Kapan Terakhir Kali Kamu Menyadari Napasmu?

Putri Anggia
Qasir
Published in
6 min readMar 30, 2022

Sebuah interpretasi pribadiku atas sebuah buku berjudul Breath karya James Nestor.

Suatu hari aku ditanya oleh Mbak Nanien, Head of People di kantor, “Buku yang mau kamu baca tapi belum kesampean apa?” Aku menyebutkan beberapa, tapi urutan kesatunya adalah buku Breath, karya James Nestor. Aku nggak berpikir akan dihadiahkan buku ini. Mungkin survey aja, pikirku, untuk rekomendasi bacaan bagus buat seluruh karyawan.

Tapi ternyata aku dikasih buku idamanku (aaaakkkk…seneeeng!!!), dan rasanya egois aja kalau aku nggak menceritakan isi buku ini kepada kalian semua. Solet’s check it out!

Penting Namun Diabaikan

Jujur deh, seberapa sering kamu memperhatikan napasmu sebagaimana kamu memperhatikan makanan ataupun minuman yang masuk dalam tubuhmu?

Sebelumnya, aku pun begitu, abai terhadap napas. Asal bisa napas, asal napas tidak sesak, asal sedang tidak batuk, napas jadi hal terakhir yang aku perhatikan sehari-harinya. Padahal, napas yang aku lakukan ternyata ̶s̶a̶l̶a̶h̶ kurang tepat caranya. Bisa jadi, ini terjadi juga padamu. Sekarang, mari kita telusuri lebih dalam lagi.

Jika tidak boleh dibilang lebih penting dari makanan, minuman, bahkan obat-obatan, percayalah, bernapas sama pentingnya dengan semua itu. Namun sayangnya, bernapas jadi kegiatan yang paling diremehkan, padahal napas itu sendiri adalah ciri terpenting kehidupan, pembeda antara mati dan hidup.

Mungkin karena napas kita lakukan secara refleks, otomatis, dan tanpa perlu dipikir, kita jadi mengabaikannya. Mungkin juga karena udara gratis, kita jadi tidak memperhatikannya.

Padahal faktanya, dari 3 materi utama yang masuk ke dalam tubuh kita — makanan, air dan udara — justru udaralah yang punya porsi terbesar. Kita memang mengkonsumsi 1 hingga 2 kg makanan setiap hari, kita juga mengkonsumsi 2 hingga 3 kg air setiap hari, namun jarang yang menyadari bahwa kita mengkonsumsi 10 hingga 20 kg udara setiap hari.

Sayangnya, topik yang selalu jadi perhatian kita selalu tentang makanan atau minuman yang sehat. Mungkin karena memang tidak banyak juga ahli yang mensosialisasikan tentang hal ini. Untunglah seorang penulis terkenal yang juga jurnalis yang bernama James Nestor mengulas dengan sangat baik dan mendalam tentang napas dalam buku best-sellernya yang berjudul Breath: The New Sciece of Lost Art.

Source: https://lifestyle.livemint.com/

Buku ini membangunkan kita dari tidur panjang kita — betapa kita sudah sangat menyepelekan napas. Padahal napas yang benar bisa menyelamatkan kita dari berbagai kerugian kesehatan fisik dan mental, begitu pun sebaliknya, salah dalam bernapas bisa membuat kita mengalami banyak penyakit berbahaya.

Buku ini begitu padat karena bukan cuma dilengkapi dengan riset mendalam mengenai napas, namun juga melibatkan pengalaman penulis sendiri tentang masalah panjang dengan pernapasan. Bahkan James juga melakukan eksperimen-eksperimen cukup ekstrim seputar kebiasaan bernapas.

Meski buku ini belum ada versi terjemahannya, namun jangan khawatir, versi aslinya pun sangat mudah dicerna (soalnya aku bacanya juga dibantu Google Lens, LOL). Selain itu gaya penulisannya juga sangat luwes dan alurnya mirip seperti kita membaca novel — seru.

