Deteksi Depresi Lebih Dini — Salah Satunya Dengan Python

Nadia Ningtias
purwadhikaconnect
Published in
5 min readNov 27, 2019

Sudah menjadi rahasia umum, depresi sering terjadi di sekitar kita namun sering tidak kita sadari. Salah satu jurnal ilmiah menyebutkan, Depresi terus-menerus sulit terdiagnosa. Hanya sekitar setengah kasus depresi terdeteksi oleh dokter atau terapi, dan hanya 13–49% mendapatkan penanganan yang memadai ¹. Sumber lain menyebutkan, secara konvensional, diagnosis depresi berawal dari laporan pasien, keluarga atau teman dekat, atau berawal dari hasil tes tertentu. Seseorang dengan depresi atau gangguan mental berpotensi menunjukkan tanda khas sehingga dapat disadari oleh orang di sekitar ². Di era sekarang ini, Media sosial seperti Twitter pun layak dikaji untuk penanganan atau pencegahan lebih lanjut.

Implementasi Komputasi Depresi dalam Bahasa (Foto : Studi Deteksi Mental Disorder Melalui Social Media Mining )

Menurut salah satu hasil penelitian, ciri khas linguistik dari seseorang yang berpotensi memiliki gangguan mental hingga depresi dapat diidentifikasi secara komputasional. Kecenderungan depresi ini dapat dikelompokkan menggunakan sejumlah algoritma dan rules yang melibatkan beberapa fitur yang dapat diekstraksi dari teks. Berikut fitur yang dapat dieksplor ³:

1. Positive-Negative Sentiment

Visualisasi Perolehan Fitur Positif-Negatif Sentimen (Foto : Studi Deteksi Mental Disorder Melalui Social Media Mining)

Temuan di salah satu penelitian menyebutkan, seseorang dengan gangguan mental atau depresi menunjukkan emosi negatif dan positif dengan intensitas yang mirip, dibandingkan dengan orang normal yang lebih intens pada unggahan positif saja.

Pada contoh grafik di atas , terlihat perbedaan dari user depresi dan normal. Keadaan ini mungkin menunjukkan seseorang dengan depresi dengan gejala mood swing. Praktisnya, hal ini mungkin bentuk kecenderungan mengungkapkan mood depresi dalam ungkapan negatif, namun juga mengungkapkan ungkapan-ungkapan positif untuk menghalau perasaan depresif itu sendiri. Seperti seseorang yang mengharapkan kesembuhan, mengharapkan kebahagian, mengharapkan ketenangan, kenyamanan. Ungkapan harapan semacam ini secara teknis dikenal sebagai ungkapan yang positif.

Sentimen positif-negatif seperti ini dapat diperoleh berdasarkan analisa per-kalimat, per-ungkapan, maupun per-kata. Dan untuk memperoleh nilai sentimen, kita dapat memanfaatkan beberapa Python package yang sudah banyak dikenal di kalangan developer dan NLP (Natural Language Processing) engineer. Beberapa yang populer di antaranya adalah NLTK vader dan Textblob.

2. Typical Negative Words

Ilustrasi Desain Sistem Perolehan Typical Depression Words (Sumber : https://ieeexplore.ieee.org/document/8888096)

Ketiga, ternyata kalimat negatif yang muncul dari orang dengan gangguan mental depresi memiliki sejumlah keterkaitan.

Kata negatif yang digunakan mencerminkan ketidakstabilan mental dan keputus-asaan, termasuk kosakata yang berkaitan dengan gejala depresi (loser, depress, weak, useless, suicidal, unsuccessful, struggling, etc). Dari insight ini, kita dapat membangun Depression lexicon yang berfungsi sebagai bank kata yang identik dengan gangguan mental hingga depresi. Lexicon ini dapat digunakan sebagai pembobot suatu ungkapan terhadap ungkapan depresi atau bukan.

Untuk membangun lexicon atau daftar kata khas yang identik dengan depresi, kita dapat menyusun suatu skenario memfilter kata-kata bersentimen negatif dan sering muncul dalam data training kelompok-dengan-diagnosis-depresi. Salah satu skenario yang dapat digunakan dapat dilihat pada gambar di atas. Sistem di atas memanfaatkan lexicon Wordnet sebagai pengenalan kata, Textblob dan Vader sebagai penentu sentimen positif atau negatif, serta SenticNet sebagai penghitung nilai bobot negativitas dari suatu kata.

3. Rate of Negative Emotion

Teori Emosi Dasar

Keempat, kita dapat mengektraksi nilai emosi yang terkandung di dalam suatu statement.

