Apakah Media Kebablasan Menyanjung Pesan Terorisme?

Sisi lain yang awam, cerita tentang diskusi peneliti dan praktisi media yang berawal dari tulisan, “Bagaimana Tribunnews Membantu Terorisme?”

Mohammad Andi Perdana
motau
7 min readMay 23, 2018

--

Saya terhenyak begitu Remotivi, pada 22 Mei 2018, merilis tulisan dengan judul “Bagaimana Tribunnews Membantu Terorisme?” Terdengar sangat tendensius, sekaligus lompat pada konklusi seolah-olah Tribunnews memang terbukti membantu terorisme dalam kasus pengeboman di Depok dan Surabaya, awal Mei silam.

Bagi saya yang awam, pertanyaan yang perlu lebih dulu dijawab dalam kasus kemarin adalah. “Apakah media membantu terorisme?” Pertanyaan selanjutnya adalah, “Media mana sajakah yang cenderung kebablasan meng-glorifikasi pesan teror?”

Saya sebut “kebablasan”, karena kata ini lebih aman, ketimbang menjustifikasi lewat kata “membantu”. Karena saya yakin, tak ada media yang punya itikad membantu aksi terorisme. Membantu terorisme adalah tuduhan yang serius dan pasti punya konsekuensi serius.

Makanya tak aneh bila belum sampai 2 X 24 jam, tulisan di Remotivi langsung ditanggapi — secara serius — oleh Pemimpin Redaksi Tribunnews, Dahlan Dahi. Perkara satu hal, Remotivi menempatkan Tribunnews sebagai satu-satunya media yang tak berbenah dalam etika pemberitaan terkait teror di Depok dan Surabaya.

Wajar bila Dahlan meradang, meski ia saya rasa menahan yang tak mungkin ia sampaikan secara gamblang dalam pembelaannya. Apa yang dituduhkan Remotivi tak hanya terjadi di perusahaan media yang dikelolanya. Mari kita cek:

Rabu, 9 Mei 2018, sehari selepas peristiwa pemberontakan napi teroris di Mako Brimob, Tribunnews menurunkan 30 artikel dengan judul yang memuat kata “Mako Brimob” — “Bagaimana Tribunnews Membantu Terorisme?” — Remotivi.

Pada Rabu, Detik.com menurunkan lebih dari 100 berita dengan judul yang memuat kata “Mako Brimob”. Tempo.co setidaknya menurunkan lebih dari 70 berita.

Remotivi memakai patokan, pada hari itu, polisi irit bicara. 30 artikel dalam satu hari, dalam kondisi polisi bungkam, adalah hal yang dinilai Remotivi sebagai “hil yang mustahal”. Kalaupun terjadi, berita yang disajikan berkutat seputar hal-hal yang kurang esensial. Soal kabar Ahok, hingga warga yang menonton Liga Inggris saat proses penyanderaan terjadi.

Dalam kacamata saya yang pernah mengenyam pendidikan jurnalistik selama enam tahun (karena tak kunjung lulus), Ahok punya nilai prominence yang kuat, ia layak mendapat pemberitaan. Kompas juga mengabarkan Ahok aman. Begitu pula Liputan6. Tak hanya Tribunnews yang melakukan hal itu.

Dalam kasus kedua, perlu diingat bahwa salah satu teknik dasar jurnalistik adalah reportase. Hal ini adalah pondasi yang dalam beberapa kesempatan tak perlu dikonfirmasi tapi wajib dipertanggungjawabkan. Ini bukan daging berita, melainkan bumbu lain dari pelaporan jurnalistik.

Remeh-temeh yang dipeperkan oleh Tribunnews, punya pesan yang tak bertentangan dengan panduan Dewan Pers dalam peliputan terorisme. Tribunnews, malah dalam contoh (anteng menonton televisi saat penyanderaan terjadi) yang ditulis Remotivi, memberi pesan yang berpihak pada korban masyarakat tidak takut pada teror.

Menurut saya, ada banyak contoh lain yang dilanggar Tribunnews (dan media lain) dalam kasus pemberitaan kemarin, tapi bukan dua contoh di atas.

Saya setuju bila Remotivi fokus pada pesan ini yang pernah disampaikan Marty Rudoy dalam “The Media Must Stop Encouraging Terrorists”:

The media shouldn’t say, “ISIS claims responsibility for the attack.” Instead, the media should say, “ISIS admits guilt for the attack.” — Martin Rudoy.

Media tidak boleh salah langkah, secara tak sengaja berpihak pada terorisme. Media tak boleh memberi ruang klaim dan pembelaan terhadap teror. Media perlu mengabaikan segala sesuatu yang secara kasat mata dan tak disadari sebagai “pesan terselubung teroris”.

