Merenungi Pendidikan Indonesia di Bulan Mei

Pendidikan merupakan fondasi dari segala aspek kehidupan

Setiaki
Readme.md
7 min readMay 17, 2019

--

Rangkaian peristiwa di bulan Mei mengandung makna

Banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia pada bulan Mei yang sampai saat ini dikenang dalam suka maupun duka. Mulai dari memperingati hari kelahiran Bapak Pendidikan Nasional, Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), pada 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas); memperingati hari jadi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional; memperingati hari jadi Boedi Oetomo, organisasi pemuda pertama, pada 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas); dan mengenang peristiwa berdarah Mei ’98 dimana mahasiswa menjadi korban sekaligus menjadi salah satu aktor yang berhasil mengakhiri rezim Orde Baru dan memulai Era Reformasi pada 21 Mei.

Rangkaian peristiwa yang diawali dengan peringatan Hardiknas ini secara tidak langsung menyampaikan makna bahwa pendidikan adalah awal dari segala aspek kehidupan. Hari Buku Nasional sebagai peringatan berikutnya mengisyaratkan keutamaan membaca buku, kebiasaan yang telah melahirkan golongan cendekia bak Bapak Proklamator, Moh. Hatta, Harkitnas telah menjadi tonggak awal bagi golongan terpelajar dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia, dan Peristiwa Mei ’98 telah membuktikan bahwa golongan terdidik mampu melakukan perlawanan terhadap rezim yang zalim.

“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” ― Mohammad Hatta

Terdengar klise dan kebetulan bukan? Ya, mungkin pembaca sudah tahu, sudah bosan, atau bahkan sudah mual mendengar makna dari pendidikan. Namun, apakah makna klise tersebut sudah terwujud dalam pendidikan kita?

Pendidikan tidak hanya untuk kerja

“Pintar di sekolah → dapat pekerjaan bagus → kaya raya → bahagia di dunia”. Ya, itulah salah satu cita-cita penulis yang penulis yakini juga merupakan cita-cita para pembaca dan mayoritas pelajar di seluruh dunia. Tidak bisa dipungkiri bahwa motivasi ekonomi adalah salah satu motivasi kuat untuk menempuh pendidikan formal, non-formal, dan informal. Namun, apakah uang adalah tujuan utama pendidikan?

Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional dipertegas dalam Pasal 3 UU №20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Menurut Van de Werfhorst (2014), terdapat 4 fungsi pendidikan yaitu mempersiapkan tenaga kerja (the labour market task); menyeleksi dan mengarahkan siswa sesuai minat dan bakat dalam rangka mengoptimalkan produksi pengetahuan dan kemampuan (the optimisation task); menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap anak dari latar belakang yang berbeda dalam konteks etnis, sosial, dan ekonomi (the equal opportunities task); dan mempersiapkan warga negara yang aktif berpartisipasi dalam berbangsa dan bernegara (the socialization task).

Fungsi the labour market task tidak terkandung secara eksplisit dalam fungsi maupun tujuan pendidikan nasional. Namun, fungsi the optimisation task dan the socialization task terkandung secara eksplisit di fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan nasional sesungguhnya lebih menekankan fungsi the optimization task dan the socialization task dibandingkan the labour market task.

Namun, penulis melihat pendidikan Indonesia masih terlalu menitikberatkan pada fungsi the labour market task. Ketika industri memiliki keterbatasan dalam menilai kemampuan dan pengetahuan pelamar yang melimpah ruah, industri menggunakan nilai mentah untuk menyaring pelamar. Sistem pendidikan yang diterapkan pun seolah-olah mengikuti fenomena pasar tersebut. Alhasil pendidikan yang tercipta adalah pendidikan yang berorientasi nilai, bukan pendidikan yang berorientasi proses. Tren contek-menyontek hingga tren hafalkan-ujian-lupakan pun marak dilakukan. Pada akhirnya, terciptalah generasi yang bangga menenteng ijazah namun gelagapan dalam wawancara

Keadaan pendidikan Indonesia belum patut dibanggakan

Indonesia belum patut berbangga dengan keadaan pendidikan nasional saat ini. Memang betul pendidikan Indonesia mengalami perkembangan pesat secara kuantitas sejak era Orde Baru berakhir. Namun, keadaan pendidikan saat ini belum cukup membuat penulis berdecak kagum.

