PVV dan Kemenangannya yang Tuai Kontroversi

Oleh: Departemen Kajian dan Gerakan Strategis PPI Belanda

PPI Belanda
PPI Belanda
9 min readDec 21, 2023

--

Source: https://www.bbc.com/news/world-europe-67504272

Senyum lebar membingkai wajah Geert Wilders, Ketua Partai untuk Kebebasan (PVV), kala rekapitulasi hasil penghitungan suara menunjuk PVV sebagai pemenang telak atas pemilihan umum (Pemilu) Belanda tahun ini. PVV berhasil memperoleh 37 kursi di parlemen, mengalahkan Aliansi Partai Buruh-Kiri Hijau (GL/PvdA) di posisi kedua dengan 25 kursi dan Partai Liberal-konservatif untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) di urutan ketiga dengan 24 kursi. Peningkatan dukungan suara terhadap PVV dari 2,2 juta pada pemilu tahun 2017 dan 2021 menjadi 2,5 juta pada pemungutan suara tahun ini menunjukkan adanya peningkatan semangat ultranasionalisme di tengah masyarakat Eropa, terkhususnya masyarakat Belanda dalam hal ini.

Source: https://www.statista.com/statistics/1222604/dutch-general-election-results/

PVV berhasil meraup suara tertinggi di wilayah dengan jumlah imigran yang cukup besar seperti Rotterdam, Den Haag, dan Amstelveen yang merupakan kota di selatan Amsterdam dengan tingkat imigran yang tinggi. Sementara, Partai Kiri Hijau/Partai Buruh (GroenLinks/PvdA) mendominasi kota-kota mahasiswa seperti Amsterdam, Groningen, Utrecht, Eindhoven dan lainnya (The Pie News, 2023).

Source: https://nos.nl/collectie/13958/artikel/2499884-geen-aanwijzingen-dat-veel-moslims-op-de-pvv-hebben-gestemd

Kemenangan PVV menjadikan Geert Wilders sebagai kandidat kuat Perdana Menteri Belanda selanjutnya. Jika bagi pendukungnya ini adalah hasil pemilu yang dinantikan, bagi pihak lain majunya Geert Wilders sebagai Perdana Menteri melahirkan kegelisahan tersendiri. Kendati demikian, Wilders dan partainya tetap perlu membentuk koalisi untuk mendapat 76 dari 150 kursi di parlemen, yang kelak menjadikan mereka mayoritas dalam parlemen sehingga Wilders dapat melenggang sebagai Perdana Menteri. Pembentukan koalisi dapat memakan waktu berbulan-bulan, terlebih jika perundingan berlangsung alot dalam perjalanannya mencapai konsensus politik.

Siapa Geert Wilders?

Geert Wilders, seorang tokoh populis Belanda, memulai karirnya dalam lingkup politik pada tahun 1998 sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebelum akhirnya menjabat sebagai pemimpin PVV pada tahun 2006, dua tahun setelah ia melepaskan status keanggotaan dari VVD yang merupakan partai liberal kanan. Sepanjang karirnya berpolitik, Wilders cukup nyaring mempromosikan retorika anti-Islam dan anti-imigran, ideologi ekstrem yang semakin terlihat setelah usulannya untuk larangan Al-Qur’an di Belanda pada tahun 2007. Wilders juga keras menentang integrasi eropa, dalam pengertian lain ia adalah seorang Euroskeptik. Doktrin tersebut sebenarnya adalah ciri dari populis itu sendiri.

Menariknya, Wilders adalah bagian dari kelompok Indo, atau dalam artiannya golongan keturunan berdarah campuran Indonesia dan Eropa (Nisa et al., 2021). Antropolog politik Belanda, Prof. dr. Nico G. Schulte Nordholt, dalam wawancaranya dengan BBC News Indonesia, menjelaskan bahwa ada kecenderungan bagi sebagian kelompok Indo untuk berhaluan politik ekstrem kanan. Hal ini dikarenakan kelompok Indo yang memiliki darah Belanda seringkali tidak diterima baik oleh masyarakat Belanda totok karena dinilai kebudayaan Indis mereka tidak relevan dengan budaya orang Eropa. Demikian pun Wilders yang meski lahir dan besar di Belanda tetap mengalami diskriminasi semasa kecilnya. Berangkat dari pengalaman diskriminatif di tanah sendiri, sebagian kelompok Indo cenderung berpolitik ekstrem dalam upaya mendapat pengakuan warga Belanda lainnya, yang dalam kasus ini ialah Wilders.

