Bepergian dengan Buku

oleh Alejandro Zambra

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
7 min readAug 9, 2021

--

I.

Aku selalu membawa buku saat bepergian, sekalipun cuma perjalanan singkat. Saat mengepak barang, aku cenderung memilih buku dengan impulsif, tapi keputusanku tetap mengikuti logika tertentu. Sebagai contoh, aku cenderung ingin membawa dua atau tiga novel yang keberadaannya kurasa kubutuhkan. Ini absurd, juga romantis, tapi tak bisa disangkal: aku merasa lebih aman ditemani dua atau tiga novel yang sudah kubaca berulang-ulang dan selalu kubawa ke mana-mana. Aku bisa kelupaan membawa obat favoritku atau kain pembersih kacamata, tapi aku tidak pernah kelupaan membawa novel-novel itu. Aku merasa terancam bepergian tanpa mereka.

Aku juga membawa satu buku yang belum pernah kubaca, buku tebal yang membuatku enggan membacanya, tapi yang juga kupikir akan memikatku sekali aku sampai di halaman seratus, dan setelahnya tak akan bisa kuletakkan. Aku punya firasat bahwa aku akan melewatkan berbagai janji dan pesta, bahwa aku hanya akan melihat segelintir alun-alun dan monumen karena aku begitu terserap oleh buku itu, yang tadinya enggan kubaca namun kini menyerap perhatianku sepenuhnya. Tak perlu dikatakan, tentunya, bahwa ini tak pernah terjadi, dan aku pulang ke rumah tanpa sedikit pun melewati paragraf pertamanya, sebab sudah jadi semacam ritual sakral untuk tidak membacanya.

Aku sering membawa buku karya teman dalam perjalanan, nyaris selalu dalam cetakan kecil, ketikan satu setengah spasi, yang kubaca atau kulahap ke mana pun aku pergi dengan pesawat, berjongkok di bangku kelas duaku, tidak terlalu nyaman tapi terbungkus dalam kekaguman yang buku-buku itu cenderung bangkitkan dalam diriku. Sebab, sekalipun aku sendiri menulis buku, selalu saja aku takjub mendapati orang-orang menulis buku. Rasanya aneh membayangkan orang-orang suka bersusah payah mengumpulkan kata-kata, absen dari dunia untuk waktu yang lama.

Kalau dipikir-pikir, di pesawatlah beberapa bulan lalu aku membaca sepenggal karya temanku, Rodrigo Olavarría, di mana ia mengingat satu episode dari majalah tua Disneylandia yang bisa berlaku di sini: Huey, Dewey, dan Louie mengundang seorang keponakan–orang udik, menurut Rodrigo–berpelesir, dan ketika mereka sampai di sudut luar kota, rupanya tas keponakan itu berisi buku-buku semata.

Kita mestinya tidak jadi seperti orang udik yang dibicarakan Rodrigo Olavarría. Kita mestinya tidak bepergian dengan buku-buku, sebab mereka menyita ruang di mana sepatu cadangan bisa ditaruh, dan setiap perjalanan punya momen ketika kita benar-benar menyesali tidak membawa sepatu cadangan. Kita mestinya tidak bepergian dengan buku-buku, terutama, karena kita selalu berakhir menghimpun lebih banyak buku saat bepergian. Aku curiga itulah guna kasur kedua. Aku sempat memusingkan hal itu: aku akan tiba di hotel kecil nan gelap, dan ketika memasuki kamar, aku berpikir bahwa ketimbang dua kasur sempit itu, aku bisa cukup menggunakan satu kasur berukuran lebih lebar. Tapi kemudian, aku mengerti bahwa kasur kedua mestilah untuk meletakkan semua buku baru yang terus saja bertambah.

Aku tidak berpikir ada negara lain di mana buku-buku semahal di Cile, dan karenanya, setiap perjalanan yang kami orang Cile lakukan, pada suatu titik, berubah menjadi kunjungan ke toko-toko buku. Julio Ramon Ribeyro merangkum pelesiran macam itu dengan cara begini: “Aku biasanya pergi tanpa membeli apa pun, karena segera setelah memandang semua buku itu, keinginanku untuk memiliki meluas, bukan saja pada beberapa buku yang masih mungkin dibeli, tetapi pada semua buku yang ada. Dan jika aku membeli satu buku, aku akan pergi tanpa sedikit pun kepuasan, sebab memperoleh buku tersebut bukan menandakan bertambahnya satu buku, melainkan berkurangnya banyak buku.”

