kawasan Eropa ratusan tahun setelahnya juga) ini makin mematikan, sebab ditemani oleh penyakit lainnya, pneumonia.

Hancur dan porak porandalah Eropa hanya dalam beberapa tahun. Sepertiga penduduknya sirna, kira-kira dua puluh lima juta jumlahnya. Mayat-mayat bergeletakan di jalanan. Orang-orang mengunci diri di rumah. Penguasa setempat — kondisi geo-politik Eropa amat ruwet waktu itu, ada yang dipimpin uskup, raja, duke, oligarki, perserikatan dagang, dll.; tidak dapat dihomogenisasi — mengungsi ke istana-istana dengan penjagaan ketat dan tertutup rapat, menelantarkan para penduduknya. Perdagangan internasional, produksi di ladang, bank-bank milik keluarga-keluarga oligarki, ataupun “pabrik” milik banyak serikat dagang (guild) terhenticontohnya, Florens kaya raya karena pemintalan wol. Keadaan demografis bergeser, disebabkan merosotnya jumlah penduduk. Kepelikan ekonomi lingkup besar berlangsung melanda pertama-tama daerah yang sekarang bernama negara Italia.

Kerusuhan sosial (oleh petani ladang dan buruh “pabrik”) terjadi dimana-mana, dan singkat cerita, keadaan yang tak kukuh dan mapan itu membikin para pemikir di daerah perkotaan dongkol dengan seluruh sistem yang ada. Oligarki, otoritas agama yang korup, mundurnya kehidupan perkotaan (urban) membuat mereka yang mempelajari teks-teks Zaman Kuno — terjemahan dari age of antiquity, saya tidak tahu bagaimana harus menerjemahkannya, apakah Zaman Antik atau Kuno; yang jelas istilah ini merujuk ke Yunani Kuno dan Romawi Kuno — mengidealisasi masa itu, yang dianggap lebih demokratis dengan adanya representasi rakyat secara langsung, lebih terstruktur dan kompleks dengan kehidupan polis-nya, lebih maju secara teknologis dan estetis (dengan irigasi, penyediaan air bersih, ilmu kedokteran, ilmu bangunan dst., yang pada Abad Pertengahan malah mundur), dan lebih mengejar pemenuhan keutamaan serta ajaran moral. Zaman Kuno itu juga didambakan para seniman dan arsitek yang mulai mempelajari proporsi, teknik, dan estetika patung-patung, arca-arca, dan kuil-kuil dari seribu tahun sebelumnya, yang jelas jauh lebih elok dan rumit ketimbang kesenian Abad Pertengahan.

Seluruh gerakan para pemikir, seniman, dan arsitek di Italia (terutama di Republik Florens) itu bersambut dengan dukungan dan pendanaan para oligarki dari serikat-serikat dagang (yang paling terkenal keluarga Strozzi, Medici, dll.). Keadaan perdagangan yang terpuruk di Florens justru menyuburkan kegiatan para seniman, arsitek dan pemikir (sebut saja agen-agen Renaisans), karena para oligark itu harus mengalihkan dana investasinya dari industri mereka ke objek-objek seni. Singkat cerita, rangkaian perisitwa dan keadaan (yang tentu di sini disederhanakan) melahirkan gerakan humanisme-renaisans di Italia.

V.

Renaisans berasal dari kata rinascita, yang artinya kebangkitan kembali. Apa yang dicoba untuk dibangkitkan kembali oleh para Pemikir dan Seniman Renaisans? Zaman Kuno. Antonio Petrarca, penyair dan salah seorang filolog yang meneliti teks-teks dari Zaman Kuno, ialah yang pertama kali mencetuskan linearitas sejarah yang dikenal mengenai peradaban barat: antik-pertengahan-kebangkitan kembali (dari Zaman Kuno). Paralelitasnya dapat kita temui di Indonesia pra-1965, ketika banyak pemikir, politisi, dan seniman berkehendak untuk mencetuskan Kebudayaan Nasional Indonesia yang akan mewujudkan kebangkitan nasional (sayangnya, Orba menghancurkan segala upaya itu dan melemparkan Indonesia ke vakum dan budaya konsumsi).

