Serba Serbi Pemilu di Luar Negeri
Oleh: Departemen Kajian dan Gerakan Strategis PPI Belanda
Pemilihan Umum (Pemilu) menjadi agenda rutin yang dilaksanakan untuk melakukan evaluasi atas kepemimpinan sebelumnya serta medium untuk menentukan arah pembangunan nasional ke depan. Tak hanya WNI yang berada di Indonesia, Diaspora sebagai WNI yang berada di luar negeri juga memiliki hak memilih dan andil penting dalam Pemilu 2024. Pada Pemilu 2024, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Luar Negeri yang telah direkap oleh KPU di 128 negara perwakilan yakni sebanyak 1.750.474 pemilih yang terdiri dari jumlah pemilih laki-laki sebanyak 751.260 orang dan perempuan sebanyak 999.214 orang (Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, 2023). Sedangkan jumlah pemilih Diaspora di Belanda diperkirakan mencapai 13.161 orang berdasarkan data dari website Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) Den Haag. Jumlah pemilih tersebut bisa bertambah, karena selain DPT Luar Negeri, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Sistem Informasi Data Pemilih, terdapat beberapa tipe pemilih luar negeri yakni:
- Daftar Pemilihan Tambahan Luar Negeri (DPTbLN): data pemilih yang telah terdaftar dalam DPTLN di suatu TPSLN yang karena keadaan tertentu pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPSLN tempat yang bersangkutan terdaftar
- Daftar Pemilih Khusus Luar Negeri yang selanjutnya disingkat DPKLN adalah data pemilih yang menggunakan Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau Paspor yang menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.
Lalu, bagaimana sistem pelaksanaan Pemilu Indonesia di Luar Negeri?
Sistem Pelaksanaan Pemilu Indonesia di Luar Negeri
Indonesia mulai mengakui pemungutan suara eksternal pada tahun 1953 dan merupakan salah satu dari sedikit negara yang sejak awal mengadopsi pemungutan suara dari luar negeri bersama dengan beberapa negara maju seperti Inggris (1918), Norwegia (1921), Amerika Serikat (1942), Kanada (1945), Australia (1949), Jerman (1949), Islandia (1949), Finlandia (1958), dan Swedia (1968). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara berkembang pertama yang mengakui pemungutan suara eksternal (Pujiatin, 2021).
Pada sistem Pemilu saat ini, Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bekerja di bawah pengawasan KPU dengan bantuan Kementerian Luar Negeri. Ketika Orde Baru berakhir dan sebelum era reformasi dimulai, PPLN terdiri dari perwakilan partai di luar negeri yang bekerja di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri namun dipilih secara independen oleh Presiden (Raganata, 2019). PPLN sendiri bertanggung jawab atas registrasi pemilih di luar negeri yang dapat dilakukan secara langsung, melalui email, atau melalui pos.
Sementara itu pada tahun 1999, pemilih di luar negeri hanya memiliki hak untuk memilih anggota legislatif dari Provinsi DKI Jakarta tanpa memiliki hak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Perubahan kebijakan dilakukan pada 2004 yang mana pemilih luar negeri memiliki hak untuk memilih Presiden serta Wakil Presiden juga. Untuk kursi anggota legislatif, pemilih yang mendaftar di luar negeri tidak dihitung dalam penghitungan jumlah penduduk untuk menentukan berapa banyak kursi DPR yang dialokasikan (Raganata, 2019).
Sejak Pemilu tahun 2004, Indonesia menggunakan sistem perwakilan proporsional terbuka. Sistem tersebut memperbolehkan pemilih untuk memilih calon anggota legislatif (caleg). Selain itu, caleg dari partai dengan nomor urut paling bawah pun memiliki peluang untuk terpilih jika mereka menerima jumlah suara yang paling banyak dibandingkan dengan caleg lainnya dari partai yang sama atau dari partai lain di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Namun, untuk pemilih luar negeri, walaupun yang bersangkutan memiliki domisili di luar dapil DKI Jakarta, tetapi mereka harus tetap memilih caleg yang berada dalam Dapil DKI Jakarta II. Pertimbangan sederhananya adalah dikarenakan pemilih yang berada di luar negeri berada di bawah kewenangan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang memiliki kantor di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, sehingga suara mereka diarahkan untuk memilih calon legislatif dari Dapil DKI Jakarta II (Siregar, 2022).
