Serba-Serbi Vaksinasi (1);
— menuangkan cerita yang tertangkap pandang mata, tulisan lebih panjang dari yang diterbitkan di sini.
Bagian ini bercerita tentang apa yang dipandang mata saya terkait sambutan orang-orang terhadap proses vaksinasi. Bagian selanjutnya (diniatkan) akan bercerita tentang apa-apa yang dibaca beberapa waktu lalu tentang vaksinasi.
13 Januari lalu, di hari ketika Bapak Presiden Joko Widodo dan sejumlah tokoh publik lainnya dijadwalkan untuk ‘membuka pintu’ proses vaksinasi di Indonesia, saya memutuskan untuk sarapan bubur ayam langganan saya. Saya memesan satu porsi bubur tanpa kacang, satu tusuk sate kulit, satu tusuk sate ati ampela, tanpa seremah pun kerupuk.
Sembari menunggu antrean, saya menyapa Bapak penjaga parkir yang sedang duduk sembari membaca koran.
“Wah, kalau nggak mau divaksin didenda 5 juta ya Neng ternyata? Atuh orang kecil mah berarti nggak punya pilihan, ya?”, ujarnya kepada saya.
Saya tidak membaca artikel atau kolom berita yang Si Bapak baca, tapi kepala saya refleks mengajak saya berkelana ke beberapa pengalaman sebelumnya. Pengalaman menemui orang-orang dan masing-masing responsnya terhadap proses vaksinasi yang hari ini (13/01/2021) akan dimulai.
Vaksinasi dan sambutan dari orang-orang di sekeliling saya untuknya
Saya menemukan ada 6 respons berbeda yang diberikan oleh orang-orang di sekitar saya tentang vaksinasi ini.
Ayah dan ibu memiliki kebiasaan literasi yang menurut saya cukup baik. Beliau-beliau cukup rajin membaca berita dan atau artikel, lalu kalau ada istilah sulit mereka pun cukup terbiasa untuk mencari tahunya.
Teman-teman dan sekitar ayah dan ibu ternyata kebanyakan adalah orang-orang yang sumber informasi utamanya dari informasi yang sampai ke mereka, mayoritas mereka tidak terbiasa untuk mencari tahu suatu informasi lebih jauh. Walhasil, di kalangannya banyak ‘katanya’ yang beredar. Jurnalisme partisipatifnya kental sekali rasanya.
Teman-teman saya tidak terlalu banyak yang membahas tentang vaksinasi, mungkin karena memang bukan bidangnya juga (saya berasal dari jurusan teknik, terus kenapa ya tapi?) dan bisa jadi karena sebagian besar merasa setiapnya sudah bisa mencari informasi dan mengambil sikap berdasarkan informasi yang mereka dapat sendiri.
Orang-orang yang saya follow di Twitter banyak yang mencoba memberi informasi sesuai dengan data. Beberapa ada yang mempertanyakan apa-kenapa dari apa-apa yang dilakukan/diputuskan pemerintah. Yang saya rasa, mayoritas masih kental sekali skeptismenya dan disini saya sadar kalau ternyata, bisa bersikap skeptis terhadap sesuatu adalah respons dari pengetahuan yang dimiliki. Rasanya, respons-respons skeptis yang muncul mayoritas karena mereka mempertanyakan data dan fakta di balik tiap apa-apa yang dilakukan atau diputuskan. Ditambah, mayoritas memang merupakan orang-orang yang mumpuni di bidangnya.
Suatu siang, saat hendak turun ke dapur untuk makan siang saya mendengar dua mbak kost saya sedang berbincang, “Iya yang disuntik duluan tuh presiden, Raffi Ahmad, Najwa Shihab, BCL, sok atuh ya kita lihat dulu”.
Dan yang terakhir, yang tidak saya lupa adalah Bapak Parkir yang saya ceritakan sebelumnya.
Berkomunikasi dengan publik: tujuannya apa?
Saya sudah lama memiliki pertanyaan ini, kenapa ya rasanya pemerintah selalu gagal untuk berbicara dengan masyarakat? Berbicara yang saya maksud bukan harus bertatap muka, tapi menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya.
Saya banyak berpikir tentang hal ini di September 2019 lalu, ketika riuh rendah aneka suara bertanya tentang apa-apa yang tiba-tiba diputuskan oleh mereka yang duduk di Senayan sana. Kenapa ya rasanya sulit sekali menjelaskan apa-apa yang dimaksudkan kepada masyarakat yang diklaim diwakili dan atau ‘diurusi’nya?
Padahal, bukankah sebagian pajak yang dibayarkan oleh masyarakat mengalir ke kantong-kantong mereka yang bertugas di bagian hubungan masyarakat? Bidang yang rasanya selalu ada di setiap sektor. Hubungan masyarakat seperti apa sih yang dimaksudkan sesungguhnya?
Selain itu, saya juga menyoroti banyak ahli dalam bidangnya yang membuat berbagai tulisan panjang di media sosial. Kebetulan, saya cukup terpapar dengan keberadaannya karena memang banyak mengikuti akun-akun mereka. Satu hal yang saya soroti, sering kali, orang-orang ini membagikan informasi dengan bahasa yang tidak mudah untuk dipahami. Bukan sulit, bukan. Hanya tidak mudah saja.
