Catatan Hitam Kontestasi Pemilihan Umum 2024: Sebuah Refleksi untuk Keutuhan Demokrasi Indonesia
Oleh: Departemen Kajian dan Gerakan Strategis PPI Belanda
Praktik demokrasi pada dasarnya bertujuan untuk mengakomodir aspirasi rakyat selaku pemegang kedaulatan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan untuk rakyat itu sendiri. Indonesia sebagai negara hukum berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 memegang teguh sistem Demokrasi Pancasila, atau dalam pengertiannya praktik kehidupan demokrasi di Indonesia harus mengamalkan kelima nilai Pancasila (FISIP Unpad & Badan Pengkajian MPR RI, 2018). Pemilihan umum (pemilu) kemudian menjadi instrumen penegakkan prinsip kedaulatan rakyat untuk pergantian pemerintah secara berkala dan teratur (Alrasyid, 2002). Mengacu pada ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998, proses pemilu wajib dilaksanakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil). Hal ini menjadikan pemilu sebagai salah satu tolok ukur seberapa baik perkembangan praktik demokrasi di Indonesia (Nurhasim, 2021).
Dalam mengaktualisasikan praktik demokrasi yang sehat secara prosedural maupun substansial serta tetap menghormati hukum yang berlaku, proses pemilu haruslah jauh dari campur tangan kotor bersifat politik yang bertujuan menguntungkan pihak tertentu. Idealnya, kontestasi pemilu haruslah menjadi panggung kompetisi yang adil untuk seluruh pesertanya dengan tetap berpegang pada pedoman negara yang berlaku dan prinsip-prinsip kode etik penyelenggaraan pemilu. Miriam Budiardjo (2008) menyatakan salah satu prinsip pemerintahan demokratis di bawah Rule of Law adalah dengan adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi lembaga independen yang tidak boleh dipolitisasi. Oleh karenanya, menjadi menarik apabila kontestasi pemilu tahun 2024 ini ditelaah melalui prinsip tersebut.
Proses pemilu tahun ini nyatanya masih dihantui bayang-bayang niretika dari pihak pemangku kebijakan yang menurut aturannya tidak boleh berpihak. Diawali dari praktik maladministrasi pengangkatan pejabat daerah, putusan Ketua Mahkamah Konstitusi yang melanggar kode etik, hingga dugaan bantuan sosial yang ditempeli kepentingan politis pihak tertentu. Minimnya netralitas aparatur negara dalam melaksanakan Demokrasi Pancasila menjadi catatan hitam integritas penyelenggara pemilu di Indonesia dan merupakan bentuk kegagalan menjalankan demokrasi yang bermartabat. Adapun catatan praktik niretika dalam pelaksanaan Pemilu 2024 yang berpotensi menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan Pemilu Indonesia ke depan adalah sebagai berikut.
- Putusan Mahkamah Konstitusi yang Langgar Etika
Sebagaimana telah kita ketahui, salah satu pelanggaran yang berkaitan dengan Pemilu kali ini adalah Putusan MK tentang batas usia capres/cawapres yang penuh kejanggalan. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu, batas usia capres/cawapres adalah minimal 40 tahun. Pasal ini digugat pada tahun lalu ke Mahkamah Konstitusi, salah satunya oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbiru. Singkat cerita, gugatan tersebut dikabulkan sebagian oleh MK, yang mengubah ketentuan dalam pasal tersebut menjadi “berusia paling rendah 40 atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Hal pertama yang patut dikritisi dalam kasus ini adalah posisi salah satu hakim MK, Anwar Usman, yang merupakan saudara ipar dari Jokowi, sekaligus paman dari Gibran yang pada akhirnya dicalonkan sebagai cawapres pada pemilu kali ini. Posisi ini menjadikannya berada dalam posisi yang erat dengan conflict of interest, yang kemudian memang terbukti, di mana Usman dinyatakan melanggar kode etik dalam putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) nomor №2/MKMK/L/11/2023. Pelanggaran tersebut berkaitan dengan asas ketidakberpihakan dan asas integritas yang seharusnya dimiliki hakim MK.
