Wawancara dengan Alejandro Zambra

oleh Daniel Alarcón

Ageng Indra
Pseudopenerjemah
18 min readAug 16, 2021

--

Foto oleh Juan Pablo Ampudia

Para tokoh dalam cerita dan novel Zambra cenderung terdorong untuk berpura-pura jadi orang lain. Alarcon membongkar alasannya dalam perbincangan tentang kumpulan cerita pendek yang terakhir diterbitkan si penulis Cile tersebut, My Documents.

Aku bertemu Alejandro Zambra pertama kali pada 2007, di festival sastra di Bogota. Tentu aku sudah membaca karyanya saat itu — novel pertamanya yang brilian dan lembut, Bonsai, disodorkan padaku secara paksa oleh teman asal Cile — tapi aku sering waspada bila bertemu penulis yang karyanya kukagumi. Buat kesempatan yang ini, mestinya aku tidak perlu khawatir. Ada momen pada malam kedua di festival yang, setidaknya dalam kepalaku, mengikat pertemanan kami. Kami semua diundang ke sebuah pesta di apartemen seorang kritikus dan editor setempat. Aku tidak ingat siapa yang memberi tahuku, tapi kami semua entah bagaimana beranggapan bahwa apartemen itu baru saja dijual, bahwa kami bisa menghancurkannya jika kami mau. Para penulis yang berkumpul tak perlu ajakan lebih jauh. Nyaris tak ada perabot tersisa, dan jendelanya telah dicopot. Tak seorang pun duduk karena tak ada tempat untuk duduk. Kebanyakan berjoget. Semua orang minum. Tak seorang pun mendiskusikan masa depan sastra Amerika Latin. Tak ada yang serius di pesta itu, tak ada yang intelektual. Pada titik tertentu, aku berdiri dekat Zambra, sama-sama teler, ketika seorang pemuda menghampiri kami. Ia bertanya apakah aku Alarcon. Ia orang Bogota, dan jika kau tahu orang Bogota, kau bisa dengan mudah membayangkan nada ramah saat ia mengatakan baris berikut: “Alarcon, menurutku novelmu tidak realistis.”

Saat itu mungkin sudah pukul tiga pagi. Hanya beberapa langkah dari kami, di lantai dansa, sebuah generasi penulis Amerika Latin tengah mereka ulang adegan dari Black Orpheus. Angin malam yang dingin silir-semilir di apartemen kosong itu, dan aku tidak tahu apa yang mesti kukatakan. Tapi Zambra tahu: “Menurutku kau tidak realistis, huevon!” teriaknya, dan mengusir pseudokritikus itu.

Alejandro Zambra adalah manusia yang luar biasa, kawan yang baik, dan salah satu penulis paling kukagumi di generasiku. Sedikit sekali penulis sepertinya yang bisa begitu jeli dan sensitif terhadap kesombongan manusia, tapi juga sekaligus pemaaf pada saat yang sama. Pada bulan Januari, kami mengobrol lewat Skype soal kumpulan cerita pendeknya, My Documents, terbitan McSweeney, sebernas kami membahas karir, obsesi, dan kehidupan rahasianya sebagai penulis lagu juga.

Daniel Alarcón: Jadi, aku ingin mulai dengan sesuatu yang kau sebut di buku kumpulan esaimu, No Leer (Bukan untuk Dibaca), judulnya terbilang aneh buat buku yang ditulis seorang novelis sekaligus penyair. Katamu, kau belajar membaca dengan cara dipaksakan. Pendidikan dan hari-harimu di sekolah membentuk latar belakang buat kumpulan cerpenmu yang paling belakangan, My Documents. Apa diajari membaca dengan paksaan itu wajar buat generasimu?

Alejandro Zambra: Iya, itu lebih ke persoalan generasi ketimbang personal. Di esai No leer, sastra disuguhkan pada kami dengan sepenuhnya lepas dari kesenangan. Kalau pengetahuan di sekolah dijatuhkan dari atas ke bawah, membaca, dalam kasusku, datang secara tiba-tiba, tanpa banyak konteks. Aku selalu mengaitkan membaca dengan kesenangan. Ketertarikanku pada sastra datang lebih-lebih dari lirik, dari bahasa, lelucon, dan permainan kata, ketimbang pembacaan langsung — tidak ada banyak buku di sekitarku saat itu. Tapi sastra tetap ada.

DA: Sastra lisan?

AZ: Nenekku dari pihak ibu menulis lagu dan cerita, tapi aku tidak pernah melihatnya membaca apa pun selain koran. Dia punya tempramen seorang narator. Aku ingat ceritanya tentang gempa; trauma terbesar dalam hidupnya adalah gempa bumi 1939 yang menyapu kota Chillán.

DA: Dia kehilangan orang tuanya juga?