Sangat telak bila Remotivi menekan Tribunnews dalam kasus pemberitaan “Teroris Ganteng”. Pemilihan topik yang cukup fatal, dan berpotensi memberi pesan yang salah, “Teroris pun bisa digilai wanita.” Ini adalah bentuk glorifikasi terhadap pelaku teror.

Namun pertanyaannya, “Apakah hanya Tribunnews yang menurunkan berita tersebut?” kumparan, merdeka, Suara, dan beberapa media nasional lain juga melakukan dosa yang sama, seolah terbius pada ketampanan pelaku teror.

Benar kata Dahlan, tuduhan Remotivi sangat tidak fair. Tribunnews tidak sendiri berfasik pada kegiatan jurnalistik. Media lain secara tidak sengaja, melakukan hal serupa. Akan menjadi debat yang produktif, bila diskusi ini kelak menghasilkan studi komprehensif tentang bagaimana seharusnya media memberitakan kasus terorisme.

Terlepas dari itu, saya setuju wajar bila Tribunnews mendapat tamparan paling keras. Dengan jaringan newsroom dari Sabang sampai Merauke, tanggung jawab moral Tribun, — sebagai media daring paling lekat dengan masyarakat daerah, — lebih besar dalam menghadapi bencana (termasuk teror) skala nasional.

Hal ini salah satunya disebabkan oleh sistem salin tempel berita Tribunnews yang berpotensi membiaskan makna dari peristiwa asli yang direportasekan. Sistem penyalinan berita ini bisa disimak ketika mencari nama penulis Muhammad Heychael di Google untuk khusus domain tribunnews.com (silakan dicoba menggunakan query “heychael site:tribunnews.com” di boks pencarian Google). Setidaknya ada lebih dari sepuluh berita sama yang disalin-tempel di subdomain Tribunnews.

Untuk menghindari peringatan duplikasi dari konten (tidak di kasus klarifikasi ini), biasanya antar biro Tribunnews mengubah lead dari sumber asli berita. Ibarat bermain Komunikata, narasumber di Malang berkata “Yanny”, salin-tempelan biro di Aceh bisa-bisa menyampaikan “Laurel” pada pembacanya.

Jadi bila Remotivi lebih jeli, dengan sistem ini Tribun bisa memproduksi lebih dari 30 berita per hari pada Rabu, 9 Mei 2018. Karena pencarian berdasarkan tag di Tribunnews, disekat berdasarkan subdomain. Misal, kumpulan berita tentang “Mako Brimob” di biro Malang, berbeda dengan kumpulan berita tentang “Mako Brimob” di biro Aceh.

Andai kata benar yang disampaikan Remotivi, dengan memiliki hampir 30 jaringan di seluruh Indonesia, 30 berita per hari tersebut punya potensi beranak-pinak menjadi 900 berita per hari dengan sistem duplikasi tersebut. Ini adalah strategi organik yang bagus untuk mengais pembaca. Namun ketika “kode merah” menyala, hasrat menguasai halaman pertama Google dan linimasa media sosial dengan duplikasi konten adalah ego yang perlu dikesampingkan. Masyarakat berhak untuk tahu kabar terbaru tentang teror, bukan dijejali berita-berita yang diproduksi ulang berbelas-belas kali.

Remotivi juga saya yakin mewakili sebagian masyarakat, kritis terhadap cara Tribunnews memberitakan teror. Namun eloknya ia bertanya ketimbang menuduh. Di sisi lain, Tribunnews juga eloknya memberi jawaban yang mencerahkan ketimbang sekadar membela diri. Saya nukil sedikit di sini:

“Soal teroris ganteng. Apa yang salah ketika reporter mewawancarai warga sekitar mengenai profil orang yang diduga pelaku teror? Itu juga merupakan informasi untuk memberitahu masyarakat, pelaku teroris tidak harus menggunakan atribut dan punya stereotip tertentu. Mereka bisa saja hidup di tengah masyarakat biasa dan berpenampilan apa saja. What’s wrong.” — Dahlan Dahi, Pemimpin Redaksi Tribunnews.com.

Tidak ada yang salah dengan reportase tersebut, tapi alangkah baiknya bila poin nomor tiga “Panduan Dewan Pers tentang Cara Pemberitaan Kasus Terorisme” tentang glorifikasi teror dicetak besar-besar dan digantung di newsroom Tribunnews.

Menyebut teroris ganteng dan dikagumi wanita, sama saja memberi simpati pada pelaku teror. Selain penulisan yang tidak dimiringkan dan kurang tanda tanya dalam pertanyaan, “What’s wrong?” di pembelaan Dahlan, jelas ada yang salah dalam poin tersebut.

