Realitas Hegemoni Media Di Indonesia

Yusuf A Prihantoro
yusuf a prihantoro
Published in
2 min readOct 9, 2018

Berbicara terkait hegemoni media merupakan topik yang selalu hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Apalagi hal tersebut berkaitan dengan penguasa infomasi yang menjadi penggerak arus informasi oleh hanya segelintir orang penguasa media massa. Dengan adanya segelintir orang yang menguasai media massa atau ruang publik, tentu bukan suatu hal yang positif atau elok di dengar. Karena dengan adanya penguasaan tersebut akan mengakibatkan ketimpangan informasi yang konsekuensinya akan menghadirkan siapa mengatur siapa. Penguasaan media ini akan memaksa seseorang menerima seutuhnya info yang diterima dari penguasa media dan harus mengerjakan apa yang diinginkan oleh penguasa media. Seperti yang diutarakan oleh (Altheide, 1984:477) bahwa mereka yang berkuasa akan menentukan apa yang harus dipikirkan dan dikerjakan oleh masyarakat, yang wujudnya akan nampak dalam perilaku budaya.

Soal budaya menjadi penting karena aspek ini akan mampu mengubah cara hidup masyarakat. Pada titik ini tidak heran jika pembicaraan tentang hegemoni media kemudian ditarik dalam persoalan penjajahan budaya dari kelompok budaya yang lebih kuat ke kelompok budaya yang lebih lemah, terutama akibat dari ketimpangan arus informasi (Altheide, 1984; Park, 1998). Sebagai konsekuensinya, para praktisi atau aktivis media “melakukan perlawanan” terhadap kondisi ini dengan menggunakan frame Gramscian yang melihat media alternatif sebagai counterhegemonic dalam upaya mempengaruhi makna sosial dan budaya suatu pesan di masyarakat (Huesca, 1995:151)

Realitas Arus Informasi Yang Timpang di Indonesia

Dengan adanya penguasaan media yang begitu kuat oleh segelintir orang, jelas akan akan menghadirkan ketidakseimbangan arus informasi yang sangat signifikan. Dan itu tentu akan sangat mengancam demokrasi yang ada di Negara tersebut. Seperti contoh Negara Indonesia sebagai salah satu Negara yang sedang berkembang, kita bisa melihat dan merasakan sendiri betapa timpang dan tak seimbangnya arus informasi yang berkaitan dengan demokrasi dan terutama soal jalannya kekuasaan dan terbatasinya partisipasi dari masyarakat.

Contoh yang terjadi di Indonesia, realitas hegemoni media tak terlepas dari dua aspek, yaitu factor ekonomi dan factor politik. Faktor ekonomi erat kaitannya betapa ketergantungannya pemerintah Indonesia terhadap Negara-negara barat yang sudah maju di bidang ekonominya. Sebagai salah satu klien, Indonesia mau tidak mau mengikuti apa yang telah menjadi garis kebijakan ekonomi mereka. Ideologi pasar ini merasuk pula ke bidang media di mana media massa telah berfungsi sebagai sebuah industri, melalui produksi pesan yang dipasarkan secara komersial. Kondisi demikian mau tidak mau menggiring bidang media massa untuk berorientasi memperoleh keuntungan dagang. Orientasi pada keuntungan semacam ini merupakan gambaran dari model kapitalis pasar. Aspek kedua hegemoni media ini menyangkut soal politik, yang sekaligus bertautan dengan soal penguasaan sumber daya (ekonomi). Kebijakan para pemimpin negara berkembang untuk mengekor pembangunan negaranegara Barat telah banyak dikritik. Model Barat dengan kapitalis pasarnya oleh Kaufman (1997) dinyatakan sudah gagal mendorong kemakmuran di negaranegara sedang berkembang seperti Indonesia.

--

--