Buku ini pertama kali diterbitkan tahun 2020 dan ‘boom’ seluruh dunia dicengangkan akan isinya. Sebetulnya, apa yang diulas dalam buku ini bukanlah barang baru. Karena seni pernapasan itu sendiri sudah dikenal sejak zaman dahulu kala di seluruh dunia, terutama negara-negara yang memiliki peradaban kuno. Namun bagaimana Nestor meng-connect-the-dot-kannya, itulah yang membuatnya luar biasa.

Nestor bisa dengan sangat apik meramu sejarah, science, medis, dan spiritual dalam bab-bab yang ‘berisi’. Singkatnya, buku ini berisi informasi yang mampu memberikan perspektif berbeda. Buku ini sudah berhasil mengubah kebiasaan bernapasku, dan mudah-mudahan itu juga yang akan terjadi pada kamu.

Memperbaiki Napas

Tidak peduli apapun yang kamu makan, seberapa banyak kamu berolahraga bagaimana pun bentuk tubuhmu, semua itu tak ada gunanya jika kamu tidak bernapas dengan benar. Napas yang benar bukanlah ilmu modern — tidak. Cara bernapas yang baik bahkan telah dipelajari sejak ribuan tahun silam.

Pertanyaan besarnya adalah bagaimana cara bernapas yang baik dan sehat? Ternyata jawabannya super sederhana: bernapaslah hanya menggunakan hidung.

Lalu di mana istimewanya? Mungkin pikirmu begitu. Tunggu dulu. Ternyata, dari riset yang dilakukan para ahli, tidak semua orang bernapas melalui hidung. Bahkan 90% dari kita adalah mouth breather secara tak sadar.

Terlalu sering bernapas melalui mulut rupanya sudah sampai mempengaruhi evolusi manusia, yang makin ke sini, struktur rahangnya semakin memanjang dan mengecil. Penyebabnya selain kebiasaan makan dan mengunyah yang berubah dari waktu ke waktu, juga karena masalah napas mulut.

Dibanding dengan hewan, manusia modern adalah satu-satunya spesies yang punya susunan gigi berantakan. Kalah dengan nenek moyang kita, manusia purba, yang ternyata punya struktur gigi yang rapi. Bahkan hewan-hewan pun tak ada yang punya gigi compang-camping seperti kita.

Padahal kan di zaman purba atau di dunia hewan tidak ada dokter gigi atau tukang pasang behel. Selain itu, faktanya hanya manusia satu-satunya spesies yang punya penyakit bernama sleap apnea yang kerap berujung pada kematian saat tertidur.

Bernapas dari mulut adalah cara terburuk untuk mengkonsumsi udara dan ini sangat merugikan kesehatan jika dilakukan terus-menerus. Bahkan pada hewan, jika mereka bernapas melalui mulut, itu adalah pertanda sebuah kondisi yang tidak baik seperti anjing yang sedang kepanasan atau kucing yang tidak sehat.

Untuk membuktikan bahaya napas mulut, James bahkan rela untuk melakukan eksperimen dengan memasukkan kawat kecil di dalam rongga hidungnya dengan sebuah tindakan operasi untuk membuatnya hanya dapat bernapas melalui mulut selama 10 hari sembari melakukan berbagai tes dan pengukuran-pengukuran medis pada tubuhnya. Tidak sampai 10 hari, tekanan darahnya melonjak, ia juga merasa tidak berenergi, tidurnya mengorok hingga berjam-jam, dan masih banyak kekacauan lain dalam tubuhnya.

Sebaliknya, ketika ia memplester bibirnya untuk mencegah kebocoran napas mulut dan memastikan napasnya benar-benar hanya lewat hidung, dalam sekejap ia pun merasa jauh lebih baik. Dalam 3 hari durasi mendengkurnya menurun dari 4 jam menjadi hanya 10 menit saja, tekanan darahnya stabil, ia pun merasa lebih berenergi.