Selain melanggar etika, kejanggalan lain pada kasus tersebut juga telah banyak disorot oleh para pakar, termasuk penarikan gugatan lalu pendaftaran ulang di hari libur, inkonsistensi dengan putusan-putusan sebelumnya, dan posisi hukum pada hakim yang memutus perkara tersebut (BBC News Indonesia, 2023). Beragam kejanggalan serta pelanggaran yang jelas terbukti harus terus diingat dan dijadikan catatan hitam dalam perjalanan demokrasi dan kepemiluan di Indonesia.
- Integritas Penyelenggara Pemilu
Masih berkaitan dengan putusan MK terkait batas usia Capres dan Cawapres, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan pada 5 Februari 2024 bahwa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terbukti telah melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024. Pelanggaran etik terbukti telah dilakukan para komisioner karena tidak mengindahkan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan revisi aturan prosedur terkait syarat calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) №90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Sebagai akibat dari tindakan para komisioner tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari dikenakan sanksi berupa peringatan keras terakhir, sedang enam orang komisioner lainnya dikenakan sanksi peringatan keras (Tim Kompas, 2024).
Pada akhir Oktober 2023, Hasyim juga dijatuhi sanksi peringatan keras, dan enam komisioner lainnya dijatuhi sanksi peringatan karena melanggar etika saat menyusun peraturan yang berkaitan dengan calon anggota legislatif perempuan. Lalu, pada awal April 2023, Hasyim kemudian dijatuhi peringatan keras terakhir karena melanggar prinsip profesional dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu dalam relasinya dengan Ketua Partai Republik Satu Hasnaeni (Tim Kompas, 2024). Terungkap bahwa Hasyim dan Hasnaeni melakukan melakukan perjalanan non-kedinasan bersama di tengah tahapan verifikasi administrasi yang amat potensial menimbulkan konflik kepentingan (Utama, 2023).
Selanjutnya, terdapat dugaan kecurangan dan manipulasi data dalam tahapan verifikasi faktual pendaftaran partai politik sebagai peserta pemilu yang mana KPU diduga melakukan perubahan status beberapa partai politik yang tadinya Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS) melalui manipulasi data di Sistem Informasi Partai Politik (Perludem, 2024).
Putusan DKPP ini menjadi bukti sahih bahwa keputusan MK terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Republik Indonesia tidak mengindahkan aspek etis. Lebih penting lagi, hal ini memperkuat bukti bahwa Pemilu 2024 tidak memiliki integritas. Penyelenggara Pemilu, yang seharusnya tidak terpengaruh oleh kepentingan politik praktis, justru malah terlibat dalam konflik kepentingan.
Ketua Majelis DKPP Heddy Lugito menyatakan bahwa meskipun Hasyim telah dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir, sanksi yang lebih berat tidak dapat diberikan karena putusan DKPP tidak bersifat akumulatif dan berbeda untuk setiap kasus (Tim Kompas, 2024). DKPP sebetulnya memiliki peran penting dalam memastikan bahwa penyelenggara Pemilu dapat memperhatikan kode etik ketika bertugas. Akan tetapi, putusan-putusan yang dikeluarkan oleh DKPP terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh KPU tidak berhasil memberikan dampak yang signifikan terhadap penegakan etik dalam penyelenggaraan Pemilu. Sebagai contoh, dalam kasus terkait manipulasi data verifikasi parpol, DKPP tidak terlihat mencoba melakukan pendalaman bukti lebih lanjut yang diberikan pelapor, terutama yang berkaitan dengan keterlibatan KPU RI dalam kecurangan (Perludem, 2024).
Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang berperan atas pengawasan dalam penyelenggaraan pemilu di seluruh Indonesia juga tidak menjalankan perannya secara optimal. Misalnya, keberadaan Bawaslu dipertanyakan ketika terdapat isu kecurangan pada tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu 2024. Pada kasus ini, KPU sampai disomasi oleh perwakilan masyarakat sipil (CNN Indonesia, 2022a). Kasus verifikasi ini bahkan sampai ke DKPP dengan dilaporkannya ketujuh komisioner KPU RI. Bahkan, Bawaslu menyampaikan bahwa Bawaslu tak temukan bukti kecurangan verifikasi parpol di KPU (CNN Indonesia, 2022c). Padahal pada kesempatan lain, Bawaslu juga mengakui bahwa Bawaslu mengakui tidak bisa awasi penuh kecurangan verifikasi partai (CNN Indonesia, 2022b).
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan terkait peran Bawaslu dalam pengawasan tahapan pendaftaran dan verifikasi partai politik.
- Potensi Abuse of Power dan Maladministrasi dalam Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016, bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) berupa gubernur, bupati, dan walikota akan dilakukan serentak pada tahun 2024, berakibat pada kekosongan jabatan kepala daerah di beberapa daerah sejak tahun 2022 (Rahmazani, 2023). Mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014, pengangkatan pejabat (PJ) kepala daerah pada masa transisi menjelang Pilkada serentak ini kemudian dilakukan oleh Presiden (untuk Gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk Bupati/Walikota). Namun demikian, MK menegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bahwa mekanisme pengangkatan pejabat kepala daerah harus dilakukan secara transparan, jelas, dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
Sepanjang 2022–2024, Presiden Jokowi telah melakukan pengangkatan PJ Gubernur di 23 Provinsi di seluruh Indonesia (Kompas.com, 2024). Selain itu, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Indonesia, Tito Karnavian, presiden juga berpengaruh besar dalam penunjukan total 182 PJ Bupati atau Walikota. Sayangnya, penunjukan PJ kepala daerah ini diduga dilakukan secara sepihak dan tidak transparan (Rahmazani, 2023). Tito dan Jokowi tidak mematuhi putusan MK yang meminta pengangkatan pejabat harus dilakukan secara terbuka, taat pada peraturan pemerintah daerah dan masyarakat daerah, dan taat peraturan teknis, agar penunjukan bersifat adil. Karena itu, Ombudsman Republik Indonesia menyatakan proses penunjukan pejabat oleh Presiden dan Mendagri dianggap tindakan maladministrasi (Ombudsman Republik Indonesia, 2022).
Berdasarkan Pasal 416 Ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, syarat pemilu satu putaran adalah pasangan calon terpilih memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara total dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia (Akbar, 2024). Berdasarkan investigasi Feri Amsari yang diungkapkan dalam film dokumenter “Dirty Vote” (Laksono, 2024), jumlah DPT dari wilayah dimana terjadi maladministrasi ini mencapai 140 juta suara, atau setara dengan lebih dari 50% suara pemilih di Indonesia. Beliau menemukan bahwa beberapa PJ Gubernur terpilih pernah memiliki keterkaitan yang erat dengan Presiden Jokowi, seperti PJ Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin yang merupakan mantan Deputi Kesekertariatan Presiden (2021) dan PJ Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana merupakan mantan Kapolresta Surakarta pada saat Jokowi menjabat sebagai walikota Solo pada tahun 2010.
Penunjukan PJ Gubernur ini sangat berpengaruh besar terhadap jumlah suara pemilih yang terkumpul. Pertama, PJ Gubernur berpotensi besar terhadap mobilisasi birokrasi dan izin lokasi kampanye. Beberapa penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) adalah berupa kampanye terbuka mendukung pasangan calon tertentu dan perintah tindakan seperti pencabutan baliho calon presiden seperti yang terjadi di Bali (Fahmi, 2023). Selain itu, telah beredar pakta integritas yang ditandatangani oleh PJ Bupati Sorong untuk memenangkan pasangan calon tertentu (CNN Indonesia, 2023).
