UU ITE: Si Karet yang Bisa Menjerat Siapapun

Arkan S. Asfa
Readme.md
Published in
5 min readMar 15, 2019

Pernahkah anda mengkritik atasan anda melalui aplikasi chat? Atau anda pernah membuat komplain terhadap suatu instansi tertentu? Atau mungkin anda senang membuat memes tentang pemerintah? Berhati-hatilah, “Si Karet” dapat membuat anda merasakan dinginnya lantai hotel prodeo. “Si Karet” dalam tulisan ini merujuk kepada UU ITE yang akhir-akhir ini kembali menjadi perbincangan hangat. Pada awalnya UU ITE dirumuskan untuk menjadi koridor hukum bagi segala aktivitas di dunia siber terutama di bidang bisnis e-commerce.¹ Namun pada perkembangannya, UU ITE sedikit keluar dari tujuan utamanya dan dimanfaatkan menjadi alat politik untuk menyerang lawan bagi sebagian orang.

Mereka Yang Terjerat Si Karet

Beberapa hari lalu kita dikejutkan oleh penangkapan Robertus Robet, seorang dosen salah satu universitas negeri di Jakarta, yang dianggap menghina institusi TNI karena menyanyikan pelesetan Mars ABRI yang biasa dinyanyikan oleh mahasiswa pada masa orde baru.² Pada minggu yang sama pula, Seorang nelayan bernama Waisul Kurnia juga ditangkap karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian. Beliau sebenarnya hanya mengeluhkan pembangunan jembatan antara Pantai Indah Kapuk dengan Pulau C bekas reklamasi yang membuat para nelayan akhirnya harus melaut lebih jauh dari biasanya.³ Mereka berdua sama-sama dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengatur tentang pelarangan penyebaran informasi yang tujuannya untuk ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu.⁴

Selain mereka berdua, sebenarnya sudah banyak orang-orang yang bernasib sama karena pasal karet yang ada di UU ITE. Mulai dari orang biasa hingga tokoh yang biasa muncul di media besar. Pada Juni 2018, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) merilis jika sejak tahun 2008 telah ada 245 laporan kasus UU ITE.⁵ Melalui rilisan yang sama, mayoritas terlapor mempunyai latar belakang orang awam. Latar belakang terlapor selanjutnya yang paling sering merasakan pahitnya pasal-pasal UU ITE adalah aktivis, pelajar dan mahasiswa, guru dan dosen, dan jurnalis.⁶ Sedangkan latar belakang pelapor terbesar berasal dari kalangan pejabat pemerintah dan orang awam. Kedua latar belakang pelapor tadi sama-sama menyikat orang awam walau masing-masing mempunyai alasan yang sedikit berbeda.⁷ Selanjutnya SAFEnet melaporkan jika pelaporan kasus ITE meningkat drastis menjelang pemilihan umum. Di tahun 2014 terdapat 35 laporan kasus UU ITE dan terdapat 83 laporan kasus UU ITE pada tahun 2016.⁸ Angka ini tentu saja akan meningkat di tahun 2019 menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden.

Grafik latar belakang terlapor kasus UU ITE dari SAFEnet yang didominasi oleh masyarakat awam. Sumber : https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk diakses 13 Maret 2019

Bukti Jika Si Karet Bermasalah

Telah dijelaskan pada poin sebelumnya jika mayoritas orang yang terjerat oleh UU ITE merupakan orang awam yang mungkin tidak mengetahui isi dari UU ITE. Mayoritas dari mereka hanya memberikan kritik atau komplain kepada instansi tertentu dan ketika kritik tersebut dianggap mengganggu akhirnya mereka harus dibungkam dengan pasal karet yang ada di UU ITE. Contohnya pada kasus Muhadkly MT yang menuangkan keluh kesahnya selama ia tinggal di sebuah apartemen melalui sebuah blog. Muhadkly menceritakan pengalamannya agar orang lain tidak merasakan kerugian yang dia rasakan. Namun, Muhadkly malah dianggap mencemarkan nama baik apartemen tersebut dan sempat menjalani proses hukum.⁹ Ini menjadi bukti jika tidak semua orang bisa menerima kritik dari orang lain.