AZ: Iya. Dia sering menceritakan bagaimana saudara laki-lakinya yang selamat menyelamatkannya dari puing-puing, dan lanjut dengan menggambarkan sensasi ketika debu memenuhi mulutnya, yang tampaknya membekas bertahun-tahun.

DA: Berapa usianya?

AZ: Lima belas, atau depalan belas, atau dua puluh? Dia tidak langsung terdaftar begitu lahir, jadi dia sering mengambil keuntungan memangkas usianya bertahun-tahun. Gempa bumi betul-betul menandai hidupnya. Setelahnya, dia pindah ke Santiago.

DA: Saat kau mendengar soal trauma sewaktu kecil, itu tak berarti apa-apa. Mungkin baru sekarang kau paham apa artinya bagi nenekmu saat dia bilang bahwa peristiwa itu menandai hidupnya. Sebelumnya, itu cuma kata-kata kosong. Tapi begitu kau dewasa, sewaktu usiamu empat puluh, kau akan, “Anjrit! Dia kehilangan semuanya!”

AZ: Iya. Dia mengisahkan banyak cerita dan ada begitu banyak tawa di sana, walaupun tanpa bisa dihindari, pada akhirnya, semua tokohnya mati. Aku mendengar banyak soal gempa, dan pernah mengalami beberapa gempa kecil, tapi gempa 1985 adalah momen yang penting.

Novel Ways of Going Home dimulai dengan gempa, walaupun tidak sama persis dengan bagaimana aku mengalaminya. Neneku sedang di rumah; dia membawa sepupuku dan aku ke teras dan memeluk kami. Dia berteriak memanggil yang lain. Kami tidak merasakannya. Tiba-tiba gempa bertehnti dan kami melihat para tetangga, yang mana tak masuk akal, sebab, secara teori, ada tembok di antara kami. Kami menyadari bahwa gempanya mereda. Itu gempa yang relatif ringan di samping yang di Chillán, tentu, tapi juga di samping yang kami alami pada 2010. Pada 1985 sesuatu yang yang selama ini fiksi tiba-tiba menjadi nyata. Secara paradoks, ada sekelebat kepuasan.

DA: Tampaknya mengalami gempa adalah bagian dari proses pendewasaan orang Cile.

AZ: Iya, sesuatu yang menyatukan kami adalah antara kami tumbuh mendengar tentang gempa atau mengalaminya langsung.

DA: Kau tadi menyebut nenekmu menulis lirik lagu. Kau juga menulis lirik lagu memakai nama samaran.

AZ: Tak ada yang tahu itu, Daniel!

DA: Kenapa? Apa yang salah dengan itu?

AZ: Aku malu. Kebanyakan lirikku parah.

DA: Ayolah, bung! Ini demi sejarah sastra!

AZ: Paling baik memang tidak mengangkat bab kecil ini ke permukaan.

DA: Aku penasaran soal apa yang menurutmu menarik dari melalukan itu. Apa yang diizinkan menulis lirik padamu, saat menulis puisi, cerpen, atau novel tidak mengizinkannya?

AZ: Pertanyaan bagus. Itu cuma main-main. Punya ruang untuk bermain-main sangatlah relevan dalam menulis. Aku sedang mencoba memutar arah pertenyaannya.

DA: Aku tahu.

AZ: Tanyakan hal lain. Itu rahasia besar. Apa aku pernah memberi tahumu soal ini?

DA: Seseorang bilang soal itu. Aku tidak ingat siapa.

AZ: Oke, aku menulis beberapa lirik lagu. Aku tidak yakin itu berbeda dari menulis sastra. Aku selalu mencari momen manakala aku tidak yakin apa yang kulakukan.

Ketika kau menulis buku kau penuh dengan ekspektasi, kau membuat rencana, kau berpikir itu akan mengarah ke sini atau ke sana. Namun momen menyenangkan yang sebenarnya, datang ketika kau tidak punya gambaran soal apa yang kau lakukan, ketika satu frasa mengikuti yang lain dan kau menyaksikan apa yang muncul ke permukaan. Struktur tradsional dan rima memerlukan keterikatan tanpa sadar yang serupa, ketika bunyi datang setelah rasa, misalnya. Aku sering membuang tulisanku karena belum apa-apa aku sudah mengetahui semuanya — aku melayang-layang di atas teks. Buku-buku terlahir sekali mereka melampauimu.

DA: Aku punya banyak catatan soal buku-bukumu, sekarang aku tidak bisa mengingat dari mana asalnya. Mungkin dari The Private Lives of Trees. Si tokoh utama — seorang penulis, seperti kebanyakan tokoh utamamu — bilang ia tidak ingin menulis novel, tapi malah “tiba di sebuah zona yang samar tapi jelas di mana ia bisa menumpuk kenangannnya.” Apa kau menganut itu sebagai definisi novel?

