Muhammad Azis Husein
Readme.md
Published in
5 min readFeb 25, 2019

--

Post Truth Menyerang Lansia: Menelisik Daya Kritis Masyarakat Indonesia

Apa itu Post Truth?

Menurut Oxford Dictionaries, ‘post-truth’ diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang objektif.¹ Sederhananya post truth berarti situasi di mana seseorang atau sekelompok orang lebih percaya terhadap perasaan atau keyakinannya dibandingkan fakta-fakta yang objektif.

Post Truth Masa Kini

Apakah anda sering mendapat broadcast mengenai suatu berita atau informasi dari obrolan grup pada media sosial yang anda miliki? Apakah anda percaya dengan kebenaran dari berita atau informasi tersebut? Apakah anda turut serta dalam menyebarkan berita atau informasi tersebut tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dulu? Apakah anda tidak pernah mencari tahu sumber dari berita atau informasi tersebut? Tanpa kita sadari, terkadang kita masih bersikap acuh tak acuh terhadap informasi yang beredar di media sosial dan dunia maya. Akibatnya seringkali kita menerima begitu saja informasi atau berita yang datang dari orang yang terlalu kita percayai tanpa mengklarifikasi kebenarannya. Ataupun kita menolak begitu saja informasi yang datang dari orang yang tidak kita percayai tanpa menelisik lebih lanjut. Hal itulah yang disebut dengan post trurth.

Post truth sendiri memiliki kaitan dengan kata hoax. Menurut Nares, kata hoax berasal dari kata “hocus” yang berarti menipu. Hocus adalah mantra sulap yang merupakan kependekan dari “Hocus Pocus” yang mungkin sering kita baca atau dengar dalam serial Harry Potter.²

Seiring dengan berkembangnya teknologi serta semakin bertambahnya pengguna internet, hoax juga semakin berkembang. Berawal dari kabar yang disebarluaskan melalui mulut ke mulut, kini hoax berevolusi menjadi kabar yang disebarluaskan melalui dunia digital. Hoax kini menjadi lebih cepat menyebar karena kemudahan akses terhadap jaringan internet yang memiliki kecepatan tinggi.

Kaitan hoax dengan post truth adalah dengan berkembangnya hoax maka post truth juga semakin sering terjadi. Dengan beredarnya hoax di media sosial, seseorang terkadang malas untuk mencari sumber kredibelnya dan langsung mempercayai berita tersebut. Hal itu disebabkan kepercayaan yang berlebihan terhadap seseorang atau segolongan yang menyebarkan ataupun ada di dalam informasi tersebut. Di sisi lain juga terkadang seseorang menolak mentah-mentah terhadap suatu informasi. Hal ini disebabkan karena kebencian yang berlebih terhadap seseorang ataupun segolongan yang menyebarkan ataupun terdapat di dalam informasi tersebut.

Penyebaran Hoaks

Hoax atau informasi palsu kerap kali beredar melalui media sosial Whatsapp. Biasanya penyebar hoax adalah orang tua yang berumur lebih dari enam puluh lima tahun.³ Hal itu disebabkan oleh faktor kurangnya kemampuan literasi digital, telatnya mengenal internet serta media sosial, dan kemampuan kognitif yang semakin menurun seiring bertambahnya usia. Selain itu post truth era juga sangat mempengaruhi kalangan lansia. Kebanyakan lansia lebih percaya pada perasaan dan keyakinannya dibandingkan dengan fakta-fakta yang objektif.

(Sumber: https://tirto.id/masalah-orangtua-gemar-membagi-hoaksnbspdi-medsos-dan-whatsapp-decZ)

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa orang tua lebih rentan terjebak dengan informasi palsu atau hoax dibandingkan dengan remaja. Alasannya adalah karena remaja usia 19–28 tahun jauh lebih menghadapi perkembangan teknologi dibanding orang tua. Di samping itu, remaja juga jauh lebih cepat mengenal internet dan media sosial dibandingkan orang tua.

