Penjelasan Ilmiah Mengapa Orang Sabar Disayang Tuhan

Putri Anggia
Qasir
Published in
5 min readMar 15, 2022

Ini adalah tentang bahayanya instant gratification dan pentingnya pengendalian diri.

Harus diakui, hidup di zaman sekarang dengan segala kemudahan adalah sebuah tantangan tersendiri. Mengapa jadi tantangan? Karena kita jadi begitu dimanjakan oleh berbagai hal yang serba cepat dan instan. Ingin makan enak, tinggal pesan. Saat bosan, tinggal scroll social media, Netflix atau YouTube. Rindu pada seseorang, tinggal chat atau video call.

Lama kelamaan, kita jadi orang yang impulsif dan nggak sabaran. Setiap ingin sesuatu, harus dapat secepatnya, kalau bisa, sekarang juga. Kita hampir tidak mau lagi mengenal lagi kata ‘menunggu’. Bahkan, menunggu jadi sering diidentikkan dengan membuang waktu. Padahal, benarkah demikian?

Ini Dia Biang Keroknya

Mengapa produk makanan instan, pemutih instan, obat pelangsing, peninggi, pembesar, serta segala macam obat-obatan yang menjanjikan hasil cepat begitu laku keras? Itu karena otak kita sudah terlatih dengan apa-apa yang serba cepat. Mengapa begitu? Instant gratification jawabannya.

Instant gratification jika diartikan adalah kesenangan yang cepat atau kepuasan yang instan. Ini dialah yang menjadi biang keroknya.

Otak kita terus berdaptasi terhadap apa yang kita lakukan. Misalnya, setiap kali kita secara impulsif makan makanan tidak sehat atau scroll social media ketika bosan, jalur otak kita — atas tindakan itu — jadi semakin kuat. Sehingga sangat mudah untuk masuk ke pola yang sama di kemudian hari hingga sulit untuk memutus siklusnya.

Sekali dua kali sih oke, tapi kalau sudah menjadi kebiasaan, instant gratification bisa berdampak sangat buruk untuk kehidupan kita. Belanja impulsif membuat keuangan berantakan, dan dorongan konstan untuk scrolling media sosial menurunkan kualitas interaksi langsung kita di dunia nyata. Bukan cuma itu, social media juga ditengarai sebagai penyebab terbesar maraknya anxiety dan insecurity yang terjadi di generasi millennials serta Gen-Z.

Dalam gambaran yang lebih besar, semakin kita menuruti kepuasan instan itu, semakin besar kemungkinan kita teralih dari kepuasan yang lebih besar di depan sana.

Marshmallow Test

Seorang profesor dari Stanford University yang bernama Walter Mischel pada tahun 1960 pernah melakukan tes yang sangat sederhana namun masih sangat terkenal hingga kini. Namanya Marshmallow Test.

Tes ini dilakukan pada anak usia 4 hingga 6 tahun. Pertama, masing-masing anak diminta untuk duduk di sebuah kursi yang di depannya ada sebuah meja. Lalu diletakkan 1 buah marshmallow di atas meja itu.

Anak-anak itu diberitahu bahwa mereka boleh memakan marshmallow itu. Akan tetapi, jika mau menunggu 20 menit lagi, mereka akan mendapatkan 1 buah marshmallow lagi.

Hasil yang didapatkan dari setiap anak berbeda-beda. Ada yang langsung memakan marshmallow, ada juga yang dengan sabar menunggu untuk mendapatkan marshmallow kedua.

Dari sini bisa disimpulkan anak yang langsung memakan marshmallow adalah anak yang ingin sesuatu secara instan dan tidak bersedia berusaha lebih keras ntuk mendapatkan sesuatu yang lebih.

Sedangkan anak yang mau menunggu 20 menit untuk mendapatkan marshmallow kedua, adalah anak yang bersedia berusaha lebih keras — dalam hal ini menunggu — untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.

Tidak berhenti sampai disitu, penelitian lanjutan dilakukan kepada anak-anak tadi ketika mereka memasuki masa remaja. Penelitian ini pun menghasilkan fakta menarik. Anak-anak yang mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow pertama, memiliki nilai yang lebih tinggi di sekolah, terhindar dari obesitas, dan memiliki social skills yang lebih baik.

Beberapa puluh tahun kemudian, penelitian lanjutan kembali diadakan. Hasilnya semakin menarik. Anak-anak yang mampu menahan diri untuk tidak makan marshmallow lebih sukses daripada anak-anak yang lain.