Mengapa para agen renaisans juga disebut humanis? Sebab, mereka menjungkirbalikkan paradigma tentang citra manusia dari yang amat takluk dan tunduk terhadap “Tuhan” yang dimonopoli otoritas gereja Abad Pertengahan (yang pada waktu itu moralnya merosot dan karenanya abad-abad kekuasaan gereja sering dujuluki sebagai “Abad Kegelapan”) menjadi ke manusia sebagai seorang individu yang memiliki potensi dan rasionalitas, yang pada intinya kembali ke pokok-pokok pikiran Aristoteles. Dari situ lahir pula konsepsi pendidikan liberal arts yang ingin mendidik para terpelajar yang bijak, petah dalam bicara, berbudi, dll.

VI.

Kehidupan dari para agen Renaisans berbeda dengan para seniman, kaum terpelajar Abad Pertengahan; kehidupan yang berbeda memproduksi habitus (meminjam istilah Gadi Algazi, peneliti Renaisans) yang lain pula. Para terpelajar (scholar) di Abad Pertengahan amatlah istimewa, sebab hanya orang-orang terpilih saja yang dapat bersekolah, dan hampir semua sekolah dikelola biara; kehidupan semua terpelajar, tanpa terkecuali, juga ikut menjadi selibat laiknya hidup seorang biarawan dengan menarik diri di biara-biara yang jauh dari kehidupan duniawi. Tak ubahnya pula dengan para seniman (pelukis, pemahat, dst.), yang bekerja dalam kesunyian, di luar kota, menyepi ditengah hutan, dan di desa-desa kecil. Novel Hermann Hesse, Narziß und Goldmund, amat indah menggambarkan kehidupan magis Abad Pertengahan.

Barangkali gambaran tersebut sesuai dengan bayangan kita di Indonesia mengenai kehidupan para mbah dan pengerajin lawas di desa. Namun, seperti kita alami, urbanisasi menggeser hal itu; saat ini, generasi muda Indonesia bercokol di kota, bermimpi di kota, dan mencintai kehidupan kota. Kehidupan desa dianggap sebagai bagian dari masa lalu, sesuatu yang sewajarnya ditinggalkan untuk mereka yang tidak sekolah. Akibatnya pun kita telah rasakan, betapa banyak kesenian tradisional, yang pengerajin-pengerajinnya kebanyakan berada di desa tidak mendapat panggung, pelan-pelan, tapi pasti, punah; yang dari desa dianggap kuno, sedangkan yang di kota dianggap sebagai perkembangan zaman dalam cara pandang teleologis yang ratah.

Dalam konteks ini, Renaisans, yang sejatinya juga sebuah kisah urbanisasi pada masa itu — tentu tak bisa dibandingkan dengan apa yang terjadi dimasa modern, mulai abad ke-19 di Eropa, dan abad ke-20 di negara-negara berkembang — dapat menjadi cermin kritik pula. Kehidupan di luar tembok kota yang luluh lantah — contohnya di Jerman, sebelum 1350 terdapat 170.000 “desa”, seabad kemudian hanya tersisa 40.000 — akibat pes bersambut dengan upaya para oligarki dan serikat dagang untuk sintas, yang mengalihkan pendanaannya ke karya seni dan bidang-bidang humaniora. Mereka, terutama para patrizio di Florens dan Italia di abad ke-15, “memindahkan” produksi seni, filsafat, dan ilmu pengetahuan dari desa, biara, di luar kota, ke dalam kota, ke tiap-tiap istana (court) mereka. Sebagai contoh, para seniman dan arsitek, Da Vinci (sempat) berkarya untuk Keluarga Sforza di Milan, Raffael dan Michael Angelo bekerja untuk Paus ( Julius II, dll.; yang waktu itu mirip raja, kekuasaannya meliputi perang, administrasi, keuangan dan politik), Brunelleschi untuk Keluarga Medici, atau Giulio Romano di Kadipaten Mantua, dan seterusnya. Juga para pemikir humanis lainnya tinggal di istana dan mengajar untuk keluarga penguasa, memindahkan wacana humaniora dari biara-biara ke kota.