Penarikan nilai emosi ini juga dapat dilandasi dengan berbagai teori emosi dasar yang sudah dikenal secara global. Yang paling terkenal adalah teori oleh Paul Ekman yang terdiri dari 6 emosi, dan teori Plutchik yang terdiri dari 8 emosi. Dengan menggunakan library dari SenticNet, kita dapat mengakses nilai negativitas dalam masing-masing sumbu emosi (Sensitivity, Pleasantness, Attention, dan Apptitude ) yang merepresentasikan emosi-emosi dasar hingga turunan dari teori emosi miliki Plutchik.

SenticNet has been further developed and applied for the design of emotion-aware intelligent applications in fields spanning from data mining to human-computer interaction.

Sentic Team

5. Personal Pronoun

“My psychiatrist told my mom I would never be able to live on my own. I’ve been on my own for 20yrs and now that’s being threatened”

“I’ve spent the last 20 years of my life struggling just to make it through each day.”

“I went through some very bad patches in my life where I’ve had clinical depression. I’ve never been suicidal but I’ve been v v ill because of it”

Selanjutnya, seseorang dengan gangguan mental cenderung lebih sering menggunakan kata ganti orang pertama. Sebaliknya, mereka jarang menggunakan kata ganti orang kedua atau orang ketiga seperti (you, she, they, them).

Kata ganti orang pertama (I, me, my, etc) terbukti berhubungan dengan tingkat depresi seseorang. Sejumlah studi dan jurnal menemukan bahwa orang dengan depresi dan bunuh diri mengisolasi dirinya dari orang lain dan sibuk dengan diri sendiri. Mereka lebih banyak menggunakan kata-kata yang merujuk dengan dirinya sendiri ³ ⁴ ⁵.

5. Absolutist Word

Penelitian lain menyebutkan, “Absolutist Word” — yang merupakan kata penekanan berupa penyampaian besaran atau probabilitas absolut, seperti “always”, “nothing” or “completely”, — ditemukan sebagai fitur yang lebih baik daripada fitur pronoun atau fitur kata-kata emosi negatif ⁶.

Hal ini didukung dengan prevalensi absolutist word sekitar 50% lebih besar berada dalam forum anxiety dan depresi, dan sekitar 80% lebih besar dalam forum suicidal-ideation.

Media sosial memang identik dengan ungkapan-ungkapan emosional penggunanya. Ungkapan bahagia, kecewa, amarah, sedih, syukur, semuanya termasuk wajar jika tercurahkan di dunia maya bernama media sosial tersebut. Kita sendiri pasti juga pernah menjadi pelaku media sosial.

Beberapa fitur bahasa yang telah dijelaskan di atas, merupakan beberapa fitur yang dapat diekstrak dari data teks. Selain itu jika kita perdalam lagi, media sosial juga memiliki banyak data yang potensial untuk dikaji, lho! Network pertemanan, Jumlah unggahan pengguna harian, mingguan, keaktifan di jam-jam tertentu, jumlah like, jumlah retweet, topik yang diikuti, topik yang mulai tidak diikuti, dst. Bisa jadi, data-data tersebut memuat informasi-informasi berharga juga dalam bidang kesehatan mental.

Sumber :

[1] : P. Wang, M. Lane, M. Olfson, H. Pincus, H. Wells and R. Kessler, “Twelve-month use of mental health services in the United,” Arch Gener Psychiatry, no. 62, pp. 629–640, 2005.

[2] : M. D. Choudhury, M. Gamon, S. Counts and E. Horvitz, “Predicting Depression via Social Media,” in Seventh International AAAI Conference on Weblogs and Social Media, Massachusetts, 2013.

[3] : I. Syarif, N. Ningtias and T. Badriyah, “Study on Mental Disorder Detection via Social Media Mining,” in 4th International Conference on Computing, Communications and Security (ICCCS), Rome, 2019.

[4] : S. S. Kale, “Tracking Mental Disorders Across Twitter Users,” in M.Sc. thesis, University of Georgia, 2015.

[5] : W. Stirman, S. MA, P. and J. W, “Word Use in the Poetry of Suicidal and Nonsuicidal Poets,” Psychosomatic Medicine, vol. 63, no. 4, pp. 517–522, 2001.

[6] : M. Al-Mosaiwi and T. Johnstone, “In an Absolute State: Elevated Use of Absolutist Words Is a Marker Specific to Anxiety, Depression, and Suicidal Ideation,” Clinical Psychological Science, vol. 6, no. 4, pp. 529–542, 2018.

--

--