AZ: Di Bonsai juga ada penolakan pada ide tertentu mengenai novel: penolakan yang mengandung, dalam dirinya sendiri, sebuah pencarian. Aku paham menulis secara umum merupakan pencarian. Tentu, aku berbicara soal hal-hal yang tidak berwujud atau esoteris. Di beberapa buku tak ada pencarian; buku-buku itu hanya mengekor konvensi genre. Aku tidak tertarik pada buku seperti itu. Aku lebih suka buku-buku yang menetapkan aturannya sendiri.

DA: Apakah novel traditional atau konvensional membuatmu frustasi?

AZ: Lebih ke yang konvensional ketimbang yang tradisional, kalau kataku. Sebagai sebuah genre, novel tetap tidak terdefinisikan, jadi ketika kita menentang sebuah novel, kita sedang bicara soal novel buruk atau novel yang kita tidak suka. Beberapa waktu lalu aku jadi pembaca yang semrawut.

DA: Gimana, tuh?

AZ: Aku gampang menyingkirkan buku. Sebelumnya, terutama ketika aku menulis kritik sastra, aku punya urgensi untuk membaca buku dari sampul ke sampul. Kalau aku menulis tentangnya, aku membacanya dua kali. Aku tidak menikmati itu, sebagian karena kewajiban untuk mengatakan sesuatu dibalik yang sudah jelas. Aku tidak melakukan itu lagi: aku menjadi lebih impulsif — ada begitu banyak buku yang ingin kubaca. Juga, aku berhenti menulis tentang sastra, yang mana hal bagus. Aku menata cara kerja alur membaca.

DA: Kau menyebut soal pentingnya bemain-main. Di beberapa bukumu, hal itu tampak lebih mencolok ketimbang di buku lain. Di Multiple Choice, misalnya, itu kelihatan sangat jelas. Juga di My Documents.

AZ: Aku menikmati waktu saat menulis semua buku-bukuku, apa yang terjadi ialah sering kali tulisanku berurusan dengan hal-hal yang sulit dan menyedihkan. Asalkan aku tidak betul-betul sadar dengan apa yang sedang kulakukan, selalu ada bermain dalam ruang menulis.

DA: Apa itu asalnya dari puisi? Aku membaca banyak novel yang tidak memberiku perasaan bahwa penulisnya sedang bermain-main. Kita bisa menyebut mereka novel buruk, atau bahwa mereka bagian dari tradisi di mana tak ada kesenangan, atau keringanan. Tapi temanku yang beralih dari puisi ke fiksi cenderung kepincut bermain-main.

AZ: Ada paradoks. Waktu aku mulai menulis prosa, rasanya seperti gim; puisiku sangat serius. Cile punya tradisi puisi yang kuat. Barangkali, aku merasa seperti aku butuh menulis sesuatu yang transendental. Aku menikmati diriku lebih ketika menulis fiksi, sebagian karena aku lebih kurang menghormatinya ketimbang puisi.

DA: Apa kau bilang kalau di Cile lebih mudah untuk kurang sopan pada tradisi dan tidak konvensional dalam prosa ketikambang dalam puisi?

AZ: Mungkin bagiku, karena dalam puisi ada tradisi ketidaksopanan. Puisi Neruda langsung diparodikan oleh Nicanor Parra, dan itu menghasilkan seluruh tradisi pemberontakan yang termasuk di dalamnya orang-orang semacam Enrique Lihn, Juan Luis Martinez, Claudio Bertoni…. Saat usiaku dua puluhan, aku melihat tradisi itu sebagai sesuatu yang membuatku merasa tak berdaya, karena segalanya mesti terlebih dulu diparodikan. Tak ada yang serius, bisa kau bilang.

DA: Jadi, apa yang terjadi di Bonsai sedikit seperti kontradiksi itu.

AZ: Iya, Julio, tokohku, tidak percaya apa pun, tapi ia mencari sesuatu — bentuk bonsai memberinya struktur. Aku melakukan itu juga, kadang, walaupun aku tidak pernah memakai bentuk puisi tradisional di karya yang rampung. Aku menggunakan rima sebagai latihan, dan bentuk menjadi gambar coretanku. Rima itu komplex, terutama dalam kasus puisi. Repertoarnya terbatas. Hanya dalam lirik kau bisa menjauhi rima dasar; rima berbelit itu mudah, tapi absurd. Jadi pengekang yang kau gunakan saat kau menulis puisi gaya lama itu memungkinkan ketidaksadaranmu muncul.

DA: Mungkin kendala itu membebaskanmu dari salah satu malalah estetika, yang mana mengizinkanmu menjadi kreatif di wilayah lain.

AZ: Iya. Itu mirip dengan descontrol, tak adanya kontrol atas pemaknaan pembacamu, kendalimu lolos dari cerita-cerita yang kau sampaikan. Frasa itu yang keluar dan membawamu sepenuhnya dengan kejutan. Tentu kau punya kebebasan ini karena kau bicara melalui topeng para tokoh — tapi apa pun yang keluar adalah sesuatu yang kau miliki di dalam dirimu.