Contoh lain dari keabsurdan UU ITE terdapat pada kasus Ibu Nuril. Ibu Nuril dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE karena merekam perkataan dari salah satu atasannya yang menceritakan perbuatan asusilanya kepada Ibu Nuril. Rekaman tadi lalu menyebar karena salah satu rekan kerja Ibu Nuril menyalin rekaman yang ada di handphone Ibu Nuril saat ia pinjam. Walaupun Ibu Nuril bukan penyebar dari rekaman percakapan tadi, tetapi atasannya yang terlanjur sakit hati tetap melaporkan Ibu Nuril. Selanjutnya, Ibu Nuril lah yang harus mendekam di balik jeruji besi setelah sebelumnya dipecat oleh atasannya tadi.¹⁰ Kasus Ibu Nuril membuktikan walaupun anda bukan penyebar utamanya, anda tetap bisa dipidanakan dengan menggunakan UU ITE.

Mengapa UU ITE Perlu Direvisi (Lagi)

Sebenarnya UU ITE pernah direvisi satu kali pada tahun 2016. Namun, revisi tersebut dianggap tidak menyelesaikan pasal-pasal karet yang ada di UU tersebut. Ada dua pasal di bab iv UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet dan paling sering digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang. Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan juga Pasal 28 ayat (2) yang mengatur tentang rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan. Kedua pasal ini tidak memiliki parameter yang jelas sejauh mana sebuah ucapan bisa disebut penghinaan atau disebut sebuah ujaran kebencian. Selain itu ketidakadaan parameter yang jelas juga dapat menghambat kebebasan berekspresi seseorang yang telah diatur di Pasal 28 E Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan kedua.

Sangat disayangkan ketika UU ITE seharusnya menjadi sebuah kepastian hukum di dunia siber malah menjadi alat untuk menjatuhkan orang lain. Robertus Robet, Waisul Kurnia, Muhadkly, dan Ibu Nuril hanyalah sebuah contoh kecil dari kekejaman pasal karet UU ITE. Oleh karena itu revisi UU ITE perlu dilakukan kembali untuk menyelesaikan pasal karet yang ada dan menjaga hak kebebasan berekspresi bagi siapapun. Selain itu, orang Indonesia sepertinya juga perlu belajar menerima kritik walau sepahit apapun kritik tersebut.

Catatan Kaki

  1. Ramadhian Fadhillah, “UU ITE masih rawan dijadikan senjata penguasa & pemilik modal” Merdeka.com, December 5, 2016, 1, accessed March 13, 2019, https://www.merdeka.com/peristiwa/uu-ite-masih-rawan-dijadikan-senjata-penguasa-pemilik-modal.html
  2. Adi Briantika, “Polisi: Penetapan Robet Sebagai Tersangka Berdasar 3 Alat Bukti” tirto, March 8, 2019, 1, accessed March 13, 2019, https://tirto.id/polisi-penetapan-robet-sebagai-tersangka-berdasar-3-alat-bukti-diSv
  3. Adi Briantika, “Duduk Perkara Penangkapan Nelayan yang Kritik Jembatan Reklamasi” tirto, March 13, 2019, 1, accessed March 13, 2019, https://tirto.id/duduk-perkara-penangkapan-nelayan-yang-kritik-jembatan-reklamasi-djdo
  4. Ibid.
  5. Scholastica Gerintya, “Jerat UU ITE Banyak Dipakai oleh Pejabat Negara” tirto, October 18, 2018, 1, accessed March 13, 2019, https://tirto.id/jerat-uu-ite-banyak-dipakai-oleh-pejabat-negara-c7sk
  6. Ibid.
  7. Ibid.
  8. Scholastica Gerintya, “Betapa Kecilnya Peluang untuk Lepas dari Jerat UU ITE” tirto, August 30, 2018, 1, accessed March 13, 2019, https://tirto.id/betapa-kecilnya-peluang-untuk-lepas-dari-jerat-uu-ite-cVUm
  9. Safenet Voice, “Kasus Acho” SAFEnet Voice, August 05, 2017, 2, accessed March 13, 2019, http://id.safenetvoice.org/2017/08/kasus-acho/
  10. Safenet Voice, “Kasus Ibu Nuril” SAFEnet Voice, July 07, 2017, 1, accessed March 13, 2019, http://id.safenetvoice.org/2017/07/kasus-ibu-nuril/
  11. Indonesia. Undang-undang №11 Tahun 2008 : Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. [Jakarta]

--

--