Mengenal Populisme Kanan-Jauh, Ideologi Politik PVV

Missier (2022) dalam artikelnya mengatakan bahwa mayoritas kelas underprivileged merasa mereka telah diturunkan ke warga kelas-dua dan mengklaim bahwa imigran dan pendatang mengambil alih lapangan pekerjaan serta mengancam cara hidup tradisional mereka. Gerakan seperti Front Nasional di Perancis, Alternatif untuk Jerman (AfD), dan kelompok neo-Nazi Golden Dawn di Yunani memanfaatkan celah ini untuk menarik atensi masyarakat dengan kekhawatiran yang sama untuk kemudian membentuk simpatisan partai. Parta-partai tersebut berjalan di satu spektrum politik yang sama, yakni politik kanan-jauh (far-right politics).

Seperti halnya yang terjadi belum lama ini, Uni Eropa dikejutkan dengan terpilihnya Giorgia Meloni sebagai Perdana Menteri perempuan pertama sekaligus pemimpin dengan ideologi politik kanan-jauh pertama di Italia sejak Perang Dunia II. Partai kanan-jauh juga berhasil

memenangi pemilu Swedia pada tahun 2022 setelah sebelumnya Swedia dipimpin oleh Partai Sosial Demokrat yang berhaluan sayap kiri.

Berdasarkan penelitian, kebangkitan ekstremisme sayap kanan, atau politik kanan-jauh, telah menjadi fenomena di seluruh Eropa (Rensman, 2003). Salah satu pemantiknya adalah dengan bagkitnya Partai Front Nasional dalam Pemilu Prancis tahun 2002 (Anditya, 2017). ‘Kanan-jauh’ sendiri adalah sebuah ideologi politik yang menganut pemikiran dan gerakan kanan radikal, populisme, kanan ekstrim, sayap kanan populis, dan kanan radikal populis (Mudde, 2007). Pada dasarnya, partai sayap kanan-jauh memiliki tujuan mereformasi sistem politik dan ekonomi kembali ke “tatanan alami” masyarakat dengan kesenjangan yang melekat serta turut menerapkan sistem hukum dan ketertiban yang ketat (radikal), seringkali terjadi di negara monokultural (nasionalisme), dan anti-elitis tetapi untuk “rakyat murni” (populisme) (Golder, 2016). Inti dari populisme itu sendiri adalah ideologi yang membagi masyarakat menjadi dua kubu yang saling bertentangan, yakni “rakyat murni” dan “elit korup”, serta yang mengutamakan kedaulatan rakyat di atas segalanya (Mudde & Kaltwasser, 2017). Di eropa, ideologi yang kerap dijumpai adalah populisme eksklusif (exclusionary populism) yang mana bersifat budaya, agama, atau etnis dan diasosiasikan dengan partai-partai sayap kanan (Betz & Johnson, 2004). Dengan demikian narasi populis tidak jauh-jauh dari isu ketidakadilan sosial-ekonomi, ketimpangan, dan lapangan pekerjaan.

Di Balik Terpilihnya PVV

Algemene Inlichtingen-en Veiligheidsdienst (AIVD), badan intelijen Belanda, di tahun 2019 menyimpulkan bahwa ancaman ekstremisme sayap kanan meningkat di Belanda. Lebih lanjut, partai dengan haluan politik kanan-jauh menawarkan solusi atas isu-isu yang tengah menghantui masyarakat Eropa itu sendiri, yakni terorisme internasional, isu imigrasi serta multikulturalisme ‘pendatang’ yang dikhawatirkan memicu krisis identitas nasional, dan adanya krisis finansial yang menjadi momok serius masyarakat Eropa (Hikmawan, 2017).

Celah tersebut lantas dipergunakan Wilders beserta partainya dalam menarik simpatisan. Dalam wawancaranya dengan BBC News, Wilders menyatakan bahwa masyarakat pribumi merasa diabaikan karena dampak migrasi massal, yang menurutnya telah membuat mereka merasa terpinggirkan. Keresahan inilah yang dijustifikasi PVV melalui buku program pemilunya yang menjelaskan bahwa Belanda sedang mengalami kemunduran signifikan akibat “tsunami suaka” dan arus migrasi massal yang sedang berlangsung. Merujuk pada data bulan Oktober 2023, terdapat sekitar 4.985 pencari suaka tiba di Belanda, dengan lonjakan 1.360 dari bulan sebelumnya (Statistics Netherlands, 2023). Wilders juga “menjual” permasalahan krisis tempat tinggal yang menjadi ancaman bagi sebagian masyarakat Belanda. Dalam agenda kebijakannya, ia menjanjikan lebih banyak rumah bagi orang Belanda serta ingin mengurangi harga sewa. Lebih lagi, dalam manifesto PVV terlihat jelas posisi Wilders serta partainya yang memvalidasi kekhawatiran sebagian masyarakat Belanda:

“Lebih dari separuh penerima kesejahteraan di negara kita kini adalah imigran non-Barat. Namun, sistem pendidikan dan layanan kesehatan kita tidak mampu lagi mengatasi masuknya orang asing yang terus menerus. Masuknya pencari suaka juga tidak terjangkau. Setiap tahun hal ini merugikan pembayar pajak Belanda sebesar 24 miliar euro…Pelayanan kesehatan, yang selama ini tidak terjangkau oleh banyak orang Belanda, diberikan secara gratis kepada para pencari suaka.”

