Duka Dunia Sepak Bola di Udara

PWK KMPN ITB
Rekon
Published in
4 min readMar 24, 2021

Oleh: Muhammad Furqon (13619062)

Dunia penerbangan dan sepak bola adalah dua hal yang berhubungan erat baik dari sisi logistik maupun finansial. Bukan hal yang sulit untuk menemukan klub besar yang disponsori maskapai-maskapai ternama. Maskapai “Emirates” telah menjadi bagian yang amat lekat dengan Arsenal, bahkan ikut mendanai pembangunan stadion baru mereka pada tahun 2004. “Etihad Airways” menjadi simbol yang lekat dengan Manchester City, klub raksasa asal Manchester. Demikian juga dengan Real Madrid, AC Milan, Benfica, dan klub-klub raksasa lainnya. Dengan derasnya pendanaan dari maskapai - maskapai tersebut, klub dapat membangun skuat yang mumpuni dengan cara membeli pemain - pemain yang berkualitas, menunjuk pelatih yang berpengalaman, serta membangun fasilitas pelatihan yang mutakhir. Dengan berkembangnya sebuah klub, gelar dan trofi lebih mudah untuk diraih. Sebutlah Manchester City. Sejak bergantinya sponsor utama mereka dari Thomas Cook ke Etihad Airways, mereka telah menjuarai 10 gelar, termasuk empat trofi Premier League.

Namun seperti koin yang memiliki dua sisi, dunia penerbangan juga membawa duka bagi dunia sepak bola. Kebutuhan klub-klub untuk melakukan perjalanan dengan pesawat untuk menghadiri pertandingan - pertandingan domestik dan internasional memang tak dapat dihindari. Apalagi dengan pesatnya internasionalisasi dan komersialisasi sepak bola. Namun seiring waktu, beberapa kecelakaan pesawat udara telah merenggut nyawa dan harapan para suporter yang menyertainya.

Munich Air Disaster [The Mirror, UK]

Munich Air Disaster yang terjadi pada 6 Februari 1958 merupakan kecelakaan besar yang masih diperingati dunia sepak bola hingga saat ini. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1958 ketika Manchester United sedang merajai sepak bola Inggris dan Eropa berkat kelihaian manajer Matt Busby. Dijuluki “The Busby Babes”, Skuat Manchester United pada saat itu diisi pemain-pemain muda berbakat yang sedang dalam perjanalan pulang dari Belgrade, Yugoslavia (sekarang Serbia) setelah melakoni pertandingan perempat final European Cup (sekarang Champions League) melawan Red Star Belgrade. Skuat tersebut bertolak dari Belgrade dan melakukan perhentian di Munich untuk pengisian bahan bakar, karena penerbangan langsung Belgrade-Manchester melebihi jangkauan pesawat G-ALZU “Elizabethan”-class Airspeed Ambassador. Setelah melakukan pengisian, pesawat melakukan dua upaya lepas landas namun keduanya terpaksa dibatalkan karena masalah teknis. Semua penumpang dikembalikan ke bandara setelah upaya kedua. Sialnya, cuaca Munich berubah secara drastis dengan diiringi hujan salju yang lebat. Walaupun telah disarankan untuk menunda penerbangan, James Thain, pilot pesawat tersebut tetap berupaya untuk melanjutkan penerbangan untuk menghindari penumpukan jadwal. Di upaya lepas landas ketiga, pesawat tergelincir di ujung landasan dan menabrak pagar bandara serta perumahan penduduk di sekitarnya. Kecelakaan tersebut merenggut nyawa 23 penumpang termasuk 8 pemain Manchester United, 3 staf klub, dan 2 jurnalis. Petugas penyidik menyimpulkan bahwa kelalaian kapten pesawat untuk melakukan de-icing pada sayap pesawat setelah turunnya salju menjadi penyebab kecelakaan ini.

Tragedi terbaru yang masih melekat di benak para penggemar sepak bola adalah Tragedi “Chapecoense”. Kecelakaan pesawat LaMia 2933 pada 28 November 2016 silam merupakan salah satu tragedi terkelam dalam sejarah sepak bola. Chapecoense, sebuah klub asal kota Chapeco dengan pencapaian mengejutkan di Copa Sudamerica. Seluruh kota mengharapkan kemenangan dalam partai final leg pertama di Medellin, Kolombia melawan Atletico Nacional. Tragisnya, tim tersebut tidak pernah mencapai Medellin akibat kelalaian kru kokpit dan buruknya manajemen maskapai. Pesawat Avro RJ85 yang ditumpangi skuat Chapecoense kehabisan bahan bakar diatas La Union, Kolombia dan jatuh. 71 orang penumpang wafat, menyisakan 6 orang yaitu Jackson Follmann, Alan Ruschel, dan Neto serta 2 penumpang dan 1 awak kabin.

Tragedi “Chapecoense” [bbc.co.uk]

Maskapai LaMia yang disewa Chapecoense saat itu sedang dilanda krisis keuangan akibat buruknya pelayanan dan manajemen sehingga terpaksa melakukan pemangkasan anggaran. Dalam upaya memangkas anggaran, mereka juga mengurangi anggaran bahan bakar dan mengharuskan kru kokpit untuk beradaptasi. Kedua kru kokpit yang bertugas saat itu sudah terbiasa terbang dengan bahan bakar minim dan selalu berhasil terbang dari Medellin ke Santa Cruz.

Masalahnya, Santa Cruz berada di lembah sedangkan Medellin berada di bukit. Pendakian ekstra yang harus dilakukan pesawat menyebabkan penerbangan Santa Cruz ke Medellin membutuhkan bahan bakar lebih banyak dibandingkan penerbangan dengan rute sebaliknya. Peringatan bahan bakar bahkan sudah menyala jauh sebelum pesawat memasuki daerah udara Medellin. Tak ayal, mesin pesawat berhenti dan jatuh ke hutan hujan La Union.

Tragedi - tragedi tersebut membuktikan bahwa sekecil apapun kelalaian dalam operasi pesawat terbang dapat memicu sebuah bencana yang tragis. Betapa mudahnya tindakan pencegahan yang dapat dilakukan kru pesawat pada tragedi - tragedi tersebut untuk menghindari terjadinya kecelakaan fatal. Dalam beberapa dekade kedepan, sepak bola dan dunia penerbangan akan terus menjadi dua dunia yang tak terpisahkan. Maka sudah seharusnya dunia penerbangan untuk terus berbenah dan menerapkan berbagai standar keselamatan dan keamanan yang telah ada dan dirumuskan. Hal ini sangat penting agar kedua dunia ini tetap dapat berjalan dengan baik dan dinikmati semua orang.

--

--