Pengalamanku berbeda, tapi rasa bersalahnya setara. Aku memulai dengan fokus pada judul yang akan sulit kutemukan di Cile, atau yang harganya dua kali atau tiga kali lebih mahal di toko buku dekat rumah. Masalahnya, sedikit sekali buku yang tidak sesuai kriteria. Maka, pada akhirnya aku membeli banyak, dan pada semua buku itu menggantung keraguan menyebalkan soal apakah aku benar-benar akan membacanya. Aku nyaris selalu begitu, dalam banyak kasempatan, bahkan jika kemungkinan membacanya akan makan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun.

Ada juga buku-buku yang diterima sebagai hadiah, sering kali dari para penulisnya. Beberapa penulis memberikan buku mereka seperti halnya itu kartu pengenal: besertanya terdapat nama dan alamat email yang bisa kita temukan, tiba-tiba, dengan tiga puluh lebih puisi atau lima belas cerpen atau sebuah novel yang amat panjang, dan dari situ timbul kesan aneh: kita baru saja kenal orang ini, dan kita sudah punya catatan yang berlimpah akan obsesinya, keinginan dan ketakutannya.

Lalu ada juga orang yang memberimu bukunya dengan harapan kau akan menukarnya dengan salah satu milikmu, yang mana, agak canggung, dan ada juga mereka yang tidak memberimu apa pun, tapi entah bagaimana menyindirmu dengan memberi tahu mereka punya beberapa buku tersisa dan bisa menjualnya padamu dengan harga terjangkau. Namun, favoritku adalah jiwa-jiwa sederhana yang menolak memberimu buku mereka, tampak berhati teguh bahwa tak seorang pun mesti membaca karyanya. Aku punya ingatan tak terlupakan menyangkut seorang penulis Peru yang kutanyai di mana aku bisa mendapat bukunya, dan ia bilang padaku agar tidak usah repot-repot, karena bukunya buruk; malahan, ia menawariku terbitan penyair lain yang menurutnya bagus.

II.

Aku di Meksiko, di ujung empat bulan menetap. Perjalanan dengan buku-buku, tentu saja. Ketika mengepak barang sebelum berangkat ke sini, aku melakukan kesalahan yang sama seperti biasanya, tapi di menit-menit terakhir, dengan cukup beralasan, aku memutuskan untuk memperingan koper. Aku bahkan mengeluarkan buku berjilid besar, dan pada akhirnya terbang hanya dengan dua-tiga buku tanpa, seperti kubilang tadi, merasa berbahaya dalam perjalanan.

Sepanjang minggu pertamaku di Kota Meksiko, aku menjadi, sekali lagi sebagaimana aku dulu semasa remaja, pembaca bijaksana yang hanya membeli apa yang ia bisa baca segera. Dan aku sekali lagi mendapati keanggunan rak setengah kosong. Dalam pengertian ini, perpustakaan pertama kita adalah teladan: koleksi kita tidak sampai sepuluh buku, tapi kita mengenalinya sepenuh hati. Seiring waktu, bagaimana pun, kita kehilangan integritas: rak itu menghimpun berbagai volume yang campur aduk tidak jelas, dan secara bertahap kita menyerah pada urgensi untuk mengoleksi, penyakit menakjubkan dan tak tersembuhkan yang membawa pada kita harta karun edisi pertama atau pustaka langka atau bahkan buku yang menangkap perhatian kita dengan desainnya, typografinya, ukurannya.

Salah satu variasi parah dari penyakit ini muncul ketika kita membeli buku yang kita tahu bukan hanya kita tidak akan membacanya, tapi juga kita tidak akan tahu bagaimana cara membacanya karena buku itu ditulis dalam bahasa yang nyaris asing bagi kita. Tetapi sulit melawan kecantikan edisi bahasa Jepang Kawabata, misalnya. Bertahun-tahun lalu, seorang teman memberiku satu eksemplar The Clown karya Heirnrich Boll dalam bahasa Jerman, novel cantik yang dengan hati-hati kutaruh pada rak di mana ia tertidur semenjak itu sampai kini, walau kadang-kadang aku mengintip pada punggung bukunya hanya untuk memberi diriku sendiri kepuasan ketika mengenali satu-satunya frasa yang kumengerti dalam bahasa Jerman: Ansichten eines Clowns.

