PSBB : Persatuan Sepak Bola B…(isi sendiri)

Mohammad Salman Subki
Rehat Sejenak
Published in
7 min readJun 28, 2020

Pada tahun 2020 ini, sudah genap 10 tahun jarak antara diri saya dengan salah satu masa menyenangkan dalam hidup saya, yaitu Sekolah Dasar. Masa dimana kita hanya berpikir untuk bermain-main saja. Menurut saya, 2010 adalah salah satu tahun terbaik di jagat raya (hahaha lebay kali). Mulai dari meledaknya Facebook (dengan game legendarisnya Ninja Saga dan Pet Society), tren hape Blackberry, World Cup 2010 (jangan lupa dengan kontroversi bola Jabulani dan kebisingan Vuvuzela), Gayus Tambunan beserta lagunya, hingga Event yang (mungkin) menjadi salah satu yang diingat oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia terutama penggemar sepak bola. Event itu tak lain dan tak bukan adalah AFF 2010. Indonesia yang menjadi salah satu tuan rumah tampil atraktif dengan terobosan barunya, menggunakan jasa pemain naturalisasi.

Christian Gonzales dan Irfan Bachdim menampilkan permainan memukau serta membombardir pertahanan lawan. Ditambah dengan kecepatan Okto Maniani serta umpan elegan Ahmad Bustomi, Indonesia berhasil melenggang ke partai final untuk menghadapi Malaysia. Hal ini menumbuhkan harapan tinggi bagi rakyat Indonesia untuk meraih gelar juara. Apalagi Malaysia adalah lawan Indonesia di fase grup dan kita berhasil menang telak 5–1. Sialnya, partai final ini adalah malapetaka. Di partai final leg 1 (yang kabarnya ditonton Gayus), Indonesia kalah 3–1 atas Malaysia. Memang benar saat itu pemain Indonesia dirugikan oleh sinar laser yang digunakan fans Malaysia. Namun, hal itu justru membuat mental para pemain down. Pada partai final leg 2 di Jakarta, kemenangan 2–1 tidak cukup untuk membawa Indonesia menjadi juara AFF 2010.

Kesedihan para pemain Indonesia

Selepas Event tersebut, pemain naturalisasi seolah-olah menjadi harapan baru untuk persepakbolaan nasional. Nama-nama beken di kancah Indonesia Super League (ISL) mulai bergiliran masuk ke timnas. Sebut saja Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Bio Paulin serta masih banyak lagi. Ada yang (cukup) berhasil, ada pula yang gagal. Hingga saat inipun, kita masih menggunakan jasa pemain seperti Beto dan Stefano Lilipaly. Gelombang pemain naturalisasi ini menjadi pro kontra di kalangan masyarakat. Kelebihannya dapat meningkatkan kualitas Timnas kita, kekurangannya yaitu dapat menutup peluang pemain asli Indonesia agar dapat bersaing dan masuk ke Timnas. Namun, mari kita pikirkan. Apakah pemain naturalisasi benar-benar dapat meningkatkan kualitas Timnas? Apakah selama 10 tahun terakhir timnas kita mengalami peningkatan prestasi? Jawabannya disimpan dalam hati aja ya…

Pada tahun 2011, muncul kompetensi sepak bola tandingan bernama Indonesia Premier League (IPL). Liga ini hadir untuk mengusung profesionalisme dan industrialisasi dalam sepak bola nasional. Pada awalnya IPL ditentang penyelenggaraannya oleh PSSI. Namun setelah melewati proses yang ribet (melibatkan FIFA segala), akhirnya IPL dan ISL berjalan bersamaan. Saat itu, memang PSSI yang dipimpin Nurdin Halid sedang carut-marut dan berusaha menutup diri untuk memperbaiki sepak bola. Akibat adanya dualisme liga ini, klub-klub pun ikut-ikutan mengalami dualisme. Persija, Persebaya, Arema, dan PSMS Medan adalah klub ISL yang mengalami dualisme. Lucunya, di IPL muncul klub baru yang ‘mengadopsi’ nama klub Eropa. Berikut saya sajikan gambar klub tersebut dan klub ‘asli’ nya di Eropa.

Tangerang Wolves & Wolverhampton
Real Mataram & Real Madrid

Gimana? Mirip bukan?

IPL sama sekali tidak menciptakan iklim sepak bola yang profesional, karena ujung-ujungnya menyangkut kepentingan orang-orang dalam PSSI itu sendiri. Lagipula rakyat Indonesia sudah kadung jatuh cinta dengan ISL Saya dan teman-teman saya pun masih suka bernostalgia siapa saja pemain hebat di masa-masa itu. Untuk saya sendiri, momen paling berkesan dari ISL adalah Perang Bintang. Perang Bintang adalah Pertandingan yang mempertemukan juara kompetisi dengan pemain favorit pilihan masyarakat. Bagi saya Perang Bintang ISL hanya bisa disandingkan dengan NBA All-Star. Hahaha.

Kisruh persepakbolaan nasional tidak hanya disitu. Pada 2015 Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi, mengeluarkan Surat Keputusan untuk membekukan PSSI. Hal ini terjadi karena ketua PSSI saat itu, La Nyalla Mattalitti, mengabaikan teguran tertulis dari Menpora sebanyak 3 kali. Dampak dari pembekuan ini sangat banyak, mulai dari dihentikannya QNB League (Liga Indonesia saat itu), penunggakan gaji para pemain karena tidak bermain di kompetisi, hingga puncaknya yaitu FIFA menjatuhkan sanksi dan melarang Timnas Indonesia untuk berlaga di ajang Internasional. Jujur saja saat itu saya sudah bodoamat dengan kondisi sepak bola Indonesia. Nonton Liga Indonesia saja sudah nggak pernah, boro-boro Timnas. Untungnya pembekuan ini hanya berlaku 1 tahun.