Dengan demikian, kota dan istana menjadi tempat yang produktif, namun juga kompetitif. Bisa dikata, secara sederhana, bahwa para seniman di zaman itu adalah bak para entrepreneur atau wiraswasta saat ini. Karena tak semua seniman mendapat keistimewaan untuk bekerja pada keluarga kaya atau penguasa, mereka bersaing untuk membuat namanya tenar melalui karya-karya mereka yang dijual di pasar seni. Albrecht Dürer, di akhir abad ke-15, menjuali sendiri reproduksi (cukup masal) karya ukiran lempeng tembaganya (Kupferstich) di pasaran. Selain itu, ia juga menghasilkan lukisan potret diri yang paling banyak dibandingkan dengan seluruh pelukis yang pernah ada, di zaman itu; aksi yang dimaknai sebagai penggalian jati diri sebagai seorang individu. Maka dari itu banyak ilmuan (salah satunya Jakob Burckthardt) mengklaim bahwa Renaisans juga melahirkan prototip individualisme; singkatnya, bahwa seseorang menyadari dirinya tidak lagi bergantung secara hakikat dan nasib kepada keputusan kelompok dan takdir.

VII.

“In the evening, I return to my house and go into my study. At the door I take off the clothes I have worn all day, mud spotted and dirty, and put on regal and courtly garments. Thus appropriately clothed, I enter into the ancient courts of the ancient men, where, being lovingly received, I feed on the food which is mine alone and which I was born for; I am not ashamed to speak with them and to ask the reasons for their actions, and they courteously answer me. For four hours I feel no boredom and forget every worry; I do not fear poverty, and death does not terrify me. I give myself completely over to the ancients.”

Demikian tulis Machiavelli mengenai kegiatannya selama di pengasingan. Di pagi dan siang hari ia berkegiatan di luar, berkebun, jalan-jalan, bercengkrama dengan tetangga, namun sore ke malamnya, ia masuk ke sebuah ruangan, yakni the ancient courts of the ancient men, di mana ia “menyerahkan diri sepenuhnya pada the ancients [maksudnya di sini peninggalan, teks-teks, maupun rentangan waktu Zaman Kuno]”.

Yang dituliskan Machiavelli bukan unik hanya pengalamannya saja, melainkan juga dialami oleh seluruh agen Renaisans. Mereka semua memiliki ruangan semacam itu: ruangan tertutup, untuk pribadi, tidak untuk orang lain sama sekali, yang kira-kira berisi kumpulan buku — buku zaman itu mahal dan tidak semua orang punya, mengingat teknologi printing yang ditemukan oleh Gutenberg di Mainz, Jerman, masih relatif baru — , surat-surat, hasil-hasil percobaan, gambar-gambar, patung-patung dewa, dedemit atau tokoh terkenal, dan juga potret diri maupun keluarga. Dalam ruangan ini para agen renaisans menyimpan hasil kerja dan studinya, mengingat itulah apa yang dikerjakan para pemikir, seniman, dan arsitek Abad Renaisans, yaitu menghidupkan kembali Zaman Kuno.

Dengan demikian bahasan terlempar kembali ke pokok pembahasan di awal, mengenai konsepsi rumah, kerja, dan studi yang tak tersekat-sekat satu dari yang lainnya. Sebab, ruangan ini juga selalu ada di dalam rumah masing-masing para agen Renaisans. Nah, ruangan tersebut dinamai studiolo oleh para peneliti Renaisans.

