Sedikit Tentang Seni Bertanya

Pelajaran dari Membawakan Podcast. Opini

Evan Yonathan
Podcast Progresif
4 min readJul 12, 2020

--

Photo by Jonathan Farber on Unsplash

Saat saya magang di sebuah perusahaan multinasional di Munich, Jerman, saya sangat tertarik dengan motto dari perusahaan tersebut. “The better the question, the better the answer, the better the world works.” dalam terjemahan lepasnya ke Bahasa Indonesia, kalimat tersebut berarti: “semakin baik pertanyaannya, semakin baik jawabannya, dan semakin baik dunia bekerja.”

Kalimat itu membuat saya merenungkan juga, pengalaman saya selama kurang lebih 18 bulan memikirkan, merekam, dan mewawancara orang dalam Podcast Progresif. Kepribadian saya yang menurut orang kebanyakan memang tidak canggung dalam bercakap-cakap serta percaya diri, membuat orang tidak heran, saat mereka tahu bahwa saya memulai Podcast ini. Pada awalnya saya memang ingin berbicara secara tunggal dan mengutarakan pengetahuan, opini, dan argumen saya terhadap isu tertentu. Namun, setelah beberapa kali punya kesempatan untuk berbincang dengan orang-orang hebat, saya menyukainya. Setiap kali rekaman, saya punya kesempatan untuk mengeluarkan sari-sari ekstrak pengetahuan serta pengalaman dari orang yang saya wawancarai. Saya ketagihan untuk bertanya.

Pengalaman menarik saya ketika mewawancarai Reynold Hamdani di Episode 5 yang tayang 7 April 2019, yang saat itu ia masih bertugas sebagai Managing Director SabangMerauke. Saya sudah menyiapkan amunisi pertanyaan dan argumen mengenai tema intoleransi di Indonesia yang saat itu sedang menjadi perbincangan hangat yang mewarnai Pilpres 2019. Saya memulai rekaman itu dengan harapan pertanyaan yang saya berikan akan menghasilkan jawaban yang sensasional dan bombastis.

Namun seketika itu juga ketika ia mulai menjelaskan mengenai apa yang ia lakukan bersama rekan-rekan di SabangMerauke, dan pengalamannya sendiri hampir menjadi korban dari kerusuhan Mei 1998, semua amunisi saya luruh. Saya mulai mendengar dan bertanya karena saya penasaran dan tertarik. Juga, saya merasa masih banyak hal yang belum saya ketahui. Setelah episode itu saya menyadari bahwa seringkali kita menutup ruang dialog, ketika kita bertanya namun sudah memiliki kesimpulan sendiri.

Bertanya mempunyai seninya sendiri dan tidak akan bisa dibahas habis hingga akhir hidup. Sama seperti halnya seni-seni lainnya, untuk mulai membuat karya yang indah ada pakem-pakem yang harus awalnya diikuti dan harus ada ruang belajar untuk gagal. Seorang pemusik tentu harus belajar membunyikan nada-nada dasar terlebih dahulu, sebelum mampu menciptakan simfoni. Begitu juga dengan bertanya sebagai sebuah bentuk seni.

Untuk mempelajari dasar-dasar bertanya terhadap suatu peristiwa bukanlah ilmu yang bisa dipelajari sehari semalam. Semuanya harus diawali dari rasa penasaran, dan seringkali rasa ingin tahu ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan “bodoh”. Tak jarang, rasa penasaran yang masih berupa biji kecil ini akhirnya jatuh di jalan berbatu dan tidak sempat tertanam apalagi bertumbuh dan berbuah.

Saat SMP dan SMA di Bandung sementara saya tinggal di Padalarang (kurang lebih 20 km dari Ibukota Jawa Barat itu), moda transportasi utama saya adalah Bus Damri trayek Kota Baru-Alun-Alun dengan ongkos jauh dekat Rp 6.000. Suatu saat saya duduk bersebelahan dengan seorang ibu muda dengan anaknya yang saya rasa masih balita. Sang anak melihat ke luar jendela dan mulai menelaah dunia yang ia lihat. Ia mulai bertanya berbagai hal kepada ibunya. Namun jawaban yang anak ini terima hanyalah “Sssttt.. Berisik Nanti Aa nya keganggu..”. Seketika itu juga sang anak pun diam dan tidak lagi berani bertanya ataupun menegaskan pengamatannya. Kita pun belum berbicara mengenai sistem pendidikan kita yang satu arah dan “otoriter”,di mana bertanya dianggap sebagai hal yang tabu dan terkesan melangkahi kewenangan guru. Kita simpan pembahasan itu di lain hari.

Ia mulai bertanya berbagai hal kepada ibunya. Namun jawaban yang anak ini terima hanyalah “Sssttt.. Berisik Nanti Aa nya keganggu..”.

Maka tak heran bila kita sering melihat wawancara absurd di media arus utama kita. Saat seorang reporter menanyakan kepada seorang janda dari kecelakaan Avanza Maut” apakah sang ibu memiliki mimpi atau firasat akan kejadian tersebut. Apa informasi yang ingin digali dari situ? Apakah kalau ibu itu memang punya firasat, suaminya tidak akan meninggal? Apakah jika ibu itu tidak mendapat firasat apa-apa, kecelakaan itu tidak terjadi? Sang reporter memiliki tugas dan keberanian untuk bertanya, namun sayangnya tidak dibekali dengan pengetahuan dasar yang cukup dalam bertanya.

Pun ketika kita sudah menguasai ilmu-ilmu dasar dalam bertanya, betapa seringnya kita memaksakan konklusi yang sudah kita buat ke dalam setiap pertanyaan kita. Sehingga kita hanya melontarkan pertanyaan yang jawabannya kita mau dengar, walaupun mungkin bukan yang benar. Kita terlalu takut untuk salah, sehingga kita membebankan itu kepada narasumber dengan “memaksa” dia membicarakan pendapat kita.

Dalam pengalaman saya yang sudah diceritakan sebelumnya, saya mewawancarai seseorang hanya untuk menegaskan cara pandang saya terhadap isu intoleransi di Indonesia. Saya tidak mau terlihat naif, bahwa sesungguhnya itu merupakan isu yang kompleks, dan tidak bisa diselesaikan atau tidak akan berakhir bila para politisi berhenti menggoreng isu itu demi Pilpres 2019. Keberanian untuk mengakui kenaifan itulah yang membuat saya dapat menggali intoleransi dari sudut pandang beliau.

Intinya, kita harus berusaha untuk jujur dan tulus dalam bertanya, temukan kembali rasa penasaran yang murni dari dalam hati. Rasakan kembali sukacita dalam berbincang dengan sesama manusia, bukan karena keharusan, bukan karena hal pekerjaan. Bersedia untuk salah dan mengakuinya juga memastikan dialog berjalan, dan lawan bicara kita pun dapat merasa didengar. Dengan bertanya secara baik, kita menghargai kedaulatan saudara kita sebagai manusia.

Kita sudah ditentukan untuk menjalani hidup masing-masing seperti adanya. Kita tidak bisa berganti-ganti raga dan kehidupan untuk mengalami apa yang orang lain rasakan. Oleh karena itu, sepatutnya kita mendengarkan orang lain sebagai sumber pengalaman hidup bagi kita. Hidup yang kita tidak bisa jalani. Karenanya, latihlah kemampuan kita masing-masing bertanya. Dengan pertanyaan yang tepat, akan ada banyak pengetahuan yang bisa kita resapi.

--

--