Bagaimana sih Caranya Membuat Kota Saya Menjadi Smart City?
Pertanyaan ini seringkali saya dapatkan saat ada kunjungan pemerintah daerah lain saat datang ke Jakarta Smart City. Tentunya dengan berbagai macam versi kalimat pertanyaan.
Banyak orang jika ditanyakan seperti ini, akan mulai bercerita tentang enam indikator kota cerdas: smart mobility, smart economy, smart people, smart environment, smart living dan smart governance (kadang disebut juga smart government, walaupun dua hal ini berbeda). Tapi kalau saya yang ditanyakan, saya akan selalu mulai jawaban dengan kalimat:
Smart city bukan tentang teknologi.
Tenang, begini penjelasan saya.
Mulai banyak kota di Indonesia mencanangkan program kota cerdas (smart city). Tapi jika dilihat lebih seksama, implementasi program kota cerdas yang ada saat ini terkesan sangat terpusat pada penggunaan teknologi.
Bukan hal yang salah, tapi seringkali implementasinya terlalu sentral pada penggunaan teknologi, alias belanja barang/jasa teknologi, tanpa benar-benar memikirkan nilai yang didapat dari barang/jasa yang akan dibeli. Jadi seolah-olah pembelian barang atau jasa teknologi semacam tidak memiliki dasar yang jelas. Sekonyong-sekonyong ingin beli agar terlihat smart. Mulai ada tendensi bahwa smart city hanya sebatas jargon dan justifikasi untuk membeli barang/jasa teknologi.
Misalkan, implementasi program smart city dengan cara:
- pembuatan command center
- pembelian CCTV
- pembuatan aplikasi ini itu, atau mengejar jumlah aplikasi
- dan lainnya.
Tiga hal ini adalah yang biasanya dilakukan mengatasnamakan program smart city. Sayangnya, tidak semua kota atau daerah memiliki alasan yang tepat dan rencana yang berkesinambungan terhadap teknologi yang mau dibeli.
Ada prinsip yang terlupakan (atau sengaja dilupakan?):
Teknologi hanyalah hal yang memungkinkan suatu proses berjalan lebih cepat, lebih efisien, lebih murah, lebih mudah, dan lebih-lebih yang baik lainnya. Teknologi bukanlah tujuan.
Dari hasil observasi saya, banyak yang merasa teknologi adalah tujuan, adalah solusi dari semua permasalahan yang ada di suatu daerah.
Bukan. Bukan itu.
Teknologi sebenarnya hanya satu dari tiga aspek yang perlu kita perhatikan jika ingin mencari solusi yang menyeluruh dalam suatu daerah. Tiga aspek itu adalah people, process dan technology.
Mari ambil contoh kasus penanganan aduan masyarakat di Jakarta. Saat ini Pemprov DKI Jakarta menerima aduan masyarakat, salah satunya melalui aplikasi Qlue. Di sisi internal Pemprov, Jakarta Smart City menyiapkan sistem dispatch petugas untuk koordinasi dan pengelolaan penanganan aduan masyarakat. Di bulan Desember 2016, rata-rata aduan yang masuk di angka 1.000 laporan per hari, di mana dari 1.000 laporan per hari ini, 84% laporan dapat diselesaikan oleh petugas dalam waktu rata-rata 9 jam saja.
Data ini menunjukkan, bahwa setiap laporan yang diadukan warga akan selesai ditindaklanjuti oleh Pemprov DKI Jakarta dalam rata-rata 9 jam kemudian. Malah rekor tindak lanjut tercepat dalam waktu 7 menit saja!
Lalu pertanyaannya, apa yang membuat proses penanganan aduan masyarakat ini dapat ditangani dengan cepat? Apakah karena aplikasi Qlue atau aplikasi internal Pemprov yang keren?
Tidak.
Jawabannya bukan karena aplikasinya saja. Sistem dan aplikasi yang ada ini hanya mempercepat dari yang rata-rata aduan selesai dalam waktu sekian ratus jam, menjadi hanya 9 jam saja.
Yang menjadikan penanganan aduan masyarakat di Jakarta bisa selesai sebegitu cepat adalah kombinasi proses, SDM, dan teknologi yang disiapkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Begini penjelasannya.
