Sampah Bermomentum Tinggi

PWK KMPN ITB
Rekon
Published in
6 min readMar 22, 2021

Oleh : Sayid Achmad Munthahar (13617006)

Poster Program Collision Warning System [European Space Agency (ESA)]

“Space Sustainability”

Ketinggian yang didefinisikan sebagai elevasi dari permukaan bumi, adalah parameter yang seringkali memberikan vantage point terbaik bagi pengamatan atau komunikasi. Satelit adalah pengejewantahan terbaik bagi usaha manusia memanfaatkan parameter ini. Sejak peluncuran Sputnik 1 pada tahun 1957, sudah terdapat ribuan satelit buatan manusia yang diluncurkan. Mengorbit bumi mulai dari ketinggian 160 km hingga sekitar 36.000 km dari permukaan bumi, satelit sudah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Mengorbit bumi dalam kondisi hampa udara terlihat sangat damai tanpa gangguan. Meskipun demikian, ada bahaya yang mengintai setiap satelit. Bahaya tersebut adalah space collision (tabrakan antariksa) dengan sampah antariksa. Memang peristiwa ini relatif sulit dipercaya mengingat ukuran satelit yang relatif sangat kecil dibanding luasnya antariksa, akan tetapi peristiwa ini benar adanya. Space debris atau sampah antariksa dapat diartikan sebagai benda yang masih mengorbit bumi namun tidak bermanfaat selayaknya sampah. Sampah antariksa dapat terdiri dari satelit yang sudah tidak beroperasi, sisa-sisa upper stage rocket booster dari peluncuran, hingga fragmen-fragmen dari pecahan suatu satelit yang bertabrakan atau mengalami ledakan.

Hingga April 2020, dilansir dari World Economic Forum, terdapat sejumlah hampir 6.000 satelit buatan yang mengorbit bumi hingga saat ini. Dari angka tersebut, satelit yang masih beroperasi hingga saat ini hanyalah sekitar 2.666 buah [1]. Dapat kita simpulkan, satelit buatan yang masih mengorbit bumi mayoritas hanyalah satelit yang sudah tidak operasional. Jika dijumlah dengan sampah antariksa lain seperti upper stage rocket booster dan fragmen-fragmen satelit, terdapat sekitar 34.000 sampah antariksa dengan ukuran lebih dari 10 cm yang masih mampu dilacak hingga saat ini oleh US Space Surveillance Network [2].

Tercatat, terdapat beberapa peristiwa close-call (hampir terjadi tabrakan) yang terjadi pada tahun 2020 saja [3]. International Space Station pun perlu melakukan maneuver penghindaran beberapa kali dalam setahun [3]. European Space Agency (ESA) perlu melakukan rata-rata dua kali maneuver penghindaran pada setiap wahana antariksanya setiap tahun. Tentu maneuver tersebut tidaklah mudah dan murah. Pendeteksiannya memerlukan monitoring yang konstan serta maneuver perlu direncanakan dengan matang. Propelan pun digunakan untuk melakukan maneuver ini[4]. Amat disayangkan apabila banyak dari propelan satelit yang habis hanya untuk melakukan maneuver penghindaran.

Bertabrakan dengan ukuran-ukuran sampah antariksa yang kecil seperti pecahan satelit terlihat tidak signifikan. Namun, dengan kecepatan yang tinggi hingga 14 km/s, momentum dari impak dengan benda kecil pun akan cukup untuk merusak atau bahkan menghancurkan suatu benda orbit [5]. Terlebih lagi jika bertabrakan dengan sesama satelit. Pada 10 Februari 2009, satelit komunikasi Iridium-33 bertabrakan dengan satelit militer Kosmos 2251 milik Rusia yang sudah tidak berfungsi. Serpihan-serpihan satelit dari peristiwa tersebut menyebabkan tersebarnya sampah antariksa yang cukup banyak pada ketinggian orbit sekitar 800 km di atas permukaan bumi [6]. Hal tersebut kemudian meningkatkan jumlah sampah antariksa, yang kemudian memperbesar kemungkinan terjadinya impak. Salah satu implikasi dari fenomena positive-feedback ini adalah sulitnya melakukan peluncuran ke luar angkasa baik berawak maupun tidak berawak pada generasi - generasi yang akan datang. Fenomena ini dinamakan Kessler Effect, Didasari oleh Donald J. Kessler, seorang peneliti di NASA yang mengemukakan teori mengenai fenomena ini pada tahun 1978 silam [7]. Lantas, isu ini menjadi isu utama dalam aspek space sustainability.

