Teror Halaman Kosong

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
Published in
3 min readDec 23, 2018

diterjemahkan dari tulisan Colum McCann, “The Terror of The White Page” dalam Letters to a Young Writer.

Kenikmatan atas kekekalan. Kenikmatan atas berkeras, atas kegigihan. Kenikmatan atas kewajiban, atas ketergantungan. Kenikmatan atas pengabdian yang biasa saja. — Maggie Nelson

Jangan biarkan teror halaman kosong menyusutkan selubung pikiranmu. Dalih kalau kau kena block writer itu kelewat gampang. Kau mesti menggarapnya. Kau mesti duduk di kursi dan hadapi halaman kosong itu. Jangan tinggalkan mejamu. Jangan tinggalkan ruangan. Jangan pergi bayar tagihan. Jangan cuci piring. Jangan intip halaman olahraga. Jangan buka email. Jangan alihkan perhatianmu dengan cara apa pun sampai kau merasa sudah berjuang dan mencoba.

Kau mesti meluangkan waktu. Kalau kau tidak di sana, kata-kata tak akan muncul. Sesimpel itu.

Penulis bukan seseorang yang terus-menerus berpikir tentang menulis, atau membicarakannya, atau merencanakannya, atau membedahnya, atau membesar-besarkannya: penulis ialah seseorang yang menaruh pantatnya di atas kursi ketika hal terakhir yang ia ingin lakukan adalah menaruh pantatnya di atas kursi.

Tulisan bagus akan mengetuk keluar gairah hidupmu. Sangat sedikit orang yang membicarakannya, tapi penulis mesti punya stamina sekelas atlet dunia. Keletihan duduk di satu tempat. Kesalahan. Perbaikan. Tekanan mental. Jatuhnya ember ke sumur yang hampir kosong berkali-kali. Memindahkan kata ke halaman lain. Mengembalikannya lagi. Mempertanyakannya. Meragukannya. Mengetesnya dalam bold. Melihatnya dalam italic. Memperbesar ukuran fontnya. Mengejanya secara berbeda. Memberinya aksen lain. Menggesernya lagi dan lagi. Single space, double space, rata kanan, rata kiri, kembali ke single space. Mengucapkannya keras-keras. Mencari cara terbaik untuk membiarkannya saja. Menggantung di sana selagi jarum jam berdetik. Menolak menyerah pada klise. Mencerca betapa kata-kata itu kalah menarik. Memahami bukan hanya apa kegunaan kata-kata, melainkan juga apa yang kata-kata itu bela. Bangunlah ketika kau membanting dirimu ke lantai. Singkirkan debu-debu di tubuhmu. Atur ulang filter mulutmu. Teruskan apa yang kau warisi dari perkerjaanmu kemarin-kemarin.

Jangan terlalu dipikir soal word count (jumlah kata). Word cut (kata yang kau hapus) lebih penting. Kau mesti duduk di situ, menajamkan pensil merah atau menekan tomboh delete atau mencampakkan berlembar-halaman ke dalam api. Sering kali, makin banyak kata yang kau hapus, makin bagus. Hari yang baik, mungkin, sebenarnya seratus kata lebih sedikit ketimbang kemarin. Bahkan, tak ada kata-kata sama sekali lebih baik ketimbang tidak meluangkan waktu sama sekali di depan halaman.

Berkeraslah pada ketekunanmu sendiri. Kata-kata akan datang. Mereka mungkin tidak datang secepat semak terbakar atau pilar-pilar-pilar cahaya. Berjuang lagi, lantas lagi dan lagi. Kalau kau berjuang cukup lama, kata yang tepat akan datang, dan kalau masih tidak juga, setidaknya kau sudah mencoba.

Tetap simpan pantatmu di atas kursi. Pantat di atas kursi. Pantat di atas kursi.

Tatap halaman kosong itu.

Colum McCann, lahir di Dublin, 1965 dan memulai karir menulis sebagai jurnalis di The Irish Press. Ia juga mengajar program Creative Writing di Hunter College, New York. Bahan selama dua puluh tahun mengajar menulis, terkumpul dalam Letters to a Young Writer. Novel ambisiusnya berjudul Let the Great World Spin

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.