Memang bukan kewajibannya untuk membuat siapapun yang membaca mengerti, tapi rasanya tetap melakukan hal ini setelah menemukan banyak pertanyaan di balasan tulisan-tulisan mereka membuat saya bertanya “apa sih sesungguhnya tujuannya? Jika untuk berbagi informasi dan mencerdaskan yang lainnya, tidak kah lebih baik berusaha memudahkan orang lain untuk menangkapnya?”.
Dua hal ini menjadi pertanyaan yang banyak saya tanyakan beberapa waktu ke belakang, apakah pemerintah tidak ada ‘itikad baik untuk memperbaiki komunikasinya (yang umumnya berbentuk sosialisasi) dengan publik dan apakah para pakar yang banyak berseliweran di media sosial pribadinya tidak ada keinginan agar apa yang dibagikannya bisa dinikmati oleh lebih banyak orang? Agar lebih banyak orang tercerdaskan?
Untuk kasus kedua, tentu tidak semuanya. Beberapa pakar banyak yang membuat platform pencerdasan yang rasanya mashaaAllah sekali juga. Saya sungguhan kagum sekali dengan orang-orang seperti ini.
Kembali ke literasi
Saya baru saja selesai membuat submisi untuk sebuah aplikasi. Di salah satu dari sekian banyak esai yang saya submit, ada bagian dimana saya menceritakan alasan saya bercita-cita untuk menjadi seorang jurnalis.
Saya ingin menjadi seorang jurnalis, saya ingin turut-serta dalam usaha peningkatan kemampuan literasi masyarakat di Indonesia. Menurut saya, hal ini bisa menjadi salah satu kunci dalam pengusahaan penyelesaian masalah-masalah yang ada di masyarakat. Terlebih di era informasi ini.
Saya sering kali berseloroh kepada teman-teman, jika ditanya kenapa ingin jadi jurnalis saya akan menjawab karena saya ingin menjadi seperti Tintin atau di lain waktu saya akan menjawab karena saya teringat cerita-cerita Alm. Akung tentang jurnalis-jurnalis yang dikaguminya. Satu minggu ini mencoba menggali dan bertanya kepada diri, ternyata saya justru mendapatkan sebuah mimpi. Yang tanpa sadar saya punya, entah juga sejak kapan dan karena apa.
Melihat banyaknya orang-orang pintar dengan berbagai gelar dalam berbagai bidang yang sering membagikan informasi dan pengetahuan di media sosial, saya percaya bahwa negeri ini tidak kekurangan orang pintar. Banyak sekali orang pintar dalam berbagai bidang. Rasanya, apapun bahasan yang berseliweran, akan selalu ada orang-orang yang muncul untuk berusaha menjelaskan, memberikan informasi, atau meluruskan jika ada yang berbelok.
Tapi, rasanya, kurang banyak masyarakat yang memiliki pendidikan cukup untuk mengelola informasi yang berseliweran itu. Atau, salah, masalah yang saya lihat sesungguhnya berkutat dengan literasi. Belum semua masyarakat Indonesia memiliki kemampuan literasi yang baik.
Saya percaya bahwa data-data yang ada di lapangan, ada di masyarakat, yang bisa didapatkan dengan (mungkin relatif) mudah, perlu untuk diolah menjadi informasi. Informasi-informasi ini selanjutnya disusun untuk menjadi pengetahuan. Pengetahuan-pengetahuan yang ada kemudian bisa menjadi bekal untuk seseorang menentukan sikapnya, mengambil keputusan, dan berpikir kritis terhadap sesuatu.
Sayangnya, belum semua masyarakat Indonesia memiliki kemampuan untuk melakukan serentetan proses tersebut, atau bahkan tidak semua orang menyadari pentingnya rentetan proses tersebut. Rasanya, tidak sulit menemukan orang-orang yang akhirnya melompati proses tersebut untuk sampai ke penentuan sikap, pengambilan keputusan, dan mengkritisi sesuatu.
Karena rentetan proses tersebut rasanya penting untuk setiap pribadinya, maka sudah seharusnya kita sadar akan pentingnya penyadaran dan penggiatan hal tersebut di masyarakat. Dan mungkin, memperbaiki cara berkomunikasi dengan masyarakat, bisa jadi salah satu usaha yang dapat diusahakan.
Bukan hanya berkomunikasi untuk menggalang dukungan atau persetujuan, bukan hanya berkomunikasi untuk menunjukkan kepada khalayak banyaknya ilmu yang dimiliki, bukan hanya berkomunikasi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara mudah dan instan. Tapi, berinvestasi jangka panjang untuk kehidupan yang lebih baik di masa mendatang: membuat semua orang sadar bahwa apa-apa yang mereka lakukan haruslah berasal dari sebuah kesadaran dan buah pikiran pribadi yang matang di masa-masa sekarang ini. Tidak bisa terus-menerus berkiblat pada satu-dua insan seolah mereka makhluk tanpa cela di dunia ini.
(…)
Iffah Sulistyawati Hartana,
17/01/2021