Kardinal Albrecht dari Brandenburg ditampilkan dengan tipologi lukisan studiolo Santo Jeremiah. Lukisan dari Lucas Cranach the Elder, 1526. Kira-kira seperti inilah bayangan umum mengenai studiolo. Sumber: Wikimedia

VIII.

Studiolo hanya satu istilah saja untuk menggambarkan konsepsi ruang tersebut. Ada banyak kata lain darinya; yang mungkin jauh lebih akrab di telinga kita ialah museum atau galleria. Ya, studiolo, selain ruang belajar seperti yang dipraktikkan Machiavelli, adalah pula sejenis museum dan galeri. Tapi, bukan sebagaimana yang kita kenal, sebagai institusi maupun bentuk formal di mana khalayak dapat masuk dan melihat pajangan. Museum atau galeri kita kenal itu sudah melalui ratusan tahun perkembangan di Eropa, yang terutama sekali akibat dari semangat mengoleksi yang ditata secara dan di bawah pengaruh kecenderungan ensiklopedis. Dari dua semangat itu berkembanglah studiolo, sederhananya, menjadi cabinet of curiosity atau Wunderkammer, lalu semenjak Abad Pencerahan ruangan berisi koleksi itu semakin terinstitusionalisasi, terspesialisasi, dipakai untuk penelitian, laboratorium, dan akhirnya dibuka untuk umum.

Semarak kegiatan mengoleksi berakar sebetulnya di Abad Renaisans, dengan penguasa setempat, para patrizio maupun raja atau bupati, yang mendanai pengumpulannya. Dengan ramainya kegiatan mengumpulkan maka makin meriah juga kehidupan pasar seni di abad-abad itu, dan juga kegiatan-kegiatan ekskavasi maupun perburuan benda. Benda-benda tersebut kurang lebih antara lain koin-koin, porselen-porselen, patung-patung, elemen-elemen arsitektural, perhiasan-perhiasan, naskah-naskah, dan buku-buku dari Zaman Kuno. Setelah dikumpulkan, para patrizio lalu juga mendanai para Humanis, para pemikir, seniman dan arsitek, untuk mempelajarinya, dan tak jarang pula meniru dan mereproduksinya. Para Humanis itu biasanya juga disuruh mereka tinggal di istana para patrizio. Sembari tinggal di istana mereka, para Humanis sekalian mengajarkan ilmu-ilmu yang masuk kategori liberal arts pada para patrizio dan keluarganya.

Nah, selain dikumpulkan di ruang koleksi dan dipelajari di studiolo para agen renaisans, barang-barang istimewa tertentu disimpan pula di studiolo pribadi milik para patrizio. Seperti yang sudah diutarakan di atas, studiolo merupakan ruangan yang amat intim serta hanya dapat dimasuki oleh pemiliknya. Bahkan, ada cerita bahwa sekalipun istri tidak boleh memasuki studiolo suaminya — seluruh studiolo pada awalnya dimiliki laki-laki, sebab yang dapat menjadi agen produktif ya hanya laki-laki, perempuan masih belum dianggap manusia utuh; walaupun, ada tokoh-tokoh perempuan yang amat awal sekali di abad-abad itu yang mulai melek dan memikirkan emansipasi akibat pendidikan humanis yang ikut diajarkan pada mereka dari para Humanis yang tinggal di Istana, contohnya Ippolita Sforza atau Isabella d’Este yang juga memiliki studiolo.