Kau mungkin punya pengalaman pergi tidur memikirkan kau telah menulis sesuatu yang benar-benar bagus, dan kemudian kau terbangun dan kau sadar sebetulnya itu amat buruk. Aku punya pengalaman sebaliknya. Aku menulis sesuatu yang kubaca sehari setelahnya, dan seolah seperti orang lain yang menulisnya.

DA: Dan kau menyukainya.

AZ: Ya, dan aku terkejut akulah yang menulisnya.

DA: Kuharap itu terjadi padaku!

AZ: Aku yakin itu terjadi padamu berkali-kali. Jangan berlebihan mendalami peranmu sebagai penanya. Sesuatu yang sangat ganjil sedang terjadi — mestinya aku yang menanyaimu!

DA: Baiklah. Bisakah kita membahas soal peralihanmu dari puisi ke fiksi? Tampaknya sangat umum di Cile, di mana jika pada usia empat belas kau bukan seorang penyair, berarti ada yang salah denganmu. Kau menulis esai lucu ini untuk majalah Peru, Etique Negra, mengkritisi, bahkan mengejek, para penyair. Mereka menyerangmu kemudian — respons mereka agak kurang mengandung humor dan menyedihkan, mesti kubilang. Kau dituduh mengkhianati akarmu.

AZ: Tidak oleh teman-temanku, sih. Itu semua benar-benar tentang apa yang Etique Negra minta untuk dilakukan, yang mana ialah menulis melawan apa yang kau perjuangkan. Sekali esai itu muncul di internet, orang-orang mendistorsinya — mereka bilang aku mengabaikan puisi untuk duit fiksi, untuk kapal pesiar fiksi!

DA: Tepat.

AZ: Aku tidak pernah berhenti menulis puisi. Siapa pun yang mengenalku tahu bahwa semua yang kukritisi di esai itu adalah sesuatu yang aku sendiri melakukannya: mengedit antologi, memulai majalah, mengutuki penggunaan gerund di kelas puisi —

DA: — memberi wawancara sebelum waktunya.

AZ: Atau diwawancara oleh seorang teman, seperti sekarang…. Komunitasku masihlah komunitas puisi. Teman-temanku jarang membaca fiksi; mereka memandang novel sebagai sesuatu yang lewah, dan pada akhirnya, sebentuk kekalahan. Seperti kata Chico Molina, “La novela es la poesia de los tontos.” Begitulah, “novel itu seperti puisi buat orang bodoh.”

DA: (tertawa)

AZ: Ezra Pound mengatakan hal yang sama pada William Carlos William pada sebuah surat. Ia membicarakan soal puisi pendeknya awal-awal yang indah dan ia menulis, “bagian bagus dari novel.” Sombong bukan main! Itu juga kredo penuh gaya: Tak ada yang perlu dimubazirkan. Segala yang layak dikatakan bisa dikatakan dalam enam baris. Aku tidak sepakat dengan ini, tapi aku percaya pada harapan Flaubert untuk menghindari ornament berlebihan.

DA: Adakah aspek dari suaramu sebagai penyair yang tidak bertahan saat beralih ke prosa?

AZ: Pertanyaan bagus. Kupikir aku menjadi penulis fiksi ketika aku menulis Mudanza pada 2003. Sekalipun itu buku puisi, itu punya aliran macam yang diharapkan pada prosa, serta struktur yang tidak stabil. Apa yang kutulis berikutnya punya ritme serupa; itu nyaris seolah aku menulis puisi yang sama dalam gaya yang sama — itu semacam Becktettian, sepenuhnya bebas dari representasi, dengan banyak asosiasi bebas pula.

DA: Apa kau pikir kau akan menerbitkan puisi lagi?

AZ: Mungkin iya. Aku punya beberapa buku catatan; aku lebih suka tidak menorehkan tanggal di publikasinya, sih. Dan lagi, baris puisi di Ways of Going Home merupakan bagian dari puisi di salah satu draft — hanya itu bagian yang aku suka dari draft itu. Puisi itu terdiri dari sebelas baris silabel; aku mengaitkan musikalitasnya dengan ketidakmungkinan mengatakan sesuatu dengan cara lain. Kurasa, aku lanjut mengaitkan puisi dengan semacam kepolosan, dan fiksi dengan semacam ketidakpolosan.

DA: Parentesis. Aku berbagi peran padrastro (ayah tiri). Kata itu dalam bahasa spanyol terdengar amat buruk.

AZ: Parah!

