Pustakawan Pemberani

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
Published in
4 min readMar 16, 2019

dialihbahasakan dari terjemahan bahasa Inggris esai Roberto Bolano, “The Brave Librarian” dalam Between Parentheses

Gambar diambil dari sini.

Ia memulai sebagai penyair. Ia mengagumi sastra ekspesionis Jerman (ia mempelajari bahasa Prancis karena kewajiban dan Jerman karena sesuatu yang mungkin disebut cinta, dan ia mempelajarinya tanpa guru, secara otodidak, sebagaimana seseorang mempelajari hal-hal yang paling penting). tapi ia mungkin tidak pernah membaca Hans Henny Jahnn. Pada foto-foto sekitar 1920-an, ia tampak angkuh dan sedih, pria muda dengan tepi mata bergelombang, seseorang yang badannya cenderung gemuk, halus. Ia merawat persahabatan, dan ia setia kawan. Teman pertamanya, dari Switzerland dan Mallorca, hidup dalam kenangannya bersama gairah masa remajanya atau gairah kenangan masa remaja yang polos. Dan ia beruntung: ia mengenal Cassinos-Assens dan memperoleh perspektif unik tentang Spanyol yang tak pernah hilang darinya. Tapi ia kembali ke kampung halamannya dan menjumpai kemungkinan takdir. Takdir dari mimpinya, di negara yang membentuk mimpinya. Di hamparan Amerika ia memimpikan keberanian dan banyangannya, kesepian sempurna dari keberanian, hari-hari yang begitu sempura sesuai dengan kontur kehidupan. Dan ia beruntung lagi: ia bertemu Macedonia Fernandes dan Ricardo Guraldes dan Xul Solar, yang berbobot lebih dari kebanyakan intelektual Spanyol yang ia tahu, atau ia percaya, dan ia jarang salah. Dan belum lagi, adik perempuannya menikahi penyair Spanyol. Itu masa Kekaisaran Argentina, ketika segalanya tampak dalam jangkauan dan Buenos Aires bisa memanggil dirinya sendiri Chicago-nya belahan bumi selatan tanpa malu. Dan Chicago-nya belahan bumi selatan ini punya Carl Sanburg (penyair, kebetulan, dikagumi tokoh kita) sendiri, dan namanya Roberto Arlt. Waktu mempertemukan mereka dan lalu memisahkan keduanya selamanya, ketika salah satunya mencebur ke neraka sementara yang satu lagi sedang mencari kata. Dari nerakanya Arlt, lahir utopia paling gila: sebuah cerita perampok sedih yang meramalkan, seperti Abaddon, el exterminador [Abbadon, Sang Pembasmi] garapan Sabato, kengerian yang nantinya akan berada dekat dengan negara dan benua itu. Sementara itu, dari pencarian terhadap kata, muncul kesabaran dan keyakinan sederhana akan kegembiaraan sastra. Boedo dan Floroda adalah nama kelompok yang tumbuh di sekitar dua pria itu. Yang pertama merujuk sebuah perkampungan miskin, yang kedua merujuk jalan raya, dan hari ini kedua nama itu berbaris menuju terlupakan. Arlt, Gombrowicz: ia mungkin pernah berteman dengan mereka sekaligus tidak. Kurangnya perbincangan ini meninggalkan kekosongan yang juga bagian dari kesusastraan kita. Tentu saja, Arlt mati muda, setelah hidup gaduh penuh penderitaan. Dan ia pada dasarnya penulis prosa. Tokoh kita bukan. Ia penyair, dan sangat mahir, dan ia menulis esai, dan baru ketika menginjak tigapuluhan, ia mulai menulis karya fiksi. Mesti dikatakan bahwa alasan ia menulis prosa adalah ia sadar ia tak bisa menjadi penyair terbaik dalam bahasa Spanyol. Ada Neruda, yang padanya ia tak pernah