Pengecualian mengemuka akibat kegiatan-kegiatan politis yang akhirnya melibatkan studiolo milik kalangan patrizio. Mengingat keadaan politik di Italia yang tidak tentu, dinamis, dengan banyak pergantian kekuasaan, diplomasi menjadi kunci penting dalam membikin persekutuan untuk menyatukan kekuatan. Bagaimana cara diplomasinya? Dengan penghadiahan barang berharga. Ilustrasi saja, bayangkan seorang patrizio ingin kerjasama dengan daerah lain. Ia mengundang patrizio daerah itu untuk main ke daerahnya, dan akhirnya ke istananya. Di istananya, perundingan untuk ajakan menyatukan kekuatan dengan tamu patrizio itu disempurnakan dengan pameran barang-barang koleksi miliknya, yang sekaligus menunjukkan betapa kayanya ia. Kekayaan hampir identis dengan kekuatan, kala itu. Maka, koleksi dan studiolo berperan juga menjadi status pemilik — terlihat sekali perbedaan fungsinya dari ruang kerja dan studi, menuju ruang pamer. Dihadiahilah sang tamu, dan suatu hari si tamu juga mengirimkan balasan hadiah, yang juga berupa barang koleksi istimewa. Maka, dalam konteks para patrizio, studiolo menjadi tempat sirkulasi barang-barang dari Zaman Kuno untuk motivasi politis.

IX.

Ide untuk mengangkat studiolo ini muncul ketika salah seorang kenalan di tempat kuliah menceritakan idenya untuk tema tugas akhir pada semester yang lalu di Matkul Teori dan Sejarah Seni. Dia mengatakan, bahwa mungkin saja studiolo masih bisa relevan di zaman sekarang, karena toh teknologi informasi memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan yang berkenaan dengan studi maupun kerja — tentu saya juga tidak mempertimbangkan sektor informal dan lain-lain; lingkup tulisan ini hanya membahas ide untuk mereka yang mengeluh karena terkurung di rumah — , meskipun sedang duduk, tidak keluar rumah, atau tidak bergerak kemanapun. Mari kita coba agak bermain dengan paragraf kutipan dari Machiavelli, dengan coba-coba iseng memperbaharui konteks dari teksnya ke zaman sekarang.

Zaman sekarang, masuk ke “ancient courts of the ancient men” amat dimudahkan dengan adanya internet. Di platform yang terbuka, bahkan gratis, untuk semua banyak sekali kuliah-kuliah yang diunggah dari segala tema, termasuk filosofi, bahkan dengan pembicara-pembicara terkemuka sekalipun. Belum lagi, kalau ada yang niat membayar platform-platform studi atau kelas-kelas online berbayar, seperti yang banyak ditawarkan di Audible, Masterclass, dan laman-laman web universitas tertentu. Pembelajaran secara mandiri, mendidik diri sendiri secara otodidak dan menjadi diletan, seperti di Renaisans, saat ini jauh lebih mungkin.

Lalu, dalam sendiri di studiolonya, “I am not ashamed to speak with them and to ask the reasons for their actions, and they courteously answer me”. Tentu hal ini mengingatkan saya pada pengalaman kuliah semester ini: konferensi video dengan para profesor atau pengajar. Meskipun saya di kamar, pertanyaan saya sampai ke indera mereka, yang entah dimana mereka berada, dan akhirnya dijawab juga, dengan memuaskan. Dan jujur saja, rasa malu untuk bertanya saya jauh lebih berkurang di webinar, ketimbang di ruang kuliah. Ketidakpercayaan diri bahwa, aduh, nanti kalau pertanyaannya tolol bagaimana, berkurang drastis di ruang digital karena ketiadaan reaksi neurologis dan psikologis akibat pertemuan langsung.

“For four hours I feel no boredom and forget every worry”. Kalimat tersebut juga tak asing untuk kita yang biasa duduk di depan komputer atau gawai mencari-cari informasi penting dan inspirasi, ataupun hanya iseng melihat video-video pranknya Atta Halilintar yang tentu jauh lebih bermanfaat. Bosan jelas tidak, apalagi khawatir. Tinggal tergantung konten yang dipilih, bermanfaat atau sia-sia.