DA: (tertawa) Aku menyebut ini untuk bilang betapa aku tergerak oleh The Private Lives of Trees, dan hubungan antara protagonis dan putri angkatnya. Itu hubungan yang sungguh halus.: cinta yang kau punya untuk seorang anak tiri berbeda dari yang akan kau punya untuk anak kandungmu, sebagian, kupikir karena kau selalu sadar bahwa kau membangunnya. Kau mesti berusahan untuk menciptakannya.

AZ: Itu sungguh cara yang menarik untuk mengungkapkannya. Itu bukuku yang paling kuhargai, sebagian karena setidaknya itulah yang paling mendekati untuk disebut berhasil.

DA: Novel-novelmu berkutat dengan hubungan yang personal, intim, tapi cakupan dari tiga buku terakhirmu lebih luas. Ways of Going Home ialah tentang ingatan dan rekaman tertulis atas ingatan itu. Dan di My Documents, seperti halnya di Multiple Choice, aku hampir melihat gambaran sebuah generasi. Ini mungkin terlalu dangkal. Kau menyebut bahwa Julio di Bonsai tidak tidak mempercayai banyak hal, tapi pada saat yang sama ia mencari sesuatu. Apa ini berlaku pada generasimu di Cile?

AZ: Sedikit, iya. Selalu menyebalkan untuk membahasnya dalam kerangka generasi karena itu menyiratkan respresentasi, atau berbicara untuk, yang lain. Gambaran pohon bonsai tempak relevan dalam ketentuan apa yang pohon itu bisa, atau tidak bisa, representasikan. Sebelum aku tahu apakah itu akan jadi puisi atau prosa, aku memutuskan akan memberi buku itu judul Bansai. Keindahan yang bermutasi itu, ditemukan dalam rasa sakit — itu bedanya antara yang indah dan yang luhur. Schiller mengatakan bahwa yang luhur tidak bisa mengandung, di mana keindahan bisa. Bonsai itu cantik, dan mengandung; faktanya, keterbatasannya hanyalah hukum pertumbuhannya. Pohon yang tumbuh dengan dipaksa mengambil arah tertentu, yang akar-akarnya terpotong; pohon yang terikat gaya sapu sehingga mereka tumbuh ke atas — kau bisa bilang banyak soal generasiku.

DA: Seperti Chinese bond.

AZ: Tepat. Atau seperti bocah yang dihukum karena kidal. Pertanyaan semacam ini, dan kesombongan bahwa mereka mungkin punya jawaban tunggal, memberi fondasi untuk Multiple Choice. Ini rumit: otoritas memberimu jawaban tunggal dan kau memberontak melawannya, tapi pada saat yang sama kau juga mencari sesuatu yang esensial.

DA: Apa kau terkejut dengan kesuksesan Bonsai?

AZ: Meski novel itu diterbitkan penerbit yang amat bergengsi di luar Cile, mulanya, orang-orang Cile dari generasi yang lebih tua keras terhadapnya — aku tidak mengalami ini sebagai kesuksesan. Aku kesal oleh segala kebisingan itu dan mengalami waktu-waktu yang sulit untuk tetap diam. Tapi, sungguh bagus untuk tidak merespons serangan. Lalu aku sadar bahwa novel itu selaras dengan sentimen yang lebih besar, dan aku sangat terkejut. Aku juga dikagetkan oleh usia panjang buku itu. Ini tidak pernah terjadi padaku sebelumnya. Sebagai penyair, aku tahu semua pembacaku. Jika seseorang bilang padaku, “Hai, aku membaca bukumu,” dan aku tidak mengenalnya, aku akan, “Sungguh, kenapa? Lingkaran pertemanan macam apa yang membuatmu bertemu buku ini?”

Tapi dengan novel, itu seperti puisi Emily Dickinson: “Ini suratku untuk dunia, / Yang tidak pernah menulis kepadaku.” Sebuah novel seperti sebuah surat untuk dunia, tetapi sebuah surat yang tak seorang pun memintamu menulisnya. Rasanya luar biasa ketika kau kehilangan kendali atas pembacamu dan kau menyadari bahwa sebuah buku punya nyawanya sendiri.

DA: Dalam tulisan-tulisanmu ada tema berulang di mana laki-laki dengan harga diri rendah berpura-pura jadi orang lain. Dalam My Documents ada sepupu Martin di cerpen “Family Life”. Membacanya, aku seperti, “Jangan bohong sama cewek itu! Jangan!” Ada apa memangnya sampai hal gelap ini membuatmu tertarik?

AZ: Tipu-tipu adalah bagian dari kepribadian kami.

DA: Kepribadian kami?