Secara kuantitas, mayoritas masyarakat Indonesia belum bisa merasakan pendidikan menengah atas. Masih terdapat 62% masyarakat dewasa yang tidak lulus pendidikan setingkat SMA, 17% tidak lulus pendidikan setingkat SD, dan 27% hanya lulus pendidikan setingkat SD (OECD, 2018).

Secara kualitas, pendidikan di Indonesia masih memprihatinkan. Walaupun jumlah masyarakat dewasa Indonesia yang melek huruf mencapai 96% (World Bank, 2018). Namun, 55% masyarakat Indonesia mengalami buta huruf fungsional, bisa membaca namun tidak bisa menjawab pertanyaan terkait teks tersebut (World Bank, 2018). Ditinjau dari studi internasional, mutu pendidikan Indonesia dalam membaca, matematika dan sains masih duduk di kursi belakang. Hasil studi PISA 2015 (2018) dari 68 negara menunjukan siswa Indonesia berumur 15 tahun menempati peringkat 62 dalam performa membaca, peringkat 60 dalam performa sains, dan peringkat 61 dalam performa matematika. Hasil studi TIMSS (2015) menunjukan siswa kelas 4 Indonesia menempati peringkat 44 dari 49 negara di bidang matematika dan peringkat 44 dari 47 negara di bidang sains.

Sumber: Asian Philanthropy Circle (n.d)

Mutu pendidikan rendah, apa dampaknya?

Pemilihan umum telah memasuki penghujung acara namun pemberitaan tentangnya tidak kunjung reda. Hoaks dengan keyword “Antek Cina”, “Sobat gurun”, “Anak PKI”, dan “Indonesia khilafah” rutin menghiasi timeline berita dan media sosial. Dikala “golongan terpelajar masa kini” sibuk tertawa menghardik rekannya yang belum cukup ilmu untuk terhindar dari hoaks berbungkus politik identitas, paduan hoaks dan politik identitas kian eksis karena masih banyak penggemarnya. Penggemar yang belum sanggup berpolitik gagasan dan kian disiram post truth yang memuaskan dahaga. Penggemar itu tidak lain dan tidak bukan adalah insan yang belum mengenal akrab pendidikan. Penulis nyaris tidak perlu membuktikan klaim penulis ini. Terlebih lagi, segala upaya pembuktian rawan disambut dengan komentar “cebong”, “kampret”, dan aneka hewan lainnya. Jika ingin mengetahui, penulis hanya bisa berpesan “silahkan googling sendiri”.

“Strong minds discuss ideas, average minds discuss events, weak minds discuss people.” ― Socrates

Beralih dari Pemilu, berikut penulis lampirkan video yang menggugah hati penulis untuk menulis tulisan ini. Video berikut merupakan contoh sempurna betapa pentingnya pendidikan.

Tentu permasalahan diatas belum mewakili seluruh masalah yang ditimbulkan oleh rendahnya mutu pendidikan. Maksud hati penulis ingin menyampaikan bahwa permasalahan yang timbul tidak melulu soal pendapatan per kapita yang rendah, rendahnya kualitas tenaga kerja, dan masalah ekonomi lainnya. Namun, rendahnya mutu pendidikan juga menimbulkan masalah dalam aspek sosial, politik, dan aspek lainnya.

Saran dari seorang siswa

“Kenapa gua harus belajar biologi ya padahal gua mau jadi programmer?”, “Ini ilmuan nemu rumus gini awal mulanya gimana yak? Dapet inspirasi dari mana?”, “Gua belajar ngitung matriks buat apa sih? Implementasinya apa?”. Pertanyaan tersebut merupakan segelintir pertanyaan yang masih penulis renungi dan diskusikan dengan teman penulis sejak SMA hingga saat ini. Beberapa pertanyaan telah terjawab, sisanya masih menghantui relung pemikiran penulis. Pernahkan pembaca merenungi pertanyaan yang sama?