Secara ilmiah, dari berbagai studi dan kajian, mouth breathing atau bernapas melalui mulut dapat memicu banyak hal buruk pada tubuh kita, mulai dari masalah paru-paru, masalah gigi, gangguan tidur, darah tinggi, diabetes, gangguan jantung, disfungsi ereksi, hingga kanker. Maka bernapas yang baik adalah kunci hidup yang sehat.

Mengapa? Bernapas dari hidung akan membuat udara yang tersaring dilembabkan dan dipanaskan oleh organ yang memang dirancang untuk melakukan aktivitas tersebut. Perlu diingat, meski bernapas adalah refleks otomatis pada tubuh kita, kita perlu menyimak dan mengaturnya sedemikian rupa agar dapat bekerja dengan baik dan optimal sehingga habit napas yang keliru berubah jadi habit napas yang benar.

Kekuatan Napas

Dalam membentuk habit bernapas yang lebih sehat, di dalam buku ini juga diceritakan bahwa penulis bertualang ke banyak tempat untuk mempelajari seni pernapasan yang dilakukan di berbagai negara. Ia menemukan bagaimana teknik pernapasan yang baik dapat membuat free-diver mampu bertahan sangat lama di dasar laut tanpa bantuan tabung sama sekali. Juga bagaimana atlet dan olahragawan serta penyanyi dapat memaksimalkan aktivitasnya hanya dengan mengatur napasnya. Ia juga menemukan bagaimana napas bukan hanya dapat menyembuhkan penyakit fisik melainkan juga spiritual dan penyakit mental. Ini semua dipaparkan dan diceritakan dengan sangat menarik di dalam buku Breath ini.

James Nestor pada akhirnya membagikan sebuah teknik yang paling optimal setelah serangkaian eksperimen yang ia lakukan, yaitu 5 setengah detik untuk menarik napas dan 5 setengah detik untuk mengembuskannya. Semuanya dilakukan melalui hidung dan dengan mengembangkan diafragma, bukan dada, sehingga paru-paru dapat menyerapnya secara optimal.

Ingat, bernapas dengan perut bukan dengan dada.

Aku jadi ingat salah satu teknik pernapasan dalam yoga, yaitu ujjayi breath, bernapas melalui hidung dan mengembuskannya lewat hidung dengan suara sedikit mendesis. Ini sangat baik untuk kita bisa menyadari napas dan membuat jiwa menjadi lebih calm.

Bagaimana Ini Mengubahku

Buat aku, semenjak membaca buku ini, aku jadi lebih sering menyadari napas aku. Aku juga senantiasa mengaturnya untuk memastikan tetap dilakukan melalui hidung — tarik dan embusnya. Aku meyakini, jika melakukan ini setahap demi setahap, ini dapat menjadi kebiasaan jangka panjang yang menyehatkan tubuhku. Setidaknya, sekarang pun aku sudah merasakan manfaatnya. Tubuh jadi lebih berenergi, pikiran lebih tenang dan jernih, aku juga lebih mudah termotivasi, tubuh tidak mudah lelah ataupun pegal-pegal.

Barangkali memang kita perlu mengambil waktu beberapa menit atau setengah jam sehari untuk membetulkan napas kita. Entah dengan meditasi, berzikir, merenung, ataupun refleksi. Intinya siapkan waktu setiap hari untuk membenarkan cara kita bernapas, 10 menit sehari pun oke.

Jaga (Napas) Orang Tersayang Kita

Jika kamu memiliki pasangan atau anak, atau saudara, atau orang tua, segera beritahu mereka untuk selalu bernapas dengan hidung. Minta juga mereka untuk menutup mulut kamu pelan-pelan, jika pada saat kamu tidur mereka melihatmu bernapas melalui mulut. Begitu pun sebaliknya.

Selalu ingatkan anak-anakmu untuk bernapas melalui hidung sehingga itu jadi kebiasaan yang akan mereka lakukan hingga dewasa. Akhir kata, aku sangat menyarankan kamu untuk membaca buku ini.

--

--