AZ: Orang-orang Cile. Aku termasuk. Aku sangat tertarik pada jalan sempit yang membentang dari white lies ‘_kebohongan demi kebaikan diri sendiri dan orang lain’ ke kebohongan besar yang kita bertanggungjawab atau terlibat di dalamnya. Dan juga, pada bagaimana kebobongan-kebohongan kecil itu berakhir menimpamu diam-diam sampai mereka menghancurkanmu. Di _Bonsai, Julio berbohong. Tak seorang pun di antara ia atau pacarnya pernah membaca Proust; mereka berpura-pura membaca ulang buku itu saat mereka baru membaca buku itu untuk pertama kalinya. Julio juga berpura-pura mentranskrip novel penulis terkenal. Ia bisa menulis novel hanya ketika memalsukannya. Dan Martin di “Family Life” berbohong dengan cara yang sama Julio berbohong di Bonsai, meskipun kebohongannya punya konsekuensi. Baik ia maupun Julio takut jika mereka menyampaikan kebenaran, mereka akan berakhir sendirian. Tapi martin menyeberangi garis itu: ia melukai orang lain. Pembabakan dari Bonsai ke “Family Life” berkaitan dengan level kerusakan. Julio tidak merusak siapa pun, tapi Martin, di “Family Life”, merusak banyak hal. Kebiasaannya tidak bisa dijelaskan. Ya, ada pemakluman, teori, hipotesa, tapi tak ada penjelasan.

DA: Dan kau memandang ini sebagai secara terkhusus menjadi orang Cile.?

AZ: Di Cile kita meleburkan begitu banyak masalah emosional ke dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa spanyol Cile terutama cenderung menggunakan segala macam euforisme, Maksudku, bahasa Spanyol Amerika Latin juga, secara umum, kecuali Argentina. Orang Spanyol tampak sangat agresif bagi kami dalam cara mereka menggunakan imperatif ‘kalimat perintah’. Kami menggunakan diminutif, dan memperhalus segalanya. Dampaknya, bahasa Spanyol Cile penuh dengan kebohongan kecil ini yang bisa membuat kami bersatu ataupun terpecah — itu bagian penting dalam kepenulisanku.

Di balik itu, sebagai pembaca aku selalu lebih suka kesusastraan yang mana tak seorang pun mengglorifikasi diri mereka di atas yang lain. Aku mendapati kesusastraan yang heroik membosankan; aku tidak tertarik pada sikap asertif, tapi aku suka pada sikap asertif yang menggali jauh ke dalam ketidakmenentuaanya sendiri.

DA: Sastra semacam ini tampaknya sangat cocok untuk generasimu yang tumbuh di bawah Pinochet. Bayang-bayang kediktatoran tampak besar, khusnya di tiga buku terakhirmu.

AZ: Kami berlindung pada gagasan bahwa sejarah terjadi pada orang tua kami. Kami generasi yang ditamengi, tapi pada saat yang sama juga berani. Kami bukanlah yang menyampaikan cerita, melainkan yang mendengarnya. Kami punya sensasi disamaratakan menjadi karakter sampingan.

DA: Tapi kau bisa juga berargumen sebaliknya, bukan? Bahwa karena generasimulah yang mengalami kediktatoran sebagai kenyataan hidup sehari-hari, bahwa karena kau melangkah masuk ke dalamnya, sejak lahir, di tengah ketegangan dan kesunyian itu — kau bisa berargumen bahwa tak serang pun mengetahuinya lebih baik ketimbang dirimu.

AZ: Iya, juga karena kediktatoran sampai pada akhir secara resmi. Itu sungguh mulai beakhir pada 1998, ketika Pinochet ditangkap di London. Proses orang Cile sangatlah ganjil. Membayangkan sebuah kediktatoran di mana sang diktator berakhir menyamar sebagai negarawan hebat dan dengan menyerahkan kekuasaan pada penerusnya. Kami lima belas ketika Tanpa Koalisi menang. Perubahan tampak besar, dan memang begitu, tapi untuk memberi dampak nyata memerlukan waktu panjang. Pelanggaran HAM, sebagai contoh — orang-orang berpikir mereka bisa ditangani dengan keputusan hukum, tanpa perlu mengkonfrontasi mereka. Kediktatoran secara efektif berakhir begitu Pinochet mati.

Jadi, sebagai sebuah generasi, kami tumbuh dengan berpikir bahwa kami tidak bisa bicara tentang apa yang tidak kami alami. Lantas, ketika kami memilih untuk belajar sastra, rasanya kami tidak bisa bicara tentang apa yang belum kami baca. Setiap orang tahu lebih dari pada kami. Kami belum hidup. Kami belum membaca.

DA: Kau merasa mesti diam saja soal itu.

AZ: Tentu. Itulah kenapa Julio dan kekasihnya berpura-pura mereka sudah membaca Proust.

DA: Aku begitu suka hubungan antara si murid kaya yang berusia senja dan sayap kanan dengan profesor pada cerpen “Long Distance” di My Documents. Butuh waktu bagi si protagonis untuk menyadari kalau murid privatnya adalah turis yang ingin mengalami semacam bohemia. Aku penasaran, mungkinkah ini metafora untuk transaksi budaya Cile?

