Solidaritas > Belas Kasihan

Opini

Evan Yonathan
Podcast Progresif
4 min readJun 6, 2020

--

Photo by Roman Kraft on Unsplash

Siapa yang menyangka, pembunuhan seorang pria berkulit hitam di sebuah kota di Amerika Serikat dapat memantik reaksi sebesar ini? Mulai dari protes damai yang dilakukan di jalan-jalan, meledaknya dukungan terhadap nilai hidup orang Amerika keturunan Afrika, hingga kerusuhan dan penjarahan. Reaksi yang juga tak jarang saya temui adalah semacam ekspektasi sosial yang menyatakan bahwa orang-orang berprivilese sudah sepatutnya membantu mereka yang kurang beruntung. Dalam hal ini, sudah sepantasnya warga yang tidak pernah mengalami rasisme sistemis menyuarakan dukungannya kepada mereka yang tidak dapat keluar dari kungkungan ketidakadilan yang mereka rasakan ratusan tahun. Premis seperti ini juga yang saya temukan dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19, yang mengakibatkan banyak warga di Indonesia kehilangan mata pencahariannya. Namun hal ini dapat membawa kita salah mempersepsikan makna sebenarnya dalam membantu atau mendukung sesama.

Manusia pada dasarnya egois, maka apakah sepatutnya kita hanya bergantung dari rasa iba kaum berprivilese dalam memperjuangkan keadilan?

Bila kita mulai menunjuk satu sama lain, bahwa “kamu lebih punya privilese dibanding saya”, maka pasti kita akan terjebak dalam sebuah lingkaran yang tidak berakhir. Nyatanya istilah privilese yang mulai menjadi tren beberapa waktu belakangan ini sering salah dimaknai. Secara umum privilese erat dikaitkan dengan uang warisan orang tua, bisnis lanjutan dari keluarga atau bahkan pengaruh yang hanya didasarkan dari nama belakang seseorang saja. Itu benar, tapi saya kira, itu hanya sebagian sempit saja dari pemahaman mengenai privilese yang sesungguhnya.

Akibat pemahaman yang sempit tersebut, kaum ber-”privilese” sering dianggap hanya beruntung semata, tidak dapat berbuat apa-apa, dan memiliki beban moral yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak memiliki “privilese” tersebut. Pemahaman yang salah seperti ini tidak akan menimbulkan efek sosial seperti yang kita mau. Karena pada akhirnya, kita seakan mengharapkan belas kasihan dari mereka yang memenangi undian kehidupan dengan terlahir di keluarga tertentu. Menurut saya, itulah kenapa banyak juga bermunculan stigma negatif terhadap “SJW” alias Social Justice Warrior, yang dianggap hanya jago meronta-ronta tanpa memberikan solusi. Walaupun saya berpendapat, bahwa kita memerlukan mereka yang berteriak lantang dengan harapan dapat tersingkap ketidakadilan yang selama ini luput dari penglihatan. Mereka lebih mulia dibanding yang hanya menyindir mereka yang ber-”privilese” dan “SJW” sembari menunggu nasib hidupnya berubah tanpa usaha dan ketika diajak atau diperbantukan untuk menjadi bagian dari sebuah gerakan perubahan berkata “yang lain saja.. saya gak suka gitu-gituan”. Kalau gitu-gituan dapat mencapai dunia yang lebih baik, apakah ada orang waras yang menolak?

Ketidakwarasan adalah melakukan hal yang sama terus menerus dan menolak merubahnya, sembari mengharapkan hasil yang berbeda.

Selama ratusan ribu tahun kita sebagai manusia berevolusi, dari yang sebelumnya hanya hidup mengandalkan insting alam, kita sekarang mampu mempelajari hal-hal tak kasat mata, menciptakan sistem pemerintahan dan ekonomi, mampu menciptakan bahasa, dst. Namun jauh di dasar semua kecerdasan kita terdapat insting untuk berkelompok dan bertahan hidup bersama-sama. Seberapapun kita berusaha untuk mengelabui insting bertahan hidup, kita tetap akan bisa menyadarinya saat kita lemah atau kesepian. Jauh sebelum manusia menciptakan tatanan dunia, kita dulu bersama-sama hidup di bumi. Solidaritas sesama nenek moyang kita lah yang membawa kita hidup hingga saat ini.

Solidaritas manusia yang hakiki tidak didasarkan kepada “yang kuat membantu yang lemah”, namun kepada kesadaran bahwa ada tujuan agung yang ingin dicapai bersama, dan setiap anggota dalam komunitas adalah aset. Pengalaman yang saya alami juga ketika saya menghadiri World Youth Forum di Mesir tahun lalu. Ketika berbicara dan berdiskusi bersama peserta dari puluhan negara lain, saya menyadari bahwa yang menyatukan kita bukanlah bahasa, negara, ras, agama, ataupun paham politik, melainkan ketakutan bahwa kita tidak bisa hidup sebagaimana mestinya. Kekhawatiran bahwa pemanasan global akan menenggelamkan Indonesia, Filipina dan negara-negara kepulauan lainnya. Kecemasan akan kelaparan yang diakibatkan kekeringan dan korupsi di negara-negara Afrika. Keresahan bila kegiatan ekonomi terus digenjot tanpa perenungan terhadap aspek-aspek lain, hanya segelintir orang saja yang menikmatinya, sementara banyak lainnya tersiksa. Semua kegalauan kami serupa, yaitu apakah kami akan bisa tetap hidup?

Oleh karena itu sebelum kita menjadi solider, atau menggunakan jargon “solidaritas” dalam politik praktis, ada baiknya kita merenungkan, apa hal yang mempersatukan kita sebagai manusia? akankah kita mampu memahami kesedihan dan luka dari sesama kita manusia dan menangisinya bersama-sama? atau malah kita hanya saling pamer kesusahan dan mencari siapa yang paling menderita dan mempertontonkannya, seperti reality show di TV Nasional? Menjadi manusia yang solider artinya menangis bersama mereka yang terluka, dan bergembira bersama mereka yang menang.

Solidaritas tidak semurah “belas kasihan”. Solidaritas membutuhkan keaktifan untuk mendengar dan kepekaan. Solidaritas membutuhkan kelapangan dada, bahwa kita bukanlah pusat dari tata surya ini. Solidaritas membutuhkan pencerahan bahwa setiap manusia berharga dan setiap kisah hidupnya tidak ada yang sia-sia. Solidaritas mendorong mereka yang memiliki privilese meninggalkan singgasananya untuk meratap bersama. Solidaritas berarti aktif memberikan kontribusi semampunya dan malu bila hanya berdiam diri saja. Solidaritas artinya menyemangati mereka yang merasa terlupakan karena perbedaan. Solidaritas sudah membawa kita sampai sejauh ini, maukah kita meneruskannya?

Tangan di atas tak lebih baik dari tangan di bawah, pun sebaliknya. Tetapi tangan yang berpegangan (jangan lupa cuci tangan setelahnya), mampu membawa perubahan.

--

--