Gagasan tersebut turut mengkonfirmasi teori Canovan (1999) mengenai satu dari lima ciri populisme itu sendiri, yakni merespon terhadap situasi krisis yang ekstrem sebagai upaya menarik suara dalam pemilu. Menariknya, terdapat perubahan dalam retorika Wilders yang semula anti-Islam menjadi lebih moderat menjelang proses pemilihan. Janjinya adalah untuk “menghentikan” kebijakan larangan terhadap masjid dan sekolah Islam. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong lain peningkatan dukungan suara untuknya.

Source: https://www.pvv.nl/images/2023/PVV-Verkiezingsprogramma-2023.pdf

Wacana Kebijakan PVV dan Diaspora Indonesia

Menurut data dari KBRI Den Haag, pada tahun 2021 jumlah diaspora Indonesia di Belanda mencapai angka 1,7 juta jiwa, membentuk sekitar 10 persen dari populasi Belanda secara keseluruhan. Agenda kebijakan pemerintah kedepan tentu memiliki dampak tersendiri bagi diaspora Indonesia di Belanda.

Wacana agenda kebijakan PVV dalam manifestonya yang berdampak bagi diaspora Indonesia:

  1. Restriksi pelajar internasional secara signifikan dengan hanya mengajar mata kuliah sarjana (S1) dalam bahasa Belanda dan memaksimalkan jumlah mahasiswa asing pada program magister (S2)
  2. Kebijakan anti-Islam: larangan mengenakan jilbab di gedung-gedung pemerintah, tidak ada sekolah Islam, Al-Quran atau masjid.
  3. Pembekuan suaka dan kebijakan imigrasi yang membatasi secara keseluruhan.
  4. Referendum Belanda meninggalkan Uni Eropa.

Namun, kebijakan-kebijakan tersebut belum tentu terlaksana seluruhnya. Wilders masih perlu berunding untuk membentuk koalisi pemerintahan dengan beberapa partai kanan-tengah.

Sekilas: Amerika Serikat di Era Trump

Arah politik Belanda saat ini mengingatkan kembali kala terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 2016 kemarin. Ideologi politik Trump dan Wilders yang sama, yakni sebagai populis, membuat pendekatan keduanya terhadap kebijakan publik kurang lebih sama. Propaganda nativisme yang menempel erat pada model kepemimpinan Trump tidak terelakkan pada praktik politik Wilders. Jika Trump kuat dengan wacana America Firstnya, maka Wilders lantang dengan wij zetten Nederlanders op 1 atau jika diterjemahkan secara langsung berbunyi ‘kami mengutamakan warga negara Belanda’. Narasi itulah yang kemudian mendorong praktik nativisme itu sendiri, atau dalam pemahamannya membedakan antara kelompok masyarakat pribumi dengan masyarakat asing (Kesic & Duyvendak, 2022).

Trump mengusung kebijakan anti-Imigran, atau dikenal sebagai kebijakan Zero Tolerance, dengan membatasi jumlah imigran yang datang hingga 84% lebih rendah dari era Obama (Forbes, 2020). Kebijakan tersebut diusung dalam rangka mengurangi jumlah imigran tanpa dokumen sebagai upaya menjaga keamanan wilayah Amerika Serikat dan membuat sebuah sistem kebijakan imigrasi untuk melindungi kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam negeri (The White House, 2019). National Foundation for American Policy, dalam wawancaranya dengan Forbes justru mengatakan bahwa pembatasan migrasi legal dapat berujung pada hambatan pertumbuhan angkatan kerja tahunan, yang mana ia adalah komponen kunci dari pertumbuhan ekonomi negara.

Retorika wij zetten Nederlanders op 1 (kami mengutamakan warga negara Belanda) berhasil membawa Wilders beserta partainya memenangkan pemilihan umum Belanda tahun ini. Namun, perundingan koalisi masih harus dilakukan untuk PVV dapat menjalankan pemerintahannya. Pada posisi ini Wilders dan partainya perlu pintar-pintar meramu orientasi kebijakan dalam upaya meraih mosi kepercayaan dari mitra koalisinya. Dalam kata lain, PVV mungkin perlu meninggalkan seluruh agenda kebijakan yang esktrem dan radikal.