meresakan cukup kasih sayang, juga bayang-bayang Vallejo, yang tak sering ia baca. Ada Huidobro, yang semula teman dan kemudian musuh kesedihannya sekaligus saudara ipar yang tak terhindarkan, lalu Oliverio Girondo, yang ia anggap cetek, dan kemudian ada Garcia Lorca, yang ia panggil Andalusia Profesional, dan Juan Ramon yang ia tertawakan, dan Cernuda yang hampir tidak ia pedulikan, Sesungguhnya, yang ada hanya Neruda. Ada Whitman, ada Neruda, dan ada epos. Hal yang ia kira ia sukai. Hal yang paling ia sukai. Dan kemudian ia mulai menulis sebuah buku di mana epos hanyalah sisi lain malapetaka, di mana ironi dan humor dan sejumlah manusia, gagah berani dan terkatung-katung, menggantikan epos. Buku itu berhutang pada Restratos reales e imaginarios [Poteret Nyata dan Imaginer] garapan teman dan gurunya, Alfonso Reyes, dan buku Kehidupan Imajine, karya penulis Meksiko, Schwob, yang keduanya ia sukai. Bertahun-tahun kemudian, sudah buta dan lebih terkenal dibandingkan gurunya, ia mengunjungi perpustakaan Reyes di Kota Meksiko, secara resmi memberinya julukan “Kapel Alphonsine” dan ia tidak tahan membayangkan bagaimana orang-orang Argentina akan menentang gagasan tidak pantas: menyebut rumah Leopoldo Lugones sebagai “Kapel Leopoldine”. Ketidakmampuan untuk tetap diam ini, kesiapan terus-menerusnya untuk bertempur, adalah sesuatu yang hilang darinya di tengah perkumpulan orang-orang bodoh. Ia mengaku membaca Don Quixote pertama kali dalam bahasa Inggris, dan mengatakan bahwa buku itu tak pernah terasa bagus baginya sejak itu. Para kritikus Spanyol pendendam yang bermantel pun menyewakan mantel-mantel mereka. Dan mereka lupa bahwa kata-kata paling tepat tentang Don Quixote bukan ditulis oleh Unamuno, atau jemaah dungu Unamuno mana pun, seperti Ramiro de Maeztu yang mengecewakan, tapi oleh tokoh kita. Setelah buku tentang pembajak dan penjahat lain, ia menulis dua kumpulan cerita yang barangkali tulisan terbaik dalam bahasa Spanyol di abad dua puluh. Buku pertama terbit pada 1941, kedua pada 1949. Sejak saat itu sastra kita berubah selamanya. Lalu ia menulis buku puisi yang tak diragukan mutunya namun tidak tersebut di tengah-tengah kejayaannya sendiri sebagai pencerita kisah-kisah fantasi dan di tengah begitu banyak jumlah pemikirannya, laki-laki dan perempuan. Dan belum lagi puisinya punya banyak kelebihan: kejernihan bahasa, tanggapan terhadap Whitman yang tak tertandingi tanggapan penyair kontemporer lain, dialog dan monolog dengan sejarah, persembahan yang jujur pada sajak-sajak Inggris. Dan ia memberi kita kelas sastra yang siapa pun abaikan. Dan pelajaran dalam humor yang setiap orang mengaku paham padahal tidak. Di akhir hayatnya, ia meminta pengampunan dan mengaku bahwa ia suka berpergian. Ia mengagumi keberanian dan kecerdasan.

Bolano tidak menyebut nama Borges dalam tulisan ini, namun memberi rujukan-rujukan yang kuat untuk menggambarkan sosok Borges dengan begitu jelas pada pembaca yang agak familiar dengannya. Untuk menemani esai ini, saya merekomendasikan esai lain Bolano, “Buku yang Terus Hidup”, mengenai pengalaman pertamanya membaca Borges. Esai itu diterjemahkan Yeaharip di sini.

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.