Alejandro Zambra Tidak Selesai Membaca Madame Bovary

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
Published in
3 min readOct 9, 2018

diterjemahkan dari esai Alejandro Zambra, “Lecturas Obligatorias” yang berarti “Bacaan Wajib”

Illustration by Alvaro Tapia Hidalgo; Reference: Alma Rodríguez Ayala / Agencia EL UNIVERSAL / AP

Aku masih ingat sore ketika guru bahasa Spanyol berbalik ke papan tulis dan menulis kata per kata, Jumat, depan, Madame, Bovary, Gustave, Flaubert, Prancis. Pada setiap kata, kesunyian bertumbuh, dan akhirnya hanya terdengar derit sedih dari kapur. Sebelum saat itu, kami sudah pernah membaca novel panjang, hampir sepanjang Madame Bovary, tapi kali ini, tenggat waktunya tidak masuk akal: hanya seminggu untuk menghadapi novel setebal empat ratus halaman. Kami mulai terbiasa, sebenarnya, dengan kejutan itu: kami baru saja masuk Institusi Nasional, kami berumur dua belas atau tiga belas tahun, dan kami sudah tahu kalau seterusnya semua buku akan tebal.

Begitulah mereka mengajari kami membaca: dengan menjejalkannya. Aku masih berpikir para guru tidak ingin kami bergairah pada buku, malahan menghalangi kami agar menjauh selamanya dari buku. Mereka tidak menghabiskan air liurnya untuk berbicara tentang kesenangan membaca, mungkin karena mereka telah tehilangan kesenangan itu atau tak pernah benar-benar mengalaminnya: seharusnya mereka menjadi guru yang baik, tapi pada saat itu, menjadi baik tidak lebih dari mengikuti kurikulum.

Seperti dalam puisi Nicanor Parra, “Para guru membuat kita gila dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan.” Tetapi segera saja kami mengetahui triknya atau kami punya trik sendiri. Di semua tes, misalnya, ada soal tentang identifikasi karakter, berisi murni karakter sampingan: semakin sampingan karakternya, semakin besar kemungkinan mereka ditanyakan kepada kami, jadi kami menghafal nama-nama dengan pasrah, sekalipun tumbuh juga kegembiraan karena nilai akan aman.

Ada semacam keindahan pada gestur kami, karena begitulah kami saat itu, karakter-karakter sampingan, ratusan anak-anak yang malang-melintang di kota sambil kesulitan menyeimbangkan ransel denim. Para tetangga akan mentaksir beratnya dan selalu membuat lelucon yang sama: sepertinya kau membawa batu dalam ranselmu. Pusat Santiago menyambut kami dengan gas air mata, tapi kami bukan membawa batu, melainkan Baldor atau Ville atau Flaubert — masing-masing setebal batu bata.

Madame Bovary adalah satu dari sedikit novel yang ada di rumahku, jadi malam itu juga aku mulai membacanya, mengikuti cara kepepet yang diajarkan ayahku: baca dua halaman pertama dan lompat ke dua halaman terakhir, dan baru kemudian, setelah tahu awal dan akhir novel, lanjut membaca secara runtut. Kalau kau tidak bisa menyelesaikannya, setidaknya kau tahu siapa pembunuhnya, kata ayahku, yang rupanya hanya membaca buku-buku yang ada pembunuhannya.

Nyatanya, tidak banyak peningkatan dalam pembacaanku. Aku suka membaca, tapi prosa Flaubert dengan mudahnya membuatku mengantuk. Untungnya kutemukan, sehari sebelum ujian, salinan film adaptasinya di toko video Maipú. Ibuku mencoba melarangku menontonnya, dia pikir itu tidak cocok untuk usiaku, dan aku juga berpikir — atau lebih tepatnya mengharapkan — begitu. Madame Bovary terdengar seperi film porno; semua yang Prancis terdengar seperti porno bagiku. Film itu, dalam hal porno, mengecewakan, tapi aku menontonnya dua kali dan mengisi lembar-lembar kertas jawaban bolak-balik. Kendati begitu, aku tetap dapat nilai merah sehingga dalam waktu yang lama, aku mengaitkan Madame Bovary dengan nilai merah itu beserta nama sutradara film — yang guruku tuliskan dengan tanda seru di samping nilai burukku: Vincente Minnelli!

Tidak pernah lagi aku mempercayai versi adaptasi film, dan sejak itu, aku percaya film berbohong dan sastra tidak (tapi aku tidak punya cara untuk memembuktikan itu, tentu saja). Aku membaca novel Flaubert lama setelah itu dan cenderung membacanya kembali, kurang lebih pada puncak pertama flu menyerang, setiap tahun. Tak ada yang misterius pada perubahan seleraku; hal semacam itu terjadi dalam kehidupan pembaca mana pun. Tetapi, sebuah kejaiban kami selamat dari para pengajar itu, yang melakukan segala kemungkinan untuk menunjukkan bahwa membaca adalah hal paling membosankan di dunia.

Diterjemahkan dari esai berbahasa Spanyol, berjudul “Lecturas Obligatorias” yang termuat dalam kumpulan esai No Leer karya Alejandro Zambra. Tentu dengan sesekali mengintip versi berbahasa inggrisnya di The Paris Review.

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.