Proses
Proses bisa dibilang salah satu hal yang krusial dalam peningkatan kualitas penanganan aduan masyarakat ini. Karena pemerintahan sifatnya top-down, alias komandonya sangat kuat dari atas ke bawah, maka regulasi pemerintahan akan menjadi aturan main yang bisa menjaga kualitas layanan pemerintah. Untuk mendukung urusan penanganan aduan ini saja, ada beberapa peraturan baru yang dibuat. Dengan poin-point penting sebagai berikut:
- Pengenalan konsep Lurah sebagai estate manager, di mana Lurah diperkuat menjadi seperti area manager kalau di suatu perusahaan. Lurah patut tahu kondisi wilayahnya dengan baik.
- Penanganan aduan dijadikan KPI (key performance index), alias tolok ukur performa kinerja petugas dan pejabat. Mulai dari Lurah, Camat, Walikota, bahkan Kepala Dinas. Jika aduan masyarakat tidak digubris, bisa-bisa pejabat tersebut langsung diganti dengan yang lain.
- KPI ini terkait dengan sistem tunjangan bulanan bernama tunjangan kinerja daerah (TKD). Jadi skema reward and punishment-nya jelas, terkait sampai ke jumlah rupiah yang dibawa pulang tiap bulan. Jika aduan masyarakat tidak diselesaikan oleh Kepala Dinas, maka menurut regulasi, 10% tunjangan bulanannya akan kena potongan.
- Penghilangan birokrasi yang tidak efisien. Dulu koordinasi penanganan aduan masih perlu surat resmi, dan lewat birokrasi ini itu. Saat ini Lurah bisa berkoordinasi dengan Dinas terkait melalui aplikasi buatan Jakarta Smart City, dan yang dapat tugas langsung dapat notifikasi di telepon genggamnya. Bayangkan sistem dispatching seperti Go-Jek. Lurah dapat menugaskan petugas terdekat dengan load kerja yang cocok, sehingga dapat memonitor dengan baik kinerja timnya.
Jadi dari sisi proses, dalam hal ini regulasi atau aturan main penanganan aduan, sudah jelas bahwa menangani dan melayani masyarakat menjadi perkara penting yang merepresentasikan kinerja pejabat.
Sumber Daya Manusia
Pasukan orange, biru, kuning, hijau, merah, ungu, hitam, dan lainnya yang warna-warni seperti Power Rangers siap menangani aduan-aduan masyarakat yang masuk. Saat ini pasukan orange, atau tim PPSU tersebar di seluruh kelurahan, di mana tiap kelurahan diperkuat oleh minimal 70 orang yang direkrut oleh Pemprov DKI Jakarta. Selain itu petugas di wilayah Jakarta diberikan pelatihan dan sosialisasi agar dapat lebih memahami konsep dan pendekatan yang baru ini.
Setelah dari sisi proses yang disiapkan, hal yang tak kalah penting adalah sumber daya manusia yang ada di Pemprov, dan termasuk merekrut tenaga-tenaga baru untuk menyesuaikan kebutuhan pasar.
Perlu diingat, bahwa pendekatan yang baru ini bukan hanya sekadar teknologi yang baru. Tapi bisa jadi pendekatan baru ini men-disrupt proses bisnis pemerintahan yang sudah berjalan sebelumnya selama bertahun-tehun. Oleh karena itu adalah penting bahwa kita melihat manusia sebagai stakeholder terpenting. Kita harus membuat sistem dan proses bisnis yang berorientasi pengguna (user oriented design), agar pengguna sistem dan proses bisnis yang baru dapat memiliki pengalaman yang baik.
Karena jika suatu sistem baru berjalan dan tidak ada yang mau menggunakan, sama aja boong kan?
Teknologi
Nah, di sini baru teknologi masuk sebagai enabler. Analoginya begini, jika kita mau berpindah dari titik A ke titik B, teknologi apa yang akan kita gunakan?
Kita dapat memilih menggunakan teknologi skateboard, sepeda, sepeda motor, pesawat terbang, hyperloop, jetpack, atau teknologi lainnya.
Dari analogi ini jelas kita ketahui bahwa tujuannya adalah bagaimana kita dapat mencapai titik B dengan lebih efisien. Teknologi yang digunakan, bukan menjadi tujuan, tapi hanya menjadi alat untuk membuat kita lebih efisien sampai ke tujuan: titik B.
Lalu teknologi apa yang ingin digunakan untuk merealisasikan kota yang cerdas?
Hal ini kembali ke pertanyaan awal, buat apa ada smart city? Apa tujuan program smart city dalam sebuah kota?
Sebelum kita tahu apa tujuan dan dasar dari program smart city yang mau diimplementasi, apakah kita masih mulai dengan cara membeli CCTV atau membuat command center dulu?