Mewujudkan Space Sustainability

Ilustrasi Antariksa [European Space Agency (ESA)]

Berbeda dengan sampah-sampah di darat yang mampu di daur ulang, hingga saat ini belum ditemukan konsep atau teknologi yang mampu mendaur ulang sampah antariksa. Usaha-usaha dalam mewujudkan space sustainability yang ada saat ini masih terbatas pada aspek pencegahan atau penanganan.

Usaha pencegahan diwujudkan dengan end-of-life disposal. Satelit-satelit yang sudah habis “masa bakti” nya dengan sengaja akan “dibuang” dengan cara dimasukkan ke atmosfer bumi (de-orbiting) untuk kemudian terdisintegrasi atau dimasukkan ke graveyard orbit. Dimasukkan ke atmosfer bumi adalah cara yang praktis bagi satelit-satelit yang berada di Low Earth Orbit (LEO) sedangkan untuk satelit yang mengorbit pada ketinggian tinggi seperti geostationary orbit (GEO), satelit akan dimasukkan ke graveyard orbit dikarenakan massa propelan yang dibutuhkan untuk memindahkan satelit dari GEO ke graveyard orbit jauh lebih sedikit dibandingkan massa yang dibutuhkan untuk melakukan de-orbiting [8]. Penggunaan reusable launch vehicle, terutama pada bagian upper stage, juga merupakan salah satu usaha pencegahan.

Usaha penanganan sampah antariksa secara aktif — Active space debris removal — dilakukan terhadap sampah yang tidak bisa dikendalikan. Akhir-akhir ini, beberapa usaha penanganan sudah direncanakan. ESA melalui program ClearSpace-1 berencana untuk melakukan demonstrasi teknologi active space debris removal pada tahun 2025. Satelit yang diluncurkan oleh program ini akan menembakkan jaring untuk menangkap suatu sampah antariksa yang berasal dari peluncuran Vega VV02. Satelit ini kemudian akan melakukan de-orbiting bersama dengan space debris yang ditangkapnya [9]. Usaha penanganan juga merambah ke perusahaan swasta. Astroscale, sebuah perusahaan yang fokus pada penanganan sampah antariksa, berencana untuk melakukan misi demonstrasi teknologi debris approach serta identification sebagai fase pertama dari program penanganan sampah antariksa-nya [10].

Hingga saat ini pun, beberapa metode-metode penanganan sampah antariksa secara aktif yang cukup inkonvensional telah dikembangkan. Diantaranya adalah laser-based, ion beam shepherd-based, dan sail-based. Laser-based method memanfaatkan laser yang ditembakkan untuk memperturbasi orbit dari sampah antariksa. Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh beberapa peneliti, metode ini cukup menjanjikan namun perlu diuji kelayakannya dalam kondisi nyata. Ion beam shepherd-based method (metode berbasis pancaran ion) bekerja dengan menembakkan ion pada sampah antariksa untuk mendorongnya. Sail-based method (metode berbasis layar) bekerja dengan menggunakan layar — selayaknya pada kapal layar — dan memanfaatkan solar wind untuk memperturbasi orbit dari sampah antariksa yang ditangkapnya untuk kemudian mengalami de-orbiting atau dipindah ke graveyard orbit [11].

Sekilas, usaha penanganan yang telah dijelaskan sebelumnya tampak tidak signifikan. Peluncuran suatu wahana antariksa membutuhkan biaya yang tidaklah murah. Apabila penanganan satu sampah antariksa membutuhkan satu peluncuran, dibutuhkan banyak sekali peluncuran hanya untuk menangani seluruh sampah antariksa. Namun berdasarkan pemodelan oleh ESA, penanganan 5–10 sampah antariksa dalam setiap tahun cukup untuk mengurangi probabilitas terjadinya space collision dengan tiga hal yang dijadikan kriteria dalam pemilihan sampah antariksa yang akan ditangani yaitu: Sampah antariksa yang ditangani harus memiliki massa yang besar,memiliki probabilitas tabrakan yang besar, serta mengorbit di ketinggian tinggi[9]

Penutup

Aspek sustainability memang menjadi topik yang sangat hangat pada abad-21 ini. Tidak dapat dipungkiri kalau aspek ini pun merambah hingga level antariksa. Ketergantungan manusia pada satelit dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam aspek navigasi dan