Menara Gading Bernama Teknik Dirgantara

PWK KMPN ITB
Rekon
Published in
5 min readMar 22, 2021

Oleh: Ricky Sutardi (13617051)

Kalau boleh jujur, ide tulisan ini mulai muncul di benak saya selepas menghadiri audiensi aliansi kajian perubahan iklim yang diikuti oleh beberapa himpunan mahasiswa jurusan di ITB. Saat itu, masing-masing lembaga memberikan sumbangsih pemikirannya di bidang masing-masing untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti, “Bagaimana memanfaatkan air hujan secara efektif di kawasan Jatinangor?”, “Mengapa demam berdarah menjadi salah satu penyakit yang akan sering dihadapi seiring perubahan iklim?”, atau “Bagaimana memperbaiki sistem pengolahan limbah untuk mengurangi perubahan iklim?” Tentunya tidak ada yang membantah bahwa setiap lembaga yang tergabung dalam aliansi kajian tersebut sudah mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari untuk menjawab masalah yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Kemudian, saya pun kembali teringat pertanyaan yang dilontarkan salah satu teman saya beberapa minggu sebelumnya: “Mana mobil terbang gue, Rick?” Tentu para pembaca yang cukup mengerti tentang kedirgantaraan bisa menjelaskan 1001 alasan mengapa sampai sekarang belum ada mobil terbang yang dijual bebas layaknya mobil-mobil biasa lainnya. Jangankan mobil terbang, mobil listrik pun masih menjadi barang yang langka ditemukan di Indonesia [1]. Tentu saja, saya pun menjawab teman saya dengan alasan-alasan seperti: masalah lisensi pengemudi, harga, keamanan, dll. Kami meneruskan diskusi sampai akhirnya sepakat di poin, “Ya memang belum bisa ada mobil terbang konvensional.”

Dari dua pengalaman saya di atas, saya menjadi berpikir, “Kok gak aplikabel banget ya Teknik Dirgantara ini?”. Saya menjadi bertanya, apakah Teknik Dirgantara sebegitu terpisah dengan kehidupan kita sehari-hari? Dengan kata lain, seberapa tinggi-kah “menara gading” bernama Teknik Dirgantara? Tentu saja pesawat terbang bukan kendaraan yang bisa begitu saja dibeli dan dimiliki siapa pun. Jikalaupun seseorang mampu membeli wahana terbang, ia tidak akan bisa menerbangkannya tanpa lisensi pilot yang tentunya jauh lebih lama dan intens daripada surat izin mengemudi mobil atau motor biasa.

Bagaimana dengan wahana udara nirawak? Benar bahwa penggunaan wahana udara nirawak, biasa disebut drone, mulai banyak digunakan di Indonesia baik pada penggunaan militer maupun sipil. Meski demikian, tentu mau tidak mau kita harus mengakui bahkan kata drone masih cukup jarang didengar di masyarakat. Mungkin jika dikontekskan di negara lain semisal Amerika Serikat, pengiriman barang menggunakan drone yang dikendalikan dari jarak jauh atau bahkan secara otomatis sudah mulai menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat dan bahkan sudah memiliki regulasi kelaikudaraan drone pengantar barang tersendiri [2].

Akan tetapi, saya pun kembali menyadari bahwa sebenarnya selain pengetahuan tentang sisi teknik di Teknik Dirgantara itu sendiri, saya secara pribadi merasa mendapatkan beberapa “filosofi” menarik setelah kurang lebih 3 tahun masuk ke jurusan Teknik Dirgantara. Mungkin saya tidak akan bisa menjawab pertanyaan teman saya di artikel ini, tapi setidaknya saya akan menunjukkan bahwa Teknik Dirgantara memberikan cukup banyak prinsip dan konsep yang menurut saya sangat berguna bagi kita, bahkan untuk yang tidak berkecimpung di dunia kedirgantaraan sekalipun. Karena itu, saya kurang setuju dengan istilah “menara gading” untuk Teknik Dirgantara karena menurut saya banyak sekali hal yang dapat diaplikasikan dari bidang ini dalam kehidupan kita sehari-hari.

Hal pertama yang paling saya ingat adalah tentang fakta bahwa pesawat terbang tidak bisa dibuat dengan 1 disiplin ilmu saja. Sebagai contoh, sistem elektronik pesawat (avionik) tentunya memerlukan pengetahuan di bidang elektro-teknik serta pengetahuan tentang instrumentasi dan pengendalian pesawat terbang. Hal ini cukup sederhana, tapi seringkali menjadi pengingat saya dalam memandang suatu masalah. Suatu masalah tidak cukup untuk dilihat dari 1 sudut pandang saja, tapi perlu untuk ditinjau dari berbagai arah. Sekalipun kita memang sudah “ahli” dalam suatu bidang masalah, pasti ada saja hal baru yang bisa dibahas dari bidang lain yang memandang masalah tersebut. Melanjuti cerita saya saat menghadiri audiensi aliansi kajian tersebut, banyak pertukaran pikiran dan masukan yang diberikan oleh teman-teman saya di luar lembaga yang melakukan kajian. Misalnya, untuk kajian tentang pengolahan limbah dari mahasiswa Rekayasa Infrastruktur Lingkungan diberikan masukan oleh teman saya yang berasal dari jurusan Teknik Kimia. Saya pun selalu tersadar, di luar ilmu “pesawat”, saya sudah diberikan bekal untuk ilmu-ilmu lain seperti mekanika material, dinamika fluida, simulasi, dan masih banyak lagi. Ilmu-ilmu tersebut lah yang bisa menjadi “jembatan” saya untuk memahami disiplin ilmu lain.