Hanya, tentu yang sekarang sudah tak ada lagi ialah habitusnya. Semacam kerangka konsepsi kita untuk memungkinkan kita betah berlama-lama di satu ruangan, di kamar kita, dan menjadikan itu wajar. Habitus ini yang membuat para agen Renaisans maupun Abad Pertengahan melakukan hal itu. Sebab sekarang tentu hal semacam itu tak wajar; “emang, nggak ada kerjaan lain apa?”, “ansos banget, deh!”. Atau tentu saja keluar kamar dan rumah penting untuk olahraga, melihat pemandangan, beton, besi, mobil dan motor.

X.

Ada satu kerangka atau roh dari kegiatan yang tak lagi sampai diturunkan ke manusia modern seperti kita, yaitu konsepsi tentang Muse (Bahasa Inggris, diturunkan dari Bahasa Yunani Museo), yang kira-kira hakikatnya adalah penenggelaman diri ke dalam sebuah bahan atau persoalan yang bersifat inspirasional dengan cara yang kontemplatif dan tekun (studious). Konsepsi ini amat tua sekali usianya dan merupakan hal yang menjiwai seluruh kegiatan (monastic) agen Abad Pertengahan pula: di biara-biara oleh para terpelajar dan di desa-desa oleh para seniman (Bag. VI).

“St. Jerome in His Study”, lukisan Antonello da Messina, 1474. Lukisan ini memperlihatkan konsepsi mengenai studiolo di Abad Renaisans yang agak monastic. Perbandingan dan peletakan ruangan, objek, serta kegiatan di dalamnya ditunjukkan dengan amat indah. Sumber: Wikimedia.

Penjelasan mudahnya untuk memahami Muse begini. Kalau kita memiliki sebuah permasalahan pelik yang mengganggu nurani kita sudah lama, semisal kita betul-betul khawatir akan nasib karier di masa depan, sebab nampaknya persaingannya amat tidak sehat dan kebahagiaan akan jauh tergapai. Lalu, kita merenungkan hal tersebut, mungkin juga berdoa, berkontemplasi, dan akhirnya memutuskan untuk mencari referensi, atau contoh pengalaman dari orang lain sampai ke pertanyaan mendasar, apakah itu hakikatnya sebuah pekerjaan? Lalu, kita memutuskan untuk menanyai seluruh dunia, orangtua, dosen, mantan guru, dll. tentang kenapa seseorang harus meniti karier dan bersaing secara brutal? Sayangnya kita tak puas dengan jawaban tersebut, dan akhirnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri jawabannya. Misalnya, dengan kita membeli beberapa buku atau menonton banyak kuliah umum yang membahas mengenai filosofi kerja dengan mengunci diri di kamar, dan mempelajari perihal itu secara tekun sambil merenung.

Nah, hal-hal seperti ini yang dapat dikelompokkan ke dalam Muse. Kegiatan yang rohnya kontemplasi dan pembelajaran mandiri secara tekun. Museum (dalam arti sebesar-besarnya) seharusnya ialah tempat yang diperuntukkan untuk kegiatan Muse ini (secara semantispun sudah mirip, museum dan muse), di mana orang yang datang juga melakukan hal yang sama dalam menyawangi barang-barang koleksi, semisal lukisan, patung, dll., dan mempelajari mereka untuk mencari hakikat. Studiolo, sebagai salah satu bentuk paling awal museum, merupakan tempat kegiatan dengan roh Muse mengejawantah. Merujuk balik ke ilustrasi di atas, maka kamar kita pun dapat menjadi studiolo.

XI.

Tentu kegiatan-kegiatan Muse di zaman-zaman itu menjadi mungkin karena keamanan finansial yang dimiliki oleh para agen Renaisans, sehingga mereka sepanjang usianya hanya hidup dan bekerja secara demikian. Mereka bekerja dengan tujuan-tujuan studi atau pembelajaran pula, di tempat mereka tinggal. Dan Muse juga eksklusif untuk para pekerja kreatif dan pemikir. Para petani, pedagang, prajurit, buruh, yang nampaknya waktu itu di anggap berada di kelas lebih bawah, tentu tidak memiliki privilese atau kemungkinan istimewa tersebut.