Kompetisi Liga Indonesia mulai menemui titik terang setelah pembekuan. Sistem kompetisi yang jelas (setelah carut-marut ISL & IPL serta ketidakjelasaan QNB League) kembali menarik perhatian penggemar sepak bola Indonesia. Para sponsor juga berdatangan untuk mendukung liga ini. Mulai dari Torabik*, Travel*ka, Bukal*pak, G*jek, hingga yang terbaru saat ini adalah Shope*. Dengan adanya kompetisi ini, klub-klub dapat bersaing untuk meraih gelar juara dan bersaing untuk tampil di kompetisi Asia. Pemain-pemain ‘baru’ macam Marko Simic, van der Velden, Paulo Segio, dan Marc Klok mempertontonkan aksi menarik di lembaran baru Liga Indonesia. Bahkan kita juga kedatangan Peter Odemwingie dan Michael Essien! Meskipun ada sisi kontroversial juga sih. Banyak muncul klub baru akibat dari ketidakjelasan kompetisi terdahulu. Sebut saja Bali United, Bhayangkara FC, dan Madura United. Banyak penggemar bilang bahwa klub-klub itu seharusnya tidak langsung bisa tampil di Liga 1, tetapi harus ‘berjuang’ dari kasta bawah terlebih dahulu. Padahal menurut saya 3 klub tersebut tampil bagus loh. Saya saja ngefans dengan Bali United. Mereka punya sistem manajemen yang bagus dan skuat yang mumpuni. Bisa dibilang mereka ini klub yang ‘kekinian’. Terlihat dari marketingnya di Instagram dan websitenya, bahkan mereka juga punya Bali United TV. Btw, kalo kalian mau beli saham Bali United bisa banget loh!

Lambang Kompetisi Sepak Bola Indonesia terbaru

Kembali lagi ke Timnas. Di Tahun 2020 muncul kisruh terbaru di tubuh PSSI. Baru-baru ini pelatih Timnas asal Korea Selatan, Shin Tae-yong, mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Nih kalian bisa liat sendiri, saya kutip dari Twitter @panditfootball.

Pernyataannya diatas disinyalir berasal dari keengganan PSSI untuk menggelar pemusatan latihan di Korea Selatan. Shin Tae-yong khawatir dengan kondisi di Indonesia terkait virus corona. Hal ini membuat PSSI meradang. PSSI kemudian membuat Satuan Tugas (Satgas) Timnas Indonesia, untuk memantau kondisi Timnas. Adanya Satgas ini dinilai hanya untuk menjatuhkan Shin. Ditambah lagi ia diserang oleh Indra Sjafri yang sekarang menjabat Direktur Teknik PSSI. Indra menganggap Shin Tae-yong tidak profesional dan tidak etis.

Padahal, Shin Tae-yong bukanlah pelatih sembarangan. Ia pernah memenangkan AFC Champions League (kompetisi level klub tertinggi di Asia) pada 2010 dan saat menjadi pelatih Korea Selatan ia mengalahkan Jerman di Piala Dunia 2018. Meskipun Korea Selatan nggak berhasil lolos 16 besar, namun mengalahkan jerman adalah sebuah kehebatan dimana Jerman adalah juara Piala Dunia sebelumnya (Gol Son Heung-Min juga cukup ikonik menurut saya).

Drama ini mengundang simpati dari penggemar sepak bola. Para netizen setuju untuk mendukung Shin dan banyak yang menganggap PSSI tidak becus dalam menangani pelatih (Apa kabar ya Luis Milla?). PSSI dianggap ‘pengennya instan’ dalam membangun sepak bola Indonesia. Entah itu untuk memenuhi ekspektasi suporter atau memang keinginan petinggi PSSI. Kalau saya sih, menganut aliran Sir Alex Ferguson (hahaha iya saya bikin sendiri). Dia saja butuh waktu kurang lebih 4 tahun untuk mendapat trofi pertama. Setelah itu ia sukses membentuk dinasti Manchester United yang sangat melegenda. Fans Liverpool bisa sabar kok nunggu 30 tahun untuk trofi Liga Inggris, masa kita nggak bisa sabar?

Kabar terakhir, pihak Shin dan PSSI udah baikan kok. Jadi aman-aman aja ya ini netizen. Cuma kesalahan komunikasi aja sih katanya. Ya semoga Shin Tae-yong benar-benar bisa memberikan dampak signifikan dan membawa banyak prestasi ke Timnas. Amiiin…

Saya menulis artikel ini semata-mata karena saya peduli dengan kondisi Timnas Indonesia. Sejak saya SD hingga saya kuliah nampak tidak ada prestasi Timnas yang bisa dibanggakan. Tapi saya salut dengan pembinaan pemain muda Indonesia saat ini. Banyak nama-nama yang muncul ke permukaan dan memiliki skill cukup bagus. Saya juga berharap banget Egy Maulana Vikri bisa berkembang di Eropa sana. Program pembinaan pemain muda harus terus dipantau agar mereka bisa memaksimalkan potensi terbaik hingga ke jenjang teratas. Langkah PSSI untuk mengambil pelatih asing juga sudah bagus, hanya saja kita perlu kesabaran dan kegigihan. Butuh waktu untuk memoles talenta-talenta yang ada hingga menjadi tim yang solid. PSSI perlu belajar banyak dari Thailand untuk perbaikan liga, pembinaan pemain muda, dan perbaikan organisasi.

Semoga di dasawarsa baru ini sepak bola Indonesia terus berbenah dari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Teruslah maju, Indonesiaku!

--

--