Selanjutnya, konsep optimasi. Menurut pendapat saya (tentu sah-sah saja untuk tidak sepakat), tidak ada bidang yang menjiwai makna optimasi sedalam dan se-”kejam” Teknik Dirgantara. Hanya di bidang ini, penghematan berat wahana sebesar 1% bisa menghemat biaya miliaran rupiah. Sebaliknya, ini berarti setiap persen berat yang tidak berhasil dioptimasi, biaya miliran rupiah harus ditanggung. Dalam hidup bermasyarakat, tentu banyak sekali konsep yang dapat menggantikan “berat” dan “biaya” dalam analogi di atas. Salah satuny adalah investasi dan waktu. Investasi di sini tidak melulu tentang masalah finansial, tapi bisa juga investasi untuk diri sendiri maupun orang lain. Setiap detik yang tidak dioptimasi untuk menjadi hal bermanfaat, lagi-lagi bukan selalu tentang manfaat praktis ataupun instan, satu detik itu juga yang hilang dan tidak bisa diganti lagi.

Kemudian, suatu konsep yang terkait erat dengan optimasi : iterasi atau pengulangan. Kecil sekali (atau bahkan mustahil) untuk mendapatkan hasil yang optimal pada saat perhitungan, desain, maupun usaha pertama dalam perancangan pesawat udara. Konsep se-”wow” apapun pasti memiliki kekurangan dan kekurangan itulah yang harus diperbaiki di pengulangan-pengulangan berikutnya. Karena itu, akan sangat membuang waktu jika justru kita berusaha untuk melakukan suatu hal secara sempurna di usaha pertama. Lebih baik lakukan sesuatu terlebih dahulu meski kita sadar betul hal itu masih memiliki banyak kekurangan, kemudian coba perbaiki kekurangan-kekurangan tersebut

Lalu, terakhir trade-off. Konsep ini mengajarkan saya tidak ada satupun hal yang serba bisa “ter-”. Untuk setiap pilihan dalam desain pesawat, akan ada konsekuensi atas pilihan tersebut. Contoh paling nyata adalah persyaratan material untuk pesawat terbang yang terlihat kontradiktif. Misal, pesawat harus ringan dan kuat. Mengingat konsep optimasi, mungkin kita akan terdorong untuk memilih material paling ringan dan paling kuat.

Kenyataannya, material paling kuat tentunya bukan yang paling ringan dan yang paling ringan tentunya bukan yang paling kuat. Ada trade-off yang harus dilakukan untuk memenuhi kriteria yang diinginkan dari pesawat. Solusinya? Material yang dipakai adalah material yang ringan dan kuat dalam suatu batas tertentu. Batas tertentu itu bisa jadi suatu kriteria seberapa kuat vs seberapa ringan suatu material. Lagi-lagi, tidak ada material yang bisa menjadi material “ter-” di semua kriteria. Yang bisa dilakukan adalah menyeleksi material yang dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut, kemudian mencari material yang paling optimal untuk kasus penggunaan. Bonus poin jika kemudian kita malah bertanya, “Kenapa tidak kita ciptakan material baru yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut?” karena opsi ini pun bisa dilakukan dengan bantuan teman-teman dari Teknik Material.

Kembali ke analogi dalam aplikasi di kehidupan sehari-hari, tentunya banyak sekali trade-off yang harus kita lakukan, baik kita sadari atau tidak. Pembaca yang memutuskan untuk membaca tulisan saya dan saya menulis artikel ini pun sudah membuat trade-off waktu dan perhatian masing-masing. Tentunya, tidak ada jawaban yang benar maupun salah dalam per-trade-off-an ini karena semuanya kembali ke diri kita masing-masing.

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih sudah membaca dan mohon maaf jika ada kesalahan kata dari saya. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi Anda :)

Ricky Sutardi

13617051

P.S.: Jika pembaca ingin tahu lebih lanjut terkait pertanyaan, “Mana mobil terbang saya?”, saya sarankan sekali untuk membaca buku dengan judul “Where Is My Flying Car?: A Memoir of Future Past” karya J. Stors Hall. Teman saya bertanya kepada saya ternyata dalam rangka mengulas buku tersebut.

Referensi:

[1] https://otomotif.kompas.com/read/2020/09/27/152100515/tren-mobil-listrik-di-indonesia-tahun-2020-baru-terjual-ratusan-unit

[2] https://www.faa.gov/uas/advanced_operations/package_delivery_drone/

--

--