Namun aku mau membicarakan hari-hari pertamaku itu di Mexico, hari-hari ketika aku tinggal, sekali lagi, dengan sedikit buku. Aku bangun lebih awal, menuju ke salah satu toko buku bagus di kota, dengan berhati-hati memilih sebuah novel dan kembali ke ruanganku, tak sabar untuk membacanya sesegera mungkin, dalam sekali duduk. Meski begitu, cepat ketimbang lambat, distraksi kembali. Sudah bertahun-tahun ini aku punya kebiasaan mengombinasikan bacaan, menenggelamkan diri dalam beberapa buku sekaligus, biasanya dengan jenis berbeda, seolah dengan jahatnya membuat buku-buku itu bersaing satu sama lain, atau seolah membaca adalah ramuan misterius dan kompleks yang diresep, contohnya, dengan pagi seratus halamanan The Book of Disquiet, tiga cerita Clarice Lispector sewaktu sore, dan beberapa puisi Cesar Vallejo sebelum terlelap.

Kini, selagi menulis, aku mengamati dengan gelisah deretan buku di rak: tiga atau empat atau lima yang belum kubaca, dua yang kuabaikan setelah setengah terbaca, dan satu jilid tanpa cacat yang kuperoleh ketika lengah dan masih belum kubuka. Sisanya telah kubaca, dan aku suka memikirkan bahwa suatu hari aku akan membacanya lagi. Aku tidak akan mengakui dosa dengan menyebut jumlah buku yang telah kukumpulkan dalam perjalanan ini. Cukup dikatakan banyak, dan aku sungguh bertanya-tanya bagaimana aku akan membawa buku-buku itu pulang. Kadang kudapati diriku mencari kriteria yang akan membiarkanku meninggalkan beberapa di Meksiko. Tetapi aku tak mau. Aku yakin aku akan membawa semua judul. Aku tidak mau menyerah pada sedikit pun dari buku-buku itu, kupikir, dengan keserakahan yang menghangatkan hati.

Haruskah aku menaruh mereka semua dalam komputer, memodernkan kebiasaan ini, jadi terampil dan portable? Aku tidak bisa mengelak bahwa ini artikel seorang yang sudah tua, borjuis tak tahu malu. Dan aku terpukau melihat pembaca sekarang bisa beralih ke file sebagai pengganti buku. Namun itu tidak seharusnya memukauku. Aku tumbuh membaca fotokopian, dan walau mataku sakit ketika aku membaca di layar, sejujurnya mataku selalu sakit. Sungguh, tampak ajaib bahwa pembaca bisa mencari di internet file-file .zip atau .rar yang memuat buku-buku langka, mahal, atau buku-buku yang dengan cara lain tidak akan bisa mereka baca. Aku masih takjub mengetahui semua buku itu bisa bepergian secara diam-diam dalam sebuah laptop atau gawai yang ringan dan didesain dengan baik. Tapi apa yang bisa kulakukan: aku bepergian membawa buku.

III.

Tanpa ragu, untuk orang seperti kita yang bepergian membawa buku, perjalanan pulang adalah bagian terburuk. Pada akhirnya tak akan ada ruang untuk celana ataupun baju: tas telah menjadi perpustakaan kecil dan tertutup.

Beberapa hari lalu seorang teman memberitahuku bahwa ia pernah menyingkirkan beberapa kilo pakaian untuk menghindari tambahan biaya di bandara, dan pengakuan ini sungguh mengejutkanku karena aku melakukan hal yang persis sama.

Aku suka solusi ini, mengingat keberadaan buku, bagiku, selalu terkait dengan absennya pakaian. Semasa remaja, aku terbiasa membeli buku-buku dengan uang yang kuterima setahun sekali untuk memperbarui isi lemari pakaianku; aku membeli sepasang kaos bekas sebagai alibi, dan kemudian dengan senang hati aku menerjunkan diri untuk mengubak-abrik toko buku, sehingga aku selalu berkeliling dengan penampilan buruk, tapi bisa dengan puas singgah ke bacaan sastra yang paling baik

Dialihbahasakan dari bahasa Spanyol ke bahasa Inggris oleh Megan McDowell di buku Not to Read. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ageng Indra

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.