Pendidikan nasional dambaan penulis adalah pendidikan yang mampu menjawab pertanyaan “mengapa materi/rumus ini seperti ini?”, “mengapa saya harus mempelajari materi/rumus ini?” dan “apa implementasi dari materi/rumus ini?”. Pendidikan yang tidak hanya menuntut siswa untuk menghafal dan menggunakan materi/rumus yang telah tersedia. Penulis berpendapat bahwa dengan menciptakan pendidikan yang mampu memberikan pemahaman dan gambaran penerapan dari materi/rumus yang diajarkan maka siswa akan lebih termotivasi dalam mempelajari materi/rumus tersebut. Rasa haus akan pengetahuan pun muncul, pendidikan berorientasi proses pun tercipta, tren hafalkan-ujian-lupakan pun perlahan musnah, dan pada akhirnya tercipta generasi yang bangga menenteng ijazah dan mahir berdialektika.

Sesungguhnya Kurikulum 2013 (K-13) telah memenuhi cita-cita penulis dalam salah satu kompetensi capaiannya yaitu kompetensi pengetahuan. Kompetensi pengetahuan adalah kompetensi siswa dalam memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahu tentang fenomena terkait sains, teknologi, seni, dan budaya yang dapat dilihat oleh mata (Widiyatmoko dan Shimizu, 2018). Oleh karena itu, tugas pemerintah saat ini adalah memastikan niat baik dari K-13 tersampaikan dengan baik.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu pula kualitas siswa tidak akan jauh dari kualitas guru. Sebaik-baik kurikulum tidak akan berguna apabila tidak disampaikan dengan baik. Namun, sangat disayangkan kualitas guru di Indonesia masih memprihatinkan. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukan pencapaian rata-rata nasional baru mencapai 53,02 atau di bawah standar kompetensi minimal yaitu 55,0 (Itjen Kemendikbud, 2018).

Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru, salah satu diantaranya adalah program sertifikasi, program peningkatan kualitas guru sekaligus melipatgandakan gaji guru. Namun, studi Bank Dunia menunjukan bahwa program sertifikasi tidak terbukti dapat meningkatkan kualitas guru dalam mengajar (World Bank, 2014 seperti dikutip dalam Asia Philanthropy Circle, n.d)

Ketika meningkatkan gaji tidak menunjukan peningkatan kualitas. Pemerintah harus mempertimbangkan aspek lain seperti membangun penghormatan dan penghargaan kepada guru. Pemerintah harus berupaya menjadikan pekerjaan guru sebagai pekerjaan yang menarik dan bergengsi. Pemerintah harus berupaya mengubah paradigma guru sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” dengan cara “beri tanda jasa kepada guru”.

Daftar Pustaka

Asia Philanthropy Circle. (n.d.). Katalis Penghidupan Produktif[PDF]. Asia Philanthropy Circle.

OECD. (2018). Education at a Glance 2018. Retrieved May 15, 2019, from http://gpseducation.oecd.org/Content/EAGCountryNotes/IDN.pdf

OECD. (2018). PISA 2015 — Results in Focus[PDF]. OECD.

Taufik, M. (2018, September 15). Mutu Guru Harus Terus Ditingkatkan. Retrieved May 17, 2019, from https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/mutu-guru-harus-terus-ditingkatkan

TIMSS & PIRLS International Study. (2015). TIMSS 2015 International Result in Science. Retrieved May 16, 2019, from http://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-results/timss-2015/science/student-achievement/

TIMSS & PIRLS International Study. (2015). TIMSS 2015 International Result in Mathematics. Retrieved May 16, 2019, from http://timssandpirls.bc.edu/timss2015/international-results/timss-2015/mathematics/student-achievement/

Van de Werfhorst, H. G. (2014). Changing societies and four tasks of schooling: Challenges for strongly differentiated educational systems. The International Review of Education — Journal of Lifelong Learning,60(1), 123–144. doi:https://doi.org/10.1007/s11159-014-9410-8

Widiyatmoko, A., & Shimizu, K. (2018). An overview of conceptual understanding in science education curriculum in Indonesia. Journal of Physics: Conference Series,983. doi:https://doi.org/10.1088/1742-6596/983/1/012044

World Bank. (2018, June). Indonesia Economic Quarterly June 2018 — Learning more, growing faster[PDF]. World Bank.

--

--