Hal ini merupakan salah satu penyebab rendahnya antusiasme pemilih luar negeri dalam pemilihan anggota legislatif karena wakil rakyat yang kurang representatif (Basyari, 2023). Pemilih dari luar negeri yang mendapatkan surat suara pemilihan anggota legislatif (pileg) untuk daerah pemilihan DKI Jakarta II sering menganggap para wakil rakyat terpilih tidak menyuarakan aspirasi WNI di luar negeri. Masalah di Jakarta dan luar negeri sangat berbeda, dan bahkan anggota DPR sangat jarang menyerap aspirasi dan memperhatikan kebutuhan WNI di luar negeri. Sebagai contoh, menurut pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang juga mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Pati Djalal, hampir tidak ada anggota DPR di Dapil DKI Jakarta II yang membahas masalah dwi-kewarganegaraan yang menjadi perhatian sebagian besar masyarakat diaspora Indonesia serta belum adanya lembaga atau badan pemerintah di Indonesia yang khusus menangani atau memperhatikan kesejahteraan masyarakat diaspora Indonesia (Siregar, 2022). Sementara saat ini hanya ada Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang bertanggung jawab untuk pekerja migran Indonesia. Padahal, Diaspora bukan hanya pekerja migran, tetapi juga Diaspora yang memiliki berbagai latar belakang berbeda. Di sisi lain, pemberian hak pilih bagi WNI di luar negeri untuk pemilihan anggota legislatif dari dapil provinsi mereka dianggap tidak realistis, karena akan membutuhkan waktu yang lama bagi PPLN di berbagai negara untuk mengidentifikasi provinsi asal masing-masing WNI, dan adanya kemungkinan WNI yang tidak mendapatkan surat suara karena keterlambatan pendataan.
Pentingnya Partisipasi Diaspora dalam Pemilu
Partisipasi pemilih luar negeri masih menjadi persoalan yang perlu diperhatikan. Pada Pemilu 2019, persentase pemilih luar negeri yang golput mencapai 57,46% (Ahdiat, 2023). Walaupun fakta tersebut terjadi, namun terdapat beberapa alasan yang menjadi dorongan mengapa Pemilu penting diikuti oleh Diaspora.
Proses artikulasi pergantian kepemimpinan nasional dalam Pemilu merupakan bagian dari strategi perencanaan pembangunan nasional. Para pimpinan yang terpilih di Pemilu nanti memiliki kewenangan yang krusial dalam siklus pembuatan kebijakan (policy cycle) yang menentukan hajat hidup orang banyak, termasuk para diaspora Indonesia di berbagai negara.
Presiden-Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu merupakan bagian cabang kekuasaan eksekutif yang mana memiliki wewenang untuk memformulasi kabinet yang terdiri dari Menteri serta Kepala Lembaga Tinggi Negara. Kabinet tersebut akan menerjemahkan visi misi dari Presiden-Wakil Presiden yang sudah dikampanyekan selama 5 tahun ke depan (Pramusinto, 2016). Oleh karena itu, pertimbangan visi misi dalam memilih Presiden-Wakil Presiden memiliki poin krusial dalam pembangunan nasional terutama ketika menurunkan visi misi ke dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta pemilihan Menteri dan Kepala Lembaga Tinggi Negara berdasarkan pertimbangan kesesuaian dengan bidang keahliannya.
Selanjutnya, Presiden berperan untuk menandatangani serta memformalisasi undang-undang yang telah lolos dalam pembahasan di DPR. Di sisi lain, pemerintah yang dikepalai oleh Presiden-Wakil Presiden juga dapat mengusulkan suatu rancangan Undang-Undang (UU) serta APBN kepada DPR. Meskipun rancangan UU yang diusulkan oleh pemerintah memerlukan persetujuan dari DPR, tetapi peraturan dari UU yang berbentuk Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Menteri tidak memerlukan persetujuan dari legislatif (Blomkamp et al., 2018). Peraturan turunan tersebut penting karena merupakan peraturan teknis untuk pelaksanaan UU terkait. Oleh karenanya, penting untuk memastikan bahwa Presiden-Wakil Presiden terpilih nanti berkomitmen atau memiliki political will untuk menjamin partisipasi bermakna dalam setiap pembuatan peraturan turunan dari suatu UU serta memastikan prioritas alokasi APBN terhadap sektor-sektor penting bagi masyarakat.
Sementara itu Anggota Legislatif khususnya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terpilih dalam Pemilu memiliki peran penting dalam policy making melalui wewenang dalam membentuk dan melakukan amandemen suatu UU hingga formulasi anggaran dan implementasinya. Terkait usulan suatu rancangan UU, biasanya diusulkan oleh DPR atau kementerian terkait. Setiap rancangan UU diwajibkan untuk disertai dengan partisipasi yang bermakna serta naskah akademis yang berisi penjelasan rinci tentang hal-hal yang harus ditangani dalam rancangan UU tersebut, termasuk rincian klausulnya. Namun, sayangnya pada praktiknya masih banyak rancangan UU yang tidak mengikuti kaidah pembentukan naskah akademis yang baik sebagai basis pembentukan suatu UU yang berkualitas serta minimnya partisipasi bermakna (Datta et al., 2018). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa anggota DPR terpilih nanti memiliki komitmen yang kuat untuk menjamin partisipasi bermakna serta naskah akademis yang berkualitas dalam proses pembentukan suatu UU.
