Melawan Ego Pulang Lebaran di Tengah Pandemi

Kiranya, saya harus jadi bagian dari program penanganan pandemi ini, maka dari itu saya putuskan tidak pulang lebaran ini.

Saya Hudzaifah
Prosa Story
3 min readJun 11, 2020

--

sumber foto: freepik.com | Ilustrasi seseorang sedang menunggu di stasiun kereta, hendak pulang kampung.

Benar memang banyak di luar sana masyarakat yang tetap memilih mudik, dengan segala alasan yang melatarbelakangi mereka. Jelas, ini tentu ikut mempengaruhi saya secara psikologis. Komitmen yang selama ini diperjuangkan mulai goyang. Mendekati lebaran, keinginan untuk pulang itu malah semakin hari semakin kuat. Belum lagi mendengar kabar beberapa kawan yang berhasil kembali ke kampungnya, jelas makin menjadi-jadi lah perasaan itu.

Lalu saya mulai merundingkan ego ini dengan komitmen saya sebelumnya, mencoba mencari dalil pembenaran agar ego ingin pulang ini bisa diredakan. Lewat bertanya pada beberapa orang dan meminta pandangan dari keluarga sendiri, saya akhirnya mendapatkan keyakinan kembali untuk tidak pulang lebaran ini.

Keyakinan tadi muncul disebabkan beberapa pertimbangan. Pertama, adanya sejumlah titik cek poin yang akan saya lalui jika memutuskan pulang. Kita juga tahu kalau di titik cek poin ini akan dilakukan pemeriksaan berkas-berkas jika seseorang ingin bepergian ke kota lain. Nah, berkas-berkas ini lah yang menentukan.

Kalau mengacu pada aturan pemerintah, kita bisa saja bepergian ke luar kota asal dalam dua keadaan: pekerjaan dan/atau ada kerabat yang meninggal/sakit keras, yang tentunya harus disertakan surat keterangan atas keadaan itu. Sebab menurut hemat saya, saya masih mungkin bisa (ingat masih mungkin ya) meminta surat keterangan dari perusahaan terkait perjalanan dinas, tapi dengan catatan pihak perusahaan mau menerbitkan itu. Tapi saya berpikir lagi, mana mungkin bisa perusahaan mengelurkan surat keterangan itu sedangkan tidak ada pekerjaan dinas yang sedang atau akan saya lakukan di kota tujuan. Tidak-tidak, saya kira ini mustahil.

Bagaimana dengan keadaan yang kedua? Ini lagi lebih mustahil. Siapa juga orang yang mengharapkan anggota keluarganya meninggal atau sakit keras. Meski katanya sih surat jenis ini ada juga dijual di toko daring, tapi tetap saya tidak berani, takut-takut malah kejadian beneran nantinya.

Kedua, mengurus surat keterangan bebas Covid-19 ternyata tidak murah. Saya harus menyiapkan dana antara 400–600 ribu untuk bisa mengikuti rapid test. Wah, semakin urung ego ingin pulang saya dibuatnya. Lebih baik uang segitu dikirim saja ke rumah atau dimanfaatkan hal lain ketimbang hanya untuk surat keterangan yang umurnya cuma 2–3 hari.

Ketiga, kenyataan bahwa shuttle atau bus langsung ke arah kota tujuan saya semua tidak ada yang beroperasi, rasanya semakin menguatkan keyakinan bahwa lebaran tahun ini memang tidak usah pulang dulu. Kalaupun ada angkutan, tarifnya kayak pemerasan, dengan dalih jaminan sampai tujuan. Gila kata saya. Terlalu berisiko, jika apes tidak lolos cek poin, apa manajemen angkutan itu mau memulangkan uang tadi. Rasanya mereka akan lepas tanggung jawab karena siapa juga yang mau rugi.

Keempat, mungkin saja saya bisa lolos sampai tujuan, tapi siapa yang jamin kalau selama perjalanan saya tidak terpapar virus? Lantas saya sampai rumah dan menyebarkan virus itu ke anggota keluarga, malah runyam urusannya. Keluarga yang tadinya sehat wal afiat, hanya karena ego ingin pulang, malah bikin mereka tertular virus. Pulang ke rumah bukan jadi bahagia, malah jadi petaka.

sumber foto: freepik.com | Ilustrasi stasiun kereta

Alasan-alasan di atas telah berhasil mengalahkan ego saya untuk pulang pada akhirnya. Kalau saya pikir-pikir lagi, keputusan untuk tidak pulang memberi beberapa keuntungan juga. Misal, tidak perlu mengeluarkan dana transportasi. Dana ini bisa saya simpan untuk menyambung hidup di masa pandemi ini yang entah kapan akan berakhir. Atau bisa juga di transfer untuk kebutuhan orang tua atau keluarga di rumah jelang Lebaran atau hari-hari esoknya.

Namun yang terpenting dari itu semua, dengan keputusan tidak pulang, berarti saya telah menyelamatkan keluarga yang saya sayangi. Tidak hanya mereka, saya juga mungkin menyelamatkan tetangga dan orang lain di sekitar lingkungan rumah dari virus ini.

Ya begitulah, tetap di sini lebih baik daripada harus mengorbankan banyak hal demi memenuhi keinginan pulang ke rumah. Toh pada hakikatnya mudik bukan keharusan. Gagal mudik juga bukan bencana. Kalau memang tujuannya untuk lepas kangen, saya kira saat ini bisa dilakukan dengan media dan cara yang lain.

--

--