Penyebaran hoax terjadi atas banyak motif. Biasanya penyebaran hoax sering terjadi pada momen-momen tertentu. Misalnya momen politik seperti pemilu. Pada saat pemilu, banyak sekali yang menyebarkan berita-berita ataupun informasi-informasi yang tidak benar yang bertujuan untuk menyerang ataupun mendukung salah satu calon ataupun salah satu partai tertentu.

Hoax seperti ini kerap kali terjadi di media sosial maupun media online lainnya karena proses pemberitaan media online yang berbeda dengan proses pemberitaan media cetak. Media online banyak yang mengejar target hotline news sehingga terkadang seorang wartawan langsung menulis berita tanpa memverifikasi ke sumber resminya. Berbeda dengan media cetak yang harus melewati prosedur-prosedur tertentu sebelum berita dapat dicetak dan dipublikasikan.

(Sumber: https://dailysocial.id/post/laporan-dailysocial-distribusi-hoax-di-media-sosial-2018)

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa media yang paling sering digunakan untuk penyebaran hoax adalah Facebook. Tujuh dari sepuluh pengguna Facebook turut serta dalam proses penyebaran hoax. Setelah Facebook, menyusul Whatsapp sebagai media paling sering kedua yang digunakan untuk penyebaran hoax. Serta beberapa media lain yang juga sering digunakan untuk penyebaran hoax.

Pasal Karet

Sampai sejauh ini, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk mengatur segala bentuk penyebaran informasi dan transaksi dalam dunia digital. Khususnya untuk masalah hoax, dalam UU ITE diatur dalam pasal 28 UU Nomor 11 tahun 2008. Namun, menurut Menkominfo Rudiantara, UU ITE memang masih mengandung pasal karet.⁴

UU ITE kerap kali dijadikan senjata politik untuk menjatuhkan lawan. UU ITE juga berpotensi memberangus kebebasan berekspresi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya pelaporan kasus UU ITE pada tahun politik. UU ITE seharusnya menjadi pelindung publik. Akan tetapi UU ITE malah sering kali dijadikan alat untuk melawan publik.

Kesimpulan

Hoax kerap kali menyerang lansia. Biasanya hoax menyebar dari satu obrolan grup ke obrolan grup lainnya. Faktor penyebabnya adalah karena kurang siapnya lansia dalam menghadapi era teknologi. Daya kritis masyarakat Indonesia terhadap informasi palsu masih terhitung rendah. Dapat dilihat dari banyaknya hoax yang masih terus beredar dalam obrolan grup. Salah satu faktor penyebabnya adalah kemampuan literasi digital yang masih kurang. Sehingga menyebabkan masyarakat malas membaca atau mencari sumber informasi secara menyeluruh.

Catatan Kaki

  1. Folia, Rosa. “Kamus Oxford Nobatkan ‘Post-Truth’ Sebagai Istilah Tahun Ini, Ini Artinya!” IDN Times, IDN Times, 24 Feb. 2019, www.idntimes.com/news/world/rosa-folia/post-truth-dinobatkan-jadi-istilah-tahun-ini-karena-fakta-tak-lagi-dianggap-relevan/full.
  2. Brilio.net. “Ini Asal Usul Kata ‘Hoax’ Dan Bagaimana Bisa Dikenal Banyak Orang.” Brilio.net, www.brilio.net/life/ini-asal-usul-kata-hoax-dan-bagaimana-bisa-dikenal-banyak-orang-150520l.html.
  3. Suhendra, and Akhmad Muawal Hasan. “Masalah Orangtua: Gemar Membagi Hoaks Di Medsos Dan WhatsApp.” Tirto.id, Tirto.id, 14 Jan. 2019, tirto.id/masalah-orangtua-gemar-membagi-hoaksnbspdi-medsos-dan-whatsapp-decZ.
  4. Handayani, Maulida Sri, and Scholastica Gerintya. “Betapa Kecilnya Peluang Untuk Lepas Dari Jerat UU ITE.” Tirto.id, Tirto.id, 30 Aug. 2018, tirto.id/betapa-kecilnya-peluang-untuk-lepas-dari-jerat-uu-ite-cVUm.

--

--