AZ: Itu cerita tentang kelas, tentang seorang pria yang dunianya sepenuhnya berbeda dari si protagonis, yang secara teori kelas menengah. Si Profesor tidak miskin, walau ia tampak begitu bagi si orang tua. Secara berkala, si profesor tidur dengan seorang muridnya yang lain, perempuan lebih tua yang agaknya ia pandang rendah, walau perempuan itu punya kekuasaan tertentu atas si profersor.

DA: Si Profesor memandang dirinya sebagai pria bijaksana yang tahu bagaimana mendapatnya uang dari pria tua. Di akhir, rupanya luluconnya ada pada si profesor. Apa ini ada kaitannya dengan oligarki dan hubungannya dengan generasi yang lebih muda? Apa kau mau bilang bahwa, tak peduli apa pun, si kaya akan berakhir di puncak?

AZ: Jawaban singkatnya, iya. Jawaban panjanganya adalah cerita itu sendiri. Aku tenggelam pada bagaimana judul bekerja di situ. Jika _”_Long Distance” tidak terlalu sering digunakan, itu akan jadi judul kumpulan itu. Istilah itu ada kaitannya dengan pekerjaan sampingan si profesor menjawab panggilan jarak jauh, dan dengan kedekatan yang tampak jelas menyembunyikan jarak sangat jauh terkait kelas, kesadaran diri, dan hubungan percintaaan.

DA: Aku senang kau menyinggung judul. My Documents adalah judul yang sangat lucu. Jelas sekali alusinya pada komputer, pada folder kosong di dekstop yang tak pernah kugunakan.

AZ: Tentu. Sejak ayahku adalah orang komputer, kami dikelilingi oleh komputer sedari sangat awal. Walau bagiku, menulis tetaplah tulis tangan. Waktu aku pertama kali menjumpai “Windows Environment,” aku melihat folder “My Documents”. Itu mengejutkanku, karena itu bukan milikku — ini komputer ayahku. Aku menggunakan judul itu karena aku suka ide mengombinasikan entitas tunggal dan jamak pada judul kumpulan cerita pendek. Aku juga tenggelam dalam gagasan bahwa folder ini ada di setiap komputer, menandakan kekhususan dan kepemilikan.

DA: Judul itu mengesankan bahwa ini adalah dokumenmu, jadi ketika aku membaca cerpen seperti “National Institute,” atau bahkan “My Documents”, aku tidak bisa tidak berpikir aku sedang membaca sesuatu yang autobiografis, dengan unsur fiksi yang dicampur di situ juga. Belum lagi, bukankah ini dokumen penulis mana pun? Suatu gado-gado catatan yang autobiografis, ingatan, fiksi…

AZ: Aku menanyai diriku sendiri pertanyaan itu setiap saat. Kapankah sebaiknya tunggal? Kapan jamak? Haruskah dalam sudut pandang orang pertama atau ketiga? Aku kadang merasa ini adalah pertanyaan paling relevan untuk diajukan. Semua yang lain sampingan. Ketika aku memulai, seperti siapa pun juga, aku menulis puisi surealis. Lalu, aku menulis puisi impersonal — aku mengerti bahwa sudut pandang orang pertama terlarang dalam puisi. Paradoksnya, bagiku prosa mengizinkan itu, barangkali karena tampak ringan, seperti yang kita bicarakan sebelumnya. Aku mengingat dengan jelas rasanya tak punya apa pun untuk dikatakan dalam puisi. Prosa, di sisi lain, berkaitan dengan hararapanku untuk menyampaikan cerita, sekalipun kelayakannya belum begitu jelas bagiku.

DA: Aku ingat berusia dua lima dan berpikir bahwa hidupku sungguh membosankan aku tak pernah punya apa pun untuk ditulis. Dan kemudian, pada usia tiga puluh, aku merasa bahwa hidupku sewaktu masih dua lima sungguh menarik, dan ini memalukan karena sekarang hidupku benar-benar membosankan. Lalu, di usia tiga lima, aku punya perasaan yang sama, dan begitu seterusnya. Mungkin apa yang kau kira layak sebagai bahan tulisan adalah perkara perspektif.

AZ: Itu efek delay. Tapi dibalik itu, perasaan bahwa aku tak punya apa pun untuk dikatakan berbahaya bagiku. Ada kabut tipis, rasa tidak layak, atau kurangnya legitimasi — terkait tentunya dengan penipuan.

Seperti pertanyaanmu di awal, sulit memisahkan fiksiku dari nonfiksi. Jika jejak autobiografis muncul di tulisanku, aku tidak tertarik untuk mengkonfirmasinya: “Benarkah ini terjadi, atau tidak?” Bagian ini selalu dibesar-besarkan, dan lebih bersinggungan dengan genre. Buatku lucu bahwa ada yang namanya nonfiksi kreatif. Itu pastilah hasil transformasi genre sastra menjadi penanda konsumsi.

