Batas Tipis Antara Normal Baru dan Seleksi Alam

Affan Mirza
Readme.md
Published in
8 min readJun 24, 2020
Penumpang berada di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) di Stasiun Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, Senin (23/3/2020). Bisnis — Eusebio Chrysnamurti

Di saat-saat angka tes positif COVID-19 kian melonjak tiap harinya dan mencetak rekor-rekor baru, masyarakat Indonesia terlihat sudah mulai jenuh untuk berkegiatan di rumah. Pasar-pasar semakin ramai, jalanan kembali macet setiap pagi dan sore, bahkan kegiatan Car Free Day setiap hari Minggu dibuka lagi. Berbagai sektor ekonomi juga tidak sanggup mengalami kerugian terus-menerus di masa pandemi ini. Masa ini dikenal pemerintah DKI Jakarta sebagai PSBB masa transisi, atau sering disebut-sebut khalayak sebagai “normal baru.” Namun, apakah fase ini sudah tepat waktunya untuk dilaksanakan?

Dikutip dari tirto.id, WHO mengingatkan setiap negara yang hendak melakukan transisi, pelonggaran pembatasan, dan skenario normal baru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:

  • Bukti yang menunjukkan bahwa transmisi COVID-19 dapat dikendalikan.
  • Kapasitas sistem kesehatan dan kesehatan masyarakat termasuk rumah sakit tersedia untuk mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak, dan mengkarantina.
  • Resiko virus corona diminimalkan dalam pengaturan kerentanan tinggi , terutama di panti jompo, fasilitas kesehatan mental, dan orang-orang yang tinggal di tempat-tempat ramai.
  • Langkah-langkah pencegahan di tempat kerja ditetapkan — dengan jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, dan kebersihan pernapasan.
  • Risiko kasus impor dapat dikelola.
  • Masyarakat memiliki suara dan dilibatkan dalam kehidupan new normal.

Untuk poin pertama, belum ada bukti bahwa transmisi kasus sudah dapat dikendalikan. Sebaliknya, total kasus per hari semakin meningkat dan hampir selalu mencatat angka 1000 kasus per hari. Ahmad Arif, seorang jurnalis Kompas menyampaikan bahwa terdapat kejanggalan dari data resmi yang diberikan oleh Pemkot Surabaya mengenai angka kematian akibat COVID-19 di Surabaya.

Di laman Gugas Jatim, tercatat hanya 3 PDP yang meninggal. Tetapi, menurut Ahmad terdapat total 697 PDP dan 43 ODP yang telah meninggal. Hasil ini menunjukkan bahwa masih banyak warga yang belum dites ataupun hasil tes yang keluar dengan waktu yang lama, dan bahwa data yang dicantumkan oleh pemerintah belum tentu valid.

Poin kedua juga masih belum dilaksanakan dengan baik. Surabaya, yang menjadi episentrum baru kasus positif COVID-19 di Indonesia terbukti sangat kewalahan dalam menangani pasien yang terus berdatangan. Dikutip dari Tempo, Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, menilai RSUD Dr. Soetomo Surabaya, salah satu rumah sakit di Surabaya tidak siap menjadi rumah sakit rujukan pasien Covid-19.

“RSUD Dr. Soetomo kurang melakukan persiapan yang matang dengan dijadikan RS rujukan Covid-19,”

Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh rumah sakit tersebut juga belum dipersiapkan dengan baik dan tidak ada langkah aksi yang terukur dan strategis. Direktur RSUD Dr Soetomo, Joni Wahyuhadi, mengatakan rumah sakit memang sudah kelebihan kapasitas dalam menangani kasus Covid di Surabaya.

Contact tracing juga terkesan disepelekan oleh pemerintah. Indonesia sudah mempunyai aplikasi lacak kontak bernama PeduliLindungi. Namun, aplikasi itu tidak akan berguna jika semua masyarakat Indonesia tidak menggunakannya. Proses lacak kontak oleh aplikasi ini terjadi ketika ada ponsel lain dalam radius bluetooth yang juga terdaftar di PeduliLindungi, maka akan terjadi pertukaran ID anonim antarpengguna perangkat. PeduliLindungi kemudian akan mengidentifikasi pengguna yang pernah berada dalam jarak dekat dengan orang dinyatakan positif Covid-19, PDP dan ODP.

Saat meluncurkan aplikasi itu via konferensi pers daring, Menkominfo Johnny G Plate memastikan data pengguna bakal tetap aman. “Aplikasi ini kami pastikan akan berguna untuk memastikan masyarakat mengetahui bahwa di lingkungannya ada potensi pembawa Covid-19,” kata dia.

