Apakah Pencarian Menuju Jalan yang Benar Mengarah Pada Tindak Kejahatan?

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
Published in
2 min readNov 18, 2017

Spiring, Summer, Autumn, Winter… and Spring

Spiring, Summer, Autumn, Winter… and Spring-nya Kim Ki-duk dimulai dengan seorang biksu bijak dan bocah laki-laki polos, muridnya. Beberapa tahun kemudian, seorang wanita muda datang untuk disembuhkan, dan kekacauan terjadi: wanita dan bocah itu — sekarang remaja — bersetubuh, dan anak lelaki itu mengikuti si wanita ke kota, meninggalkan sang biksu sendirian tinggal di atas sebuah rakit yang mengapung di atas danau pegunungan. Beberapa tahun kemudian, anak lelaki itu, sekarang seorang pria di awal usia 30an, kembali, dikejar oleh dua orang detektif. Pria itu telah membunuh si wanita karena cemburu, sehingga menyadari nubuat sang biksu tua, yang telah memperingatkan dirinya bahwa cinta untuk seorang wanita menuntun pada keterikatan, yang berakhir dalam pembunuhan objek keterikatn itu. Hal pertama yang mesti dilakukan di sini adalah menganggap siklus film lebih harafiah dari yang tampak: kenapa pria itu membunuh kekasihnya ketika wanita itu meninggalkannya demi pria lain? Kenapa cintanya amat posesif? Seorang pria biasa yang hidup sekular akan bisa menerimanya, betapapun menyakitnya hal itu bagi dirinya.

Jadi: bagaimana jika cara asuhan yang sangat Buddhislah yang membuatnya melakukan itu? Bagaimana jika wanita itu muncul hanya sebagai objek nafsu dan kepemilikan, yang akhirnya memprovokasi si pria untuk membunuhnya, sebagai pelepasan Buddhis. Jadi, seluruh siklus alami yang film ini sebarkan, termasuk pembunuhan, ada dalam semesta Buddhis.

Dalam Fenomenologi Spiritnya, Hegel menulis, kejahatan tinggal dalam pandangan yang mempersepsikan bahwa kejahatan mengelilingi dirinya sendiri. Apakah film Kim Ki-duk tidak menghadirkan gambaran sempurna tentang wawasan ini? Kejahatan bukan sekadar nafsu posesif laki-laki, kejahatan termasuk padangan biksu yang amat konservatif, yang mempersepsikan nafsu posesif sebagai kejahatan. Inilah yang, dalam filsafat, kita sebut refleksivitas: sudut pandang di mana kita mengutuk sebuah keadaan bisa menjadi bagian dari keadaan ini.

Catatan Penerjemah

Tulisan ini adalah salah satu bagian dari “I watch therefore I am: seven movies that teach us key philosophy lessons”. Belakangan saya menyukai tulisan Slavoj Zizek tentang film, karena sudut pandangnya sering membalikkan penafsiran saya pada film yang saya tonton. Saat menonton film ini contohnya, saya sama sekali tidak kepikiran untuk melihat pemberontakan si murid sebagai dampak dari ajaran konservatis sang biksu, sebagaimana yang coba ditawarkan Zizek. Kurang ajar memang, capres gagal satu ini.

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.