DA: Aku lalai kalau tidak menanyaimu tentang teknologi setelah membaca My Documents. Apa hubunganmu dengan komputer, dengan media sosial, dan semua cara baru untuk berkomunikasi dengan yang lain?

AZ: Semacam love/hate. Cerita pertama di buku itu berurusan dengan ini. Aku menulis lebih cepat di komputer ketimbang dengan tangan, tapi aku sering bertukar dari satu media ke yang lain. Lalu kadang aku mentranskrip sesuatu dari komputer ke tulis tangan. Itu tidak tampak tak masuk akal bagiku.

DA: Waktu aku masih muda dan jomblo dan punya banyak waktu luang, aku melakukan hal serupa. Aku mengetik di pagi hari, lalu pergi bersepeda dan duduk di kafe dan mencoba mengingat apa yang kutulis sebelumnya tanpa mengintip versi ketikan. Malamnya aku membandingka kedua versi dan menyadari bahwa apa yang cenderung kuingat hanyalah bagian yang bagus-bagus.

AZ: Metode yang bagus. Aku membaca Gramophone, Film, Typewriter-nya Kittler, buku yang brilian. Mesin ketik mulanya tampak sangat umum bagi orang-orang. Lalu Montase, prosedur yang ditemukan oleh para avant-garde, hari ini, bagi semua orang yang menulis dengan word processor, sepenuhnya hal biasa — itu cut-paste. Aku mendapati hubungan pada cut dan paste amat menarik.

Aku menulis dengan mempertimbangkan semua alat yang kupunya di tangan. Sebagai contoh, aku sering merekam diriku sendiri membaca keras-keras, sering kali seluruh buku. Aku perlu tahu bagaimana tulisan itu terdengar. Semua tulisan mesti melewati uji suara.

DA: Beruntungnya, buku-bukumu pendek, bung.

AZ: Mungkin karena itulah makanya pendek! Aku punya kebiasaan menghadiri pembacaan puisi. Itu brutal — kalau kau langsung bosan hanya dengan satu bagian, itu berarti yang membosankan bukan hanya iramanya, tapi keseluruhan rasa dari kata-katanya. Omong-omong, aku berganti format berulang kali. Aku mulari dari komputer ke menulis dengan tangan, ke merekam diriku sendiri. Aku bahkan menggonti-ganti font.

Jadi kembali ke pertanyaanmu soal media sosial, aku telah melalui periode di mana aku membenamkan diriku di dalamnya untuk sepenuhnya memahaminya, sampai aku kelelahan. Facebook, khususnya, membuatku tertarik bukan sebagai penulis, melainkan sebagai pembaca. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam online mencari gambar dan postingan orang-orang. Di sisi lain, aku selalu menyimpan jurnal, yang mana bagiku adalah kebalikan dari blog atau postingan di Facebook, dengan dosis relfeksi diri yang instan, yang sebenarnya agak fiksional. Tapi aku berhenti dari Facebook dan Twitter. Mungkin aku hanya ingin melihat-lihat, belajar bagaimana itu bekerja, dan sudah.

Aku mendekati jurnalku dengan gaya lama, menjunjung ungkapan “kertas bisa menampung semuanya,” untuk melepaskan berbagai hal dari dadaku. Aku tak punya pretensi. Kalau aku tahu aku akan mati, hal pertama yang akan kulakukan adalah membakar catatan harianku; itu tempat di mana aku mengkritik orang-orang dan tempat di mana aku jadi amat tidak jelas. Kebiasaan menulis, bagiku, terhubung dengan ini. Aku menulis setiap hari, iya, tapi kadang hanya di jurnalku.

DA: Adakah yang spesial dengan jurnal itu? Apa yang membuatnya berbeda dari bentuk penulisan lain?

AZ: Ruang menulisnya aneh. Aku perlu berpikir bahwa tak seorang pun akan membaca apa yang kutulis agar bisa menulis. Setiap kali aku berpikir seseorang akan membacanya, aku macet, dan upaya tipu-tipu pun dimulai. Kebanyakan bagian dalam Multiple Choice, yang adalah karyaku paling belakangan, ditulis mengikuti logika ujian. Aku punya lebih dari yang kubutuhkan. Bagian yang kupilih untuk kupertahankan adalah yang tidak kutulis untuk buku itu. Ini barangkali adalah bukuku yang paling personal — walaupun tidak tampak seperti itu. Menulisnya lebih seperti terapi bagiku. Aku melempar diriku kepadanya; itu menyelematkanku. Anehnya, itu yang paling eksperimental sejauh ini.

Diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Mónica de la Torre di BOMB Magazine.
Dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh Ageng Indra.

--

--

Ageng Indra
Pseudopenerjemah

Editor dan penerjemah lepas, juga penulis ninja. Mukim di Bantul, Yogyakarta.