Menkominfo sudah menyatakan bahwa aplikasi aman dan bisa diunduh. Namun, promosi aplikasi ini terkesan tidak serius. Meskipun telah menyentuh 5 juta unduhan sejauh ini, angka yang dibutuhkan masih sangat jauh, yaitu sekitar 78 juta penduduk, atau 25% dari masyarakat Indonesia. Angka ini juga belum menghitung berapa pengguna aplikasi yang benar-benar menggunakan aplikasi ini dan menyalakan fitur-fitur seperti Bluetooth dan Location Services. Jadi, sifat pengunduhan aplikasi ini seharusnya bersifat diwajibkan. Namun, tanyalah orangtua kalian yang mempunyai smartphone. Hampir dapat dipastikan bahwa mereka belum pernah mendengar aplikasi itu.

Melihat Data yang Tersedia

Ada 4 data yang dapat menjadi kunci dalam menghadapi pandemi ini. Yaitu kebijakan pengetesan, kebijakan pemerintah, persentase pengetesan yang hasilnya positif, dan persentase tes per 1000 orang. Data dikumpulkan dari ourworldindata.org per tanggal 23 Juni 2020. Disini, kita akan membandingkan data resmi dengan fakta sesungguhnya serta kaitan antardata.

  • Kebijakan Pengetesan

Indonesia tergolong kategori kuning, yaitu orang yang memiliki gejala dapat melakukan tes. Tetapi, fakta di lapangan mengatakan sebaliknya. Raditya, 31 tahun, misalnya. Kepada Alinea.id, pegawai di salah satu bank swasta itu mengaku kesulitan untuk rapid test Covid-19 meskipun sempat mengalami batuk dan demam tinggi. Padahal, ia sudah mengunjungi sejumlah rumah sakit rujukan yang ditunjuk pemerintah.

“Kata dokternya, fine-fine aja. Hanya flu biasa. Katanya, rapid test terbatas alatnya dan prioritasnya buat ODP (orang dalam pengawasan) dan PDP (pasien dalam pengawasan),” kata Radit saat dihubungi Alinea.id, Minggu (19/4) lalu.

Jika memang benar faktanya bahwa semua orang bergejala mirip COVID-19 boleh dites, Kebijakan ini juga belum cukup untuk menurunkan angka positif. Selain Indonesia, negara-negara lain seperti Meksiko, Swedia, dan berbagai negara di Afrika masih belum dapat menekan angka positif COVID-19.

Negara-negara berlabel biru seperti Taiwan, Malaysia, Selandia Baru, dan Korea Selatan sudah dapat menekan angka positif secara drastis, dengan rata-rata hanya 1 sampai 5 kasus perharinya. Negara berlabel biru juga belum tentu menurunkan angka positif. India, Afrika Selatan, dan terutama Amerika Serikat mengalami peningkatan secara eksponensial. Brazil, negara yang berlabel hijau dalam peta di atas juga mengalami peningkatan secara eksponensial. Mengapa anomali ini terjadi? Hal ini berkaitan erat dengan faktor penting lainnya, yaitu kebijakan pemerintah.

  • Kebijakan Pemerintah

Benar faktanya bahwa kebijakan pemerintah yang baik dapat menekan angka positif dengan jumlah signifikan. Hal ini dibuktikan oleh kehebatan respons Jacinda Ardern, Perdana Menteri New Zealand yang berhasil memberikan kebijakan yang baik sehingga selama 2 minggu, tidak ada kasus baru perharinya sebelum tanggal 16 Juni 2020 dimana terdapat 2 kasus baru yang sebenarnya kasus impor dari Inggris.

Namun, terdapat keanehan lainnya, bagaimana Malaysia yang relatif memiliki kebijakan yang sama dapat menekan angka COVID-19 secara drastis, sedangkan Indonesia mencatat rekor-rekor baru setiap harinya? Ini berkaitan dengan kejadian yang benar-benar terjadi di lapangan. Meskipun kebijakan Indonesia terlihat cukup baik di atas kertas, kenyataannya tidak berkata demikian. Windhu menyebut kondisi di kota Surabaya diperburuk perilaku masyarakat. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, warga Surabaya Raya dinilai sudah tak peduli dengan protokol kesehatan.

“Bahwa perilaku masyarakat kita ini [soal] pakai masker, social distancing, itu bukan makin baik, tapi makin memburuk,” ujar epidemiologi UNAIR Windhu Purnomo.

Windhu mengatakan sebelum pelaksanaan PSBB perilaku masyarakat sudah bagus. Mereka mengikuti anjuran memakai masker dan menjaga jarak. Namun belakangan masyarakat bergeser tak acuh.