Terlepas dari hal-hal minor tersebut, saya cenderung acuh dengan tindak-tanduk Tribunnews.com. Karena pelbagai cedera jurnalistik, ketidaknyamanan experience dan interface, serta penyelewengan kaidah bahasa yang marak ditemui di sana, saya tak pernah mengonsumsi berita serius di situs tersebut.

Bila ingin lebih mengena, ke arah sanalah harusnya kampanye Remotivi berfokus. Karena dengan berat hati saya harus katakan, mengkritik peliputan bom di Tribunnews, seperti mengkritik ESPN dalam peliputan Paris Fashion Week, atau mengkritik Vogue, dalam peliputan Piala Dunia 2018.

Karena hal itu, akan jauh lebih mengena jika Remotivi menggencarkan kampanye, “Baca yang serius, jangan di Tribunnews”.

Saya rasa, kampanye ini akan berumur lebih panjang dan bisa mengedukasi pembaca dalam skala lebih luas. Ketimbang asal menuduh, saya rasa harusnya kampanye ini tidak akan terlalu membuat petinggi Tribunnews naik darah.

Kampanye ini cocok untuk mengurangi “ketergantungan” masyarakat Indonesia terhadap Tribunnews. Metriknya jelas bisa diukur, pembaharuan artikelnya pun bisa dimonitor dan diunggah Remotivi secara berkala, tidak perlu lagi harus menunggu bencana, baru menyerang media tanpa rencana dan membabi buta.

Kritik yang tanpa rencana dan membabi buta inilah yang membuat Remotivi tak ubahnya seperti yang mereka tuduhkan pada Tribunnews. Bila mereka menyebut ada “afiliasi” secara tidak langsung dengan teroris, kritik mereka tak ubahnya memberi panggung sekaligus juga memberi ruang untuk Tribunnews membela diri.

Dengan armada se-Nusantara, pembelaan Tribunnews akan lebih menggema ketimbang selingkung Remotivi yang niche. Ini tak ubahnya bak kepanjangan episode dari glorifikasi teror yang dituduhkan Remotivi kepada Tribunnews.

Data yang bias dan tidak komprehensif, serta tanpa dasar menyebut Tribunnews sebagai “Tuyul Kompas”, membuat Remotivi berada di posisi yang sulit. Remotivi seperti David dengan kuda-kuda yang lemah, mau menyerang Goliath sang raksasa. Remotivi, yang harusnya punya ruang bernapas lebih lapang, seolah tak ingin kehilangan momentum, sehingga terburu-buru memublikasikan tulisan dari sudut pandang yang amat sangat subjektif.

Remotivi lupa pada mantra industri media dan hiburan, “There’s no such thing as a bad publicity.” Memberi publikasi tentang media yang dituduhnya sebagai “peng-glorifikasi teror”, tak ubahnya kepanjangan tangan dari glorifikasi terhadap teror itu sendiri.

Kasus-kasus seperti ini yang membuat sejumlah komunitas media di Amerika Serikat bersepakat untuk tidak memberitakan apapun tentang pelaku teror. Mereka lebih fokus bersimpati terhadap korban, kutipan pejabat berwenang, reportase fakta fundamental di lapangan, tanpa sekalipun mengangkat profil dan motif pelaku teror untuk menghindari secara tidak langsung meng-glorifikasi teror.

Ketimbang memojokkan Tribunnews, Remotivi bisa lebih dulu fokus pada media-media yang mereka sebut mulai berbenah menjadi lebih baik. Pasti ada paramater yang bisa diukur sehingga Remotivi berani menjadikan kata-kata ini sebagai introduksi tulisan:

Setelah gagap menghadapi berbagai aksi teror yang sempat melanda negeri, berbagai saluran media mulai berbenah menjadi lebih baik. Kecuali Tribunnews.com — “Bagaimana Tribunnews Membantu Terorisme — Muhamad Heychael.

Parameter tersebut diperlukan untuk membuat tolok ukur, media mana saja yang sudah aman memberitakan tentang teror. Dari sana, bila memang Tribunnews berada di urutan buncit dengan poin minus, akan diketahui faktor-faktor apa saja yang membuatnya tertinggal dari media lain. Niscaya hal ini bisa menjadi riset yang konstruktif bagi industri media nasional.

Tabik.

Penulis mengenyam pendidikan jurnalistik di salah satu universitas di Bandung, saat ini bekerja di salah satu industri media tanah air. Tulisan ini bersifat personal dan tidak memiliki keterkaitan dengan institusi dan instansi tempat penulis pernah berkuliah dan kini bekerja.

--

--

Mohammad Andi Perdana
motau

born too late to explore the earth, born too early to explore the galaxy