Nasihat tentang Seni Menulis Cerita Pendek

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
Published in
4 min readApr 24, 2018

diterjemahkan dari “Advice on Writing Short Stories” oleh Roberto Bolano dalam Between Parentheses

Mumpung sekarang aku empat-satu, aku punya beberapa nasihat untuk diberikan tentang seni menulis cerita pendek. 1) Jangan pernah mengerjakan cerita satu persatu satu. Sungguh, jika kau mengerjakannya satu per satu kau bisa menulis cerita yang sama sampai hari kematianmu. 2) Lebih baik menulis cerita tiga sekaligus, atau lima sekaligus. Bila kau punya tenaga, tulislah sembilan sekaligus, atau lima belas sekaligus. 3) Hati-hati: godaan menulis dua sekaligus sama berbahayanya dengan memutuskan menulisnya satu per satu — seperti menyembunyikan keragu-raguan yang tercermin dalam permainan cinta, yang menghasilkan pantulan melankolis[*]. 4) Kau harus membaca Quiroga, kau harus membaca Felisberto Hernandez, kau harus membaca Borges. Kau harus membaca Rulfo dan Monterroso. Penulis cerita pendek yang menghormati semua karyanya tidak akan pernah membaca Cela atau Umbral. Ia masih akan membaca Cortazar dan Bioy Casares, tapi tidak berarti Cela atau Umbral. 5) Biar kuulangi, kalau masih belum jelas: Cela dan Umbral harus dihindari seperti penyakit menular. 6) Penulis cerita pendek harus berani. Sedih untuk mengatakannya, tapi itu benar. 7) Para penulis cerita pendek kerap membanggakan diri membaca Petrus Borel. Faktanya, banyak penulis cerita pendek terkenal karena meniru Petrus Borel. Kesalahan besar: mereka seharusnya meniru cara Petrus Borel berpakaian! Tetapi yang sebenarnya adalah mereka hampir tidak tahu apa-apa tentang Petrus Borel! Atau Gautier, atau Nerval! 8) Mari buat kesepakatan. Baca Petrus Borel, berpakaian seperti petrus Borel, tapi juga membaca Jules Renard dan Marcel Schwob, khususnya Marcel Schwob, dan setelah itu Alfonso Reyes, dan dari situ ke Borges. 9) Sejujurnya jika kita membaca Edgar Allan Poe itu lebih dari cukup. 10) Pertimbangkan poin kesembilan. Pertimbangkan dan renungkan. Belum terlambat. Kau harus mempertimbangkan poin nomer sembilan. Kalau mungkin: berlututlah. 11) Buku dan pangarang yang sangat dianjurkan: On the Sublime, oleh Longinus; soneta keberanian dan nasib malang Philip Sidney, yang biografinya ditulis Lord Brooke; Spoon River Anthology, oleh Edgar Lee Masters; Suicidios Ejemplares, oleh Enrique Vila-Matas; dan While the Women Are Sleeping, oleh Javier Marias. 12) Baca buku-buku itu dan juga baca Chekov dan Raymond Carver. Satu dari keduanya adalah penulis cerita pendek terbaik abad kedua puluh.

[*]belum menemukan padanan dari kalimat ini, yang aslinya berbunyi “it conceals rather sticky game of mirrors in love”

Catatan Penerjemah (Tak dibaca pun tak apa)

Nasihat Bolano menohokku sejak poin pertama. Aku tak pernah menyelesaikan satu cerita pun. Dulu, aku menulisnya satu per satu dan setiap kali berakhir dengan putus asa, aku lompat ke cerita berikutnya. Cerita lama tak pernah kutengok kembali karena sudah terasa berjarak; karena meninggalkan kenangan psikologis yang buruk; karena malas. Pada satu episode hidupku — yang saat itu tampak seperti akan kusesali, tetapi penyesalan belum datang juga sampai saat ini—aku menghapus sebuah folder di laptopku, berisi semua tulisanku yang buruk saja belum. Sebagian besar kutulis ketika SMA, dan seingatku, tidak lebih dari tiruan menyedihkan atas curhatan-curhatan Raditya Dika. Masa mudaku, bila memandangnya dari sudut pandang kiwari, sungguh membuat iba: menulis tiruan menyedihkan dari tulisan menyedihkan. Aku berterima kasih banyak pada Marmut Merah Jambu yang telah memenuhi masa mudaku, meski mungkin tak akan kubaca lagi buku itu karena, Radit, atau Boy Candra, atau Tere Liye, kubayangkan sebagai contoh paling representatif untuk Cela atau Umbral negeri ini. Kafka, kudengar dari Sigit Susanto, pernah mengatakan untuk menghindari karya populer. Katanya, kurang lebih,“Buku-buku itu mungkin kemilau, tapi ia akan redup. Buku-buku klasik mungkin tampak membosankan, tapi ia akan menghidupkan api dalam jiwamu.” Bisa jadi itu hanya omong kosong, tapi aku meyakininya. Bolano menjadi pemandu jalan yang baik. Ia menawarkan rute dengan memberi rekomendasi bacaan, dan sebenarnya memang hanya itu yang dia lakukan. Sama dengan Borges, Bolano juga berpikir, “Membaca selalu lebih penting dari pada menulis.” Chekov, Carver, dan Poe, bisa dibaca dengan mudah, sejak terjemahan bahasa Indonesia buku mereka telah banyak di toko buku dan internet. Nama lain, perlu diakses dalam bahasa Inggris, dan beberapa, seperti Suicidios Ejemplares misalnya, baru bisa diakses dalam bahasa spanyol. Aku, kuingatkan lagi, belum pernah menyelesaikan satu pun cerita pendek, tetapi kupikir kumpulan cerpen Indonesia yang ingin kuanjurkan ini cukup penting untuk kau baca, terutama bila kau masih kesulitan membaca literatur bahasa asing. Sebutlah, Orang-orang Bloomington-nya Budi Darma. Budi Darma juga menulis Kritikus Adinan, sebanarnya, tapi tak begitu menarik dibanding Orang-orang Bloomington, dan tak kau baca pun tak apa, kurasa. Selain itu, dua wartawan senior, A.S Laksana dan Yusi Avianto Paranom, perlu juga kau baca kumpulan cerpennya. Kalau kau cukup beruntung, kau bisa memperoleh buku-buku yang lebih lawas, seperti karya Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma atau Iwan Simatupang, Tegak Lurus Dengan Langit. Kita bisa baca apa pun, tetapi apa yang kita baca membentuk bagaimana kita berpikir, dan bagaimana kita berpikir membentuk bagaimana kita menulis. Penyair yang kukenal pernah bilang, “Puisi hanya lahir dari puisi.” Cerpen yang baik, kurasa, juga sama.

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.