India adalah negara yang bernasib hampir sama seperti Indonesia. Kebijakan pemerintah sama-sama sudah cukup baik, kebijakan pengetesan di India lebih baik. Tetapi, angka positif kasus COVID-19 kedua negara semakin tinggi. Dikutip dari livemint.com dengan translasi ke Bahasa, dr. Suresh Dharma dari Institute of Economic Growth, New Delhi mengatakan bahwa daerah kumuh yang padat dan sesak digabungkan dengan kondisi nutrisi buruk adalah penyebab utama kenaikan kasus. Di Indonesia, terutama di Jakarta daerah seperti ini sangat banyak.

Tidak semuanya dipengaruhi oleh pemerintah, kesadaran masyarakat seharusnya jadi kunci utama untuk memperlambat persebaran virus ini. Edukasi yang baik mengenai dampak virus ini kepada diri sendiri dan orang-orang terdekat juga harus dilaksanakan dengan baik. Media seperti internet seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Berbicara tentang pengaruh pemerintah, protokol komunikasi pandemi Indonesia harusnya sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik. Namun, sebuah analisis dari pengguna Twitter @firdzaradiany menyimpulkan bahwa kemunculan Merry Riana dan dr. Reisa sebagai wajah baru di televisi bertujuan untuk membuat rakyat tenang, bukan aman dan sehat. Berkas resmi panduan protokol komunikasi pun terkesan asal, yang seringkali mengutip pernyataan tokoh-tokoh dahulu yang bersifat figuratif dan tidak berbasis saintifik sama sekali. Ia berkata bahwa pandemi itu sebuah krisis, dan kesadaran akan krisis sangat diperlukan bagi masyarakat, bukan bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa dan malah mempertaruhkan nyawa.

  • Total tes perseribu orang

Jumlah pengetesan adalah hal yang krusial dalam mengetahui kasus positif. Diambil dari situs covid19.go.id, per tanggal 24 Juni 2020, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia hampir menyentuh angka 50.000. Sementara itu, semua sepuluh negara yang mempunyai populasi terbanyak di dunia (kecuali Indonesia dan Nigeria) sudah melampaui 100.000 kasus keatas. Melihat dari tindakan pemerintah dan perilaku masyarakat, sangat tidak mungkin bahwa kasus di Indonesia hanya berkisar di angka lima atau enam puluh ribu.

Pernyataan sebelumnya juga didukung oleh grafik di atas. Jika dibandingkan dengan negara lain, jumlah tes per hari di Indonesia sangatlah rendah. “Seharusnya penduduk dites kita hari ini jauh ketinggalan. Harusnya kita saat ini bisa mencapai 30.000 per hari. Orang dites kita per hari ini 11.000 per hari, Presiden bilang paling enggak sampai 20.000 per hari,” ujar Kepala Bappenas Suharso Monoarfa.

Perkembangan kasus hari ke hari pasti tidak sesuai dengan angka aslinya. Namun, perbedaan angka yang sangat jauh dapat mengubah persepsi masyarakat akan bahaya dan penularan virus ini yang aslinya sangat cepat dan berbahaya.

  • Persentase tes berjumlah positif

Grafik diatas bertujuan untuk mengukur seberapa efektif pengetesan dilakukan oleh setiap negara. Semakin tinggi persentase tes yang positif tidak berarti tes semakin efektif. Negara seperti Indonesia, Swedia, dan Amerika Serikat memiliki persentase yang tinggi karena negara-negara ini seringkali hanya mengetes orang yang sudah mempunyai gejala COVID-19. Sedangkan, banyak pasien COVID-19 yang tidak memiliki gejala. Oleh karena itu, negara seperti Selandia Baru, Taiwan, dan Korea Selatan memiliki angka kasus positif yang semakin kecil karena mereka mengetes secara proaktif dan acak sehingga orang tanpa gejala dapat tercatat sehingga menghentikan mobilitas orang tersebut. Jadi, tes acak seharusnya dapat dilakukan lebih sering lagi tanpa melihat gejala orang tersebut.

Setelah menelaah data-data beserta penyimpangannya, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk masa normal baru. Banyak negara lain yang telah membuka ekonomi karena kurva pertumbuhan kasus semakin stagnan dan menurun, bukan di saat kasus mencetak rekor baru setiap harinya. Jangan sampai “normal baru” terjadi karena tidak ingin mengorbankan ekonomi, yang akhirnya malah mengorbankan nyawa masyarakatnya sendiri.

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

--

--