Selain karena Pemilu merupakan instrumen bagi diaspora dalam partisipasi pembangunan nasional, sebagai warga negara Indonesia di luar negeri, para diaspora tentunya memiliki aspirasi masing-masing dengan harapan pemerintah Indonesia dapat memberikan dukungan kepada mereka dalam berbagai aspek di negaranya masing-masing, misalnya program dukungan untuk mengembangkan usaha di luar negeri, program pengembangan skill dan jaringan atau program pendidikan serupa. Aspirasi-aspirasi seperti ini yang diharapkan akan diserap oleh wakil di DPR yang dipilih oleh para WNI di luar negeri maupun Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Kepentingan dan aspirasi seperti ini tentu hanya dapat tersalurkan apabila orang-orang yang dipilih nantinya adalah orang yang tepat. Maka, untuk memastikan hal tersebut, sangat penting bagi setiap WNI di luar negeri untuk tetap memberikan suaranya di Pemilu yang akan datang.
Sebagian besar dari para WNI di luar negeri merupakan pekerja migran, yang di banyak tempat hak-hak mereka sangat rawan untuk dilanggar oleh pemberi kerja. Berdasarkan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), jumlah pekerja migran Indonesia pada tahun November 2023 mencapai 19.501 orang (DataIndonesia.id, 2023). Pemerintah sudah selayaknya memberikan advokasi dan menjamin perlindungan hukum untuk pekerja-pekerja migran tersebut, mengingat mereka juga masih merupakan WNI. Maka dari itu, WNI di luar negeri harus ikut memilih untuk memastikan bahwa wakil rakyat yang dipilih adalah mereka yang akan bersungguh-sungguh memperjuangkan isu perlindungan pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Selain itu, isu dwikewarganegaraan juga isu yang dekat dengan para diaspora. Bagi mereka yang sudah lama menetap di negara lain, namun tetap cinta tanah air, dwikewarganegaraan merupakan salah satu aspirasi yang terus didengungkan. Mengingat peraturan perundang-undangan yang ada saat ini tidak memungkinkan adanya kewarganegaraan ganda (kecuali untuk anak-anak yang berusia 18 tahun ke bawah), aspirasi tentang perubahan aturan ini juga hanya dapat diakomodir apabila para diaspora memilih wakil di pemerintahan (Presiden-Wakil Presiden) maupun Anggota Legislatif (DPR) yang memiliki perhatian pada isu dwikewarganegaraan ini.
Referensi
Blomkamp, E. et al. (2018) Understanding Policy Making in Indonesia: in Search of a Policy Cycle. Available at: https://www.ksi-indonesia.org/file_upload/Understanding-Policy-Making-in-Indonesia-in-Searc-06Feb2018141656.pdf.
Datta, A. et al. (2018) Policy, Change and Paradox in Indonesia: Implications for the Use of Knowledge. Jakarta. Available at: https://www.odi.org/publications/11049-policy-change-and-paradox-indonesia-im…
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (2023) ‘DPT Pemilu 2024 Dalam Negeri dan Luar Negeri, 204,8 Juta Pemilih’, 2 July. Available at: https://www.kpu.go.id/berita/baca/11702/dpt-pemilu-2024-nasional-2048-juta-pemilih.
Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Sistem Informasi Data Pemilih
Pramusinto, A. (2016) ‘Weak central authority and fragmented bureaucracy: a study of policy implementation in Indonesia’, in J.S.T. Quah (ed.) The Role of the Public Bureaucracy in Policy Implementation in Five ASEAN Countries. 1st edn. Cambridge University Press, pp. 98–170. Available at: https://doi.org/10.1017/CBO9781316340653.004.
Pujiatin, S.E. (2021) ‘Indonesian Voting from Abroad: Highly Educated Citizen Participation in the 2019 Election at Tokyo Polling Station’, The Journal of Indonesia Sustainable Development Planning, 2(1), pp. 1–14. Available at: https://doi.org/10.46456/jisdep.v2i1.107.
Raganata, G. (2019) ‘Challenges and Innovation of Indonesia Overseas Election in Tokyo’, Jurnal Politik, 5(1), p. 119. Available at: https://doi.org/10.7454/jp.v5i1.255.
Siregar, T.A. (2022) ‘MASALAH SUARA PEMILIH LUAR NEGERI UNTUK DAPIL JAKARTA II: TINJAUAN KEADILAN ELEKTORAL’, Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia, 4(1), pp. 49–73. Available at: https://doi.org/10.46874/tkp.v4i1.448.