Meski hasil dari penelitian lanjutan ini sempat mengundang pro dan kontra karena tidak melibatkan komponen lain, namun dari sini kita bisa melihat bahwa dengan mengorbankan instant gratification kita berpotensi mendapatkan hasil yang lebih memuaskan di masa depan. Sebaliknya, mengorbankan hasil yang besar untuk sekadar instant gratification malah bisa merusak masa depan kita.

Jadi, jika di masa sekarang kita bisa mulai mengurangi bermain games, hura-hura, scrolling socmed, menolak makan-makanan yang enak namun minim gizi, ini berarti kita sudah dalam usaha untuk mendapatkan kepuasan tertunda yang lebih besar. Seperti kesuksesan, skill baru, serta tubuh yang sehat di masa tua.

Berlatih Menahan Diri

Lalu bagaimana agar kita bisa melakukan itu semua? Tidak ada cara lain selain berlatih menahan diri. Pemeluk agama Islam mungkin sudah akrab dengan terminologi ini karena setiap tahun selalu dipertemukan dengan bulan yang menjadi sarana latihan delayed gratification, yaitu bulan Ramadan.

Di bulan Ramadan, orang Islam bukan hanya dilatih untuk bisa menahan diri dari dorongan melakukan tindakan-tindakan buruk, namun juga dilatih untuk mengendalikan hawa nafsu seperti amarah dan nafsu seksual. Bukan hanya itu, kita juga dilatih untuk menunda makan minum hingga tiba waktunya, yaitu pada saat Maghrib.

Berlatih menahan diri memang sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Namun jika baru dimulai ketika dewasa pun tidak apa, hanya akan terasa lebih berat. Karena ini seperti mematahkan habit yang sudah tertanam sejak lama.

Pada prinsipnya, jika kita bisa mengatur dan mengendalikan impuls-impuls kecil dalam pikiran kita, kita cenderung akan lebih sabar. Sabar dalam memecahkan segala permasalahan, juga sabar dalam menjalani suatu proses. Termasuk juga sabar menunggu sesuatu yang di luar kendali kita. Bukan cuma itu efeknya, kita juga jadi tidak mudah bosan dan cenderung lebih mampu menahan godaan.

Masih ada lagi. Orang-orang yang terbiasa menahan diri dari instant gratification cenderung tidak egois, baik egois terhadap diri sendiri apalagi ketika berhadapan dengan orang lain. Tidak heran jika mereka memiliki social skill yang lebih baik karena pastinya lebih mudah diterima dalam komunitas sosial.

Secara ilmiah, kemampuan menahan diri berkaitan erat dengan bagian otak yang disebut dengan prefrontal cortex — yang salah satu fungsinya adalah untuk memilah-milah berbagai macam impuls.

Tanpa kendali prefrontal cortex, kita hanya akan menjadi budak hawa nafsu dan ego kita sendiri. Inilah yang membuat fokus kita mudah terpecah sekaligus menjadi penghambat diri dalam meraih tujuan jangka panjang. Ini karena kita senantiasa menyabotase diri sendiri setiap kali berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik.

Ini mengapa mereka yang mabuk karena minum alkohol juga menunjukkan perilaku yang impulsif sebab bagian prefrontal cortex terganggu karena pengaruh alkohol.

Bosan Pangkal Kreatif

Ketika kita belajar menahan diri, biasanya kita akan dihadapkan pada yang namanya ‘bosan’ karena menunggu. Namun jangan khawatir, bosan itu baik. Mengapa?

Masih dari penelitian Marshmallow Test, hasil menunjukkan bahwa anak-anak yang berhasil menahan dirinya biasanya tidak hanya akan berdiri diam saja. Alih-alih, mereka melakukan sesuatu yang lain seperti memainkan jari-jarinya, dan ada pula yang bernyanyi.

Saat seseorang menjadi bosan, sebenarnya ia sedang berada pada kondisi liminal space, yaitu kondisi ‘di antara’. Keadaan ini dapat memancing seseorang membuat perubahan sangat berbeda.

Karena itu, kebosanan belum tentu buruk, justru menjadi sebuah keadaan yang sangat penting untuk mendorong manusia mencari sesuatu yang tidak biasa, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang kreatif.

Tidak mengherankan lagi ya, mengapa orang sabar disayang Tuhan.

--

--