Namun, paling tidak bagi saya, konsepsi tentang Muse dan studiolo tetap menarik untuk ditemukan kembali, dan bahkan dihidupkan kembali. Syukur-syukur malah bisa menjadi bagian baru dari kewajaran baru (“new normal”) hidup kita. Paling tidak, mereka yang memiliki internet dengan kuota tak terbatas dapat merenungkan kembali logika yang kita pakai mengenai kegiatan yang tersekat-sekat secara ruang di awal. Meskipun harus banyak di rumah, bahkan belajar di dan kerja dari rumah, semua tetap dapat bermakna. Kita bisa mulai dari menata kamar kita, mengisinya dengan barang-barang yang bermakna dan yang membantu kegiatan kita; mengubahnya menjadi mirip studiolo. Walaupun kecil, kamar kita tetap bisa menjadi tempat untuk semua terjadi.

Apalagi, di tengah suatu krisis yang demikian. Paralelitas dengan Renaisans (secara sederhana) pun dapat dilihat; ya, tentu kita berharap kerusuhan-kerusuhan tidak usah perlu terjadi. Hanya, yang berbeda menurut saya dan yang juga sekaligus amat saya sayangkan, ialah miskinnya referensi kita sebagai agensi zaman. Para Humanis Renaisans mengubah dunia karena referensinya dan obsesinya pada Zaman Kuno. Bagaimana dengan kita sekarang? Nampaknya, referensi kita cukup ratah dan seragam — yang sayangnya juga digembar-gemborkan pemerintah dengan amat murni dan konsekuen — , didominasi para “entrepreneur” dan orang-orang “sukses” “milenial”. Hal itu amat tercerminkan pada mayoritas pembahasan kewajaran baru yang meluluberkisar pada kegiatan kewirausahawanan dan bisnis.

Maka, saya anjurkan, kita banyak melihat dari sejarah: dari keberulangannya. Sebab, bukan tidak mungkin, dan bahkan, sangatlah mungkin, bahwa Renaisans kita juga ada di depan mata.

Pustaka dan Bacaan Lebih Lanjut

Algazi, Gadi (2007): Eine gelernte Lebensweise: Figurationen des Gelehrtenlebens zwischen Mittelalter und Früher Neuzeit. In: Berichte zur Wissenschaftsgeschichte vol. 30 (2007), s. 107–118.

Burke, Peter (1995): Renaissance, Individualism, and the Portrait. In: History of European Ideas 23 no. 2 (1995), s. 283–300.

Burckhardt, Jacob (2014): Die Kultur der Renaissance in Italien. Stuttgart: Reclam Universal- Bibliothek.

Clark, Leah R. (2013): Collecting, exchange, and sociability in the Renaissance studiolo. In: Journal of the History of Collections vol. 25 no. 2 (2013), s. 171–184.

Findlen, Paula (1989): The Museum: Its Classical Etymology and Renaissance Genealogy. In: Journal of the History of Collections vol. 1 no. 1 (1989), s. 59–78.

Fix, Andrew C. (2005): The Renaissance, the Reformation, and the Rise of Nations. Virginia: The Great Courses.

North, Michael (1998): The Museum: Its Classical Etymology and Renaissance Genealogy. In: Historische Zeitschrift, vol. 267 (1998), s. 29–56.

Tönnesmann, Andreas (2004): Die Kunst der Renaissance. München: Verlag C. H. Beck.

--

--

Geraldus K. Martimbang
Podcast Progresif

Angkatan 99. Diletan penyuka arsitektur, filosofi, seni, sosiologi, fotografi, dan sejarah. Sedang berkuliah di TUM.