Reference

NL Times. (2023). “PVV wins election with 37 seats in parliament; Got more votes than VVD did in 2021”. NL Times. https://nltimes.nl/2023/11/23/pvv-wins-election-37-seats-parliament-got-votes-vvd-2021, diakses 28 November 2023.

The Pie News. (2023). “Internationalisation in the Netherlands: an uncertain, volatile landscape”. The Pie News. https://thepienews.com/the-view-from/internationalisation-netherlands-uncertain-volatile-landscape/ diakses 2 Desember 2023.

BBC News Indonesia. (2023). “Sejarah keluarga Geert Wilders, politisi anti-Islam keturunan Indonesia — Dideportasi dari Hindia Belanda, didiskriminasi di Belanda”. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv2zrvng191o, diakses 28 November 2023.

Nisa’, Siti Faizatun , Aji Kusuma Dwi Yoga, Ronal Ridhoi. (2021). Terpinggirkan di Tanah Kelahiran: Potret Kelompok Indo di Hindia Belanda Abad Ke-19–20. Vol 1, No 2 (2021). doi: http://dx.doi.org/10.17977/um081v1i22021p204-212

The Pie News. (2023). “Internationalisation in the Netherlands: an uncertain, volatile landscape”. The Pie News. https://thepienews.com/the-view-from/internationalisation-netherlands-uncertain-volatile-landscape/

Anditya, Naomi Resti. (2017). “Populisme Sayap Kanan di Negara-Negara Demokratis: Kembalinya Yang-Politis”. ISS Brief Issued 06. https://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/issue06-2017/, diakses 29 November 2023.

Betz, Hans-Georg and Carol Johnson. 2004. “Against the current — stemming the tide: The nostalgic ideology of the contemporary radical populist right.” Journal of Political Ideologies 9(3):311–327.

Golder, Matt. (2016). “Far Right Parties in Europe.” Annual Review of Political Science. 19:477–497. doi: 10.1163/25888072-bja10001

Missier, Clyde. (2022). The Making of the Licitness of Right-Wing Rhetoric: A Case Study of Digital Media in the Netherlands. SAGE Open. April-June 2022. 1–18. Doi: 10.1177/21582440221099527.

Mudde, Cas. (2007). Populist Radical Right Parties. Cambridge: Cambridge University Press.

Mudde, C. & Kaltwasser, C. R. (2017). Populism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/actrade/9780190234874.001.0001.

Rensmann, Lars. (2003) “The new politics of prejudice: comparative perspec- tives on extreme right parties in European democracies”, German Politics and Society 21(4): 93–123.

AIVD. (2020). “AIVD Jaarverslag 2019”. Aivd.nl.com

BBC News. (2023). “Dutch election: Anti-Islam populist Geert Wilders wins dramatic victory”. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-europe-67504272, diakses 28 November 2023.

Canovan, M. (1999). Trust the People! Populism and the Two Faces of Democracy. Political Studies, 47(1), 2–16. https://doi.org/10.1111/1467-9248.00184

Hikmawan, Rizky. (2017). “Kebangkitan Politik Kanan-Jauh dan Dampaknya Bagi Multikulturalisme di Eropa”. Vol. 2 №1 (2017): Dauliyah (Journal of Islamic and International Affairs). doi: https://doi.org/10.21111/dauliyah.v2i1.808

Statistics Netherlands. (2023). “How many asylum seekers enter the Netherlands?”. https://www.cbs.nl/en-gb/dossier/asylum-migration-and-integration/how-many-asylum-seekers-enter-the-netherlands-#:~:text=In%20October%202023%2C%20altogether%204%2C985,entered%20the%20country%20in%202022, diakses 28 November 2023.

KBRI Den Haag. (2021). Diaspora Indonesia di Belanda Semangat “Bangun Negeri via Investasi”. https://kemlu.go.id/thehague/id/news/15033/diaspora-indonesia-di-belanda-semangat-bangun-negeri-via-investasi

PVV. (2023). “PVV Verkiezingsprogramma 2023”, https://www.pvv.nl/images/2023/PVV-Verkiezingsprogramma-2023.pdf, diakses 29 November 2023.

Anderson, Stuart. (2020). “A Review Of Trump Immigration Policy”. Forbes. https://www.forbes.com/sites/stuartanderson/2020/08/26/fact-check-and-review-of-trump-immigration-policy/?sh=4a28120f56c0, diakses 29 November 2023.

Kesic, Josip & Duyvendak, Jan. (2022). “The Return of the Native. Can Liberalism Safeguard Us Against Nativism?”. Doi: 10.1093/oso/9780197663035.001.0001.

--

--