- Dugaan Politisasi Bansos
Dugaan adanya permainan politik uang dan politisasi bantuan sosial (bansos) juga terjadi dalam Pemilu 2024. Anggaran bansos pada tahun tersebut mencapai 496 T Rupiah (Nugroho, 2024), melebihi anggaran yang ada pada masa pandemi COVID-19. Perlu dipahami bahwa bansos merupakan langkah cepat untuk mengayomi masyarakat yang kurang mampu. Namun, tingginya anggaran yang disediakan membuat timbul dugaan motif politik tertentu.
Deputi III Kepala Staf Presiden, Edy Priyono menyampaikan bahwa pemberian bansos berupa bantuan langsung tunai (BLT) berjudul mitigasi risiko pangan terkait EL Nino dengan total anggaran Rp 11,2 triliun pada Februari 2024 bukan bagian dari kontestasi politik. BLT El Nino merupakan bansos yang bersifat insidentil di tengah kenaikan harga pangan (CNBC, 2024).
Pada kesempatan lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga membenarkan bahwa penyaluran bansos tersebut guna memitigasi risiko pangan. Ia juga menegaskan bahwa program bansos seperti BLT merupakan instrumen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang keberadaannya sudah dibahas bersama seluruh fraksi partai politik di DPR RI (Septyaningsih, 2024).
Kendati demikian, nyatanya pembagian bansos telah ditunggangi motif politik oleh pejabat negara sendiri. Hal ini dibuktikan dengan video yang beredar, menampilkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada tanggal 16 Desember 2023 lalu yang menyampaikan bahwa bansos tersebut merupakan pemberian Presiden Jokowi, maka peserta diminta mendukung Gibran dalam Pilpres 2024 sebagai putra Jokowi. Hal serupa juga terjadi pada saat penyaluran bansos 16 Januari 2024, di mana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta para penerima untuk berterima kasih kepada Presiden Jokowi (Metro TV, 2024).
Dikutip dari CNBC, ekonom Center of Food, Energy, and Sustainable Development INDEF Rusli Abdullah menjelaskan bahwa utak-atik anggaran jelang masa Pilpres atau Pemilu untuk program BLT memang polanya ditujukan untuk memenuhi kepentingan politik dari pihak yang tengah memegang kekuasaan pemerintahan — mendukung program-program yang bisa mendongkrak elektabilitas (Rachman, 2024).
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan juga mengatakan pemerintah sangat mungkin menyalahgunakan pemberian BLT sebagai alat untuk dipertukarkan dengan loyalitas elektoral. Gurnadi berpendapat meskipun BLT dengan sistem rapel pada Februari 2024 ini dapat memberikan manfaat besar bagi penerima, di sisi lain hal ini menjadi indikasi bahwa bansos dijadikan alat untuk meningkatkan elektoral mengingat tidak ada urgensinya secara substansi (Piri, 2024).
Praktik politisasi yang dilakukan oleh pejabat negara ini harus dikecam karena sejatinya bansos adalah mandat konstitusi dan merupakan instrumen APBN, bukan dibiayai oleh partai politik tertentu.
- Ketidaknetralan Penyelenggaraan Pemerintahan
Sebelum melihat bukti-bukti ketidaknetralan penyelenggara negara atau aparat pemerintah di dalam pemilu, kami memahami netralitas sebagai suatu asas yang mengatur aparat pemerintah untuk tidak memihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Pada Aparatur Sipil Negara (ASN), asas netralitas tersebut mengikat dan diatur di dalam Pasal 2 huruf f UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Tidak hanya ASN, namun TNI, POLRI, kepala desa, perangkat desa dan anggota badan permusyawaratan desa juga diwajibkan untuk mematuhi asas netralitas, terkhususnya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu). Aturan tersebut termaktub di dalam UU №7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bahkan Pasal 494 UU Pemilu menjelaskan bahwa setiap aparatur sipil negara, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak 12 juta rupiah. Namun sepertinya sanksi pidana tidak memberikan jaminan netralitas aparat pemerintah.
Netralitas aparat menjadi sorotan setelah asosiasi kepala desa dan unsur perangkat desa diduga terlibat dalam mobilisasi dukungan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Sinyal tersebut terlihat ketika mereka menggelar acara bertajuk “Silaturahmi Nasional Desa 2023” di Indonesia Arena, Jakarta, Minggu (19/11/2023), yang dihadiri oleh salah satu calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka. Meski tidak menyampaikan dukungan politik secara langsung, tetapi sejumlah peserta yang hadir mengenakan pakaian yang berisi kalimat dukungan politik kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. (Kompas, 2023). Tentu tindakan tersebut tidak memperlihatkan etika politik yang baik bahkan menurunkan kualitas demokrasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu.
Tak hanya perangkat desa, netralitas aparat TNI dan Polri juga sempat menjadi sorotan menjelang Pemilu 2024. Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Polri mengharuskan Polri bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur hal yang sama. Tugas pokok lembaga tersebut adalah menjaga keamanan, ketertiban, dan kelancaran proses demokrasi. Meskipun secara formal pimpinan kedua institusi negara telah berkomitmen untuk menjaga netralitas, namun aparat di lapangan diduga terlibat dalam kegiatan politik praktis untuk memenangkan calon tertentu (Kompas, 2023). Bahkan beberapa kali aparat TNI dan Polri diduga melakukan berbagai upaya intimidasi kepada pihak-pihak yang menyuarakan pemilu yang adil, jujur dan demokratis (Pribadi, 2024).
Selain itu, pada Pemilu 2024 ini kita juga menyaksikan ketidaknetralan Presiden dan para menteri. Mulai dari memanfaatkan program (bansos), fasilitas negara, hingga terlibat secara aktif dalam kampanye terbuka untuk mendukung pasangan calon tertentu. Pasal 282 dan 283 UU No. Tahun 2017 tentang Pemilu juga telah mengatur larangan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Kami menilai sikap Presiden dan para menteri yang memihak kepada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden jelas telah mencederai demokrasi. Menjaga etika dalam kontestasi politik penting dilakukan oleh pejabat negara untuk mewujudkan pemilihan umum yang adil dan bermartabat. Ketidaknetralan aparat pemerintah di Pemilu 2024 telah mengikis kualitas demokrasi Indonesia yang telah dipupuk selama lebih dari dua dekade terakhir.
Penutup
Kami percaya bahwa pemilu merupakan sarana masyarakat untuk memutuskan masa depan pembangunan Indonesia ke depan. Hasil Pemilu 2024 merupakan cerminan putusan dari masyarakat Indonesia terhadap masa depan bangsa, sehingga pada dasarnya kami menghormati hasil Pemilu 2024. Namun, catatan-catatan pelanggaran etik dan penyalahgunaan kewenangan dalam pagelaran Pemilu 2024 yang telah dicatat sebelumnya memberikan indikasi minimnya praktik fairness selama penyelenggaraan pemilu kali ini. Catatan hitam ini perlu menjadi pengingat untuk menumbuhkan semangat praktik demokrasi yang lebih bersih dan berintegritas kedepannya. Partisipasi kritis masyarakat Indonesia dalam mengawal proses demokratisasi Indonesia, termasuk dalam Pemilu 2024 serta proses pemilu selanjutnya menjadi hal yang vital. Cita-cita akan berjalannya proses demokrasi yang adil dan setara merupakan bentuk optimisme akan kemajuan bangsa. Keadilan adalah kemutlakan, sebagaimana yang digaungkan oleh Pramoedya Ananta Toer bahwa “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.
Referensi
Alrasyid, H. (2002). PEMILU SEBAGAI SARANA DEMOKRASI. 3(2), 66–73.
BBC News Indonesia (2023) ‘Apa saja “kejanggalan dan kronologi keanehan” putusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia capres’, BBC News Indonesia, 17 October. Available at: https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4n60z000ngo (Accessed: 16 February 2024).
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (Cet. pert. rev). Gramedia Pustaka Utama.
CNBC (2024, January 31). Video: Istana Jamin BLT El Nino Jelang Pemilu Tak Terkait Politik. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240131115036-8-510440/video-istana-jamin-blt-el-nino-jelang-pemilu-tak-terkait-politik
Kompas.com. (2024, February 12). Daftar Pj Gubernur yang Dilantik Jokowi Sepanjang 2022–2023. https://www.kompas.com/tren/read/2024/02/12/113000565/daftar-pj-gubernur-yang-dilantik-jokowi-sepanjang-2022-2023?page=all#
Kompas.id. (2024, February 15). Dukung Prabowo-Gibran, Penyelenggara Silaturahmi Nasional Desa Diadukan ke Bawaslu. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/11/23/dukung-prabowo-gibran-penyelenggara-silaturahmi-nasional-desa-diadukan-ke-bawaslu
Kumalasanti, S.R. (2023) ‘TNI-Polri Diminta Tak Terlibat Politik Praktis’, Kompas, 12 November. Available at: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/11/12/tni-dan-polri-diminta-tak-terlibat-politik-praktis (Accessed: 16 February 2024).
Laksono, D. (Director). (2024, February 11). Dirty Vote. https://www.youtube.com/watch?v=RRgLZ66NCmE
Metro TV. (2024, January 19). Politisasi Bansos Makin Parah. Metro TV News. https://www.metrotvnews.com/play/NP6Cpd8z-politisasi-bansos-makin-parah
Nugroho, R. A. (2024, Februari 05). Anggaran Bansos Nyaris Rp500 T di 2024, Sri Mulyani Buka Suara. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240205070907-4-511812/anggaran-bansos-nyaris-rp500-t-di-2024-sri-mulyani-buka-suara
Perludem. (2024). Tahun 2024 Puncak Penyelenggaraan Pemilu: Konsolidasi Demokrasi atau Kemunduran? https://perludem.org/wp-content/uploads/2024/01/CAWAHU-PERLUDEM-2024.pdf
Piri, Ilona Esterina. (2024, January 31). Efek Elektoral Bantuan Langsung Tunai. Tempo. https://koran.tempo.co/amp/ekonomi-dan-bisnis/487001/efek-blt-terhadap-suara-pemilu-2024
Pribadi, B. (2024) ‘Polisi Diduga Intimidasi Akademisi yang Suarakan Pernyataan Sikap Kritik Jokowi’, Tempo.co, 5 February. Available at: https://nasional.tempo.co/read/1829909/polisi-diduga-intimidasi-akademisi-yang-suarakan-pernyataan-sikap-kritik-jokowi (Accessed: 16 February 2024).
Rachman, A. (2024, January 30). Ekonom Ini Kritik BLT Jokowi Rp600 Ribu, Ini Jawab Pemerintah. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240130134539-4-510157/ekonom-ini-kritik-blt-jokowi-rp600-ribu-ini-jawab-pemerintah
Rahmazani, R. (2023). The Problems of Appointment Acting Officer of Regional Head in the Transition Period Before the Election of 2024: Problematika Pengisian Jabatan Penjabat Kepala Daerah di Masa Transisi Pra Pilkada 2024. Jurnal Konstitusi, 20(2), 196–215. https://doi.org/10.31078/jk2022
Septyaningsih, Iit. (2024, January 30). Bakal Kucurkan BLT Rp 600 Ribu Jelang Pemilu, Ini Penjelasan Sri Mulyani. Republika Online. https://ekonomi.republika.co.id/berita/s82vba490/bakal-kucurkan-blt-rp-600-ribu-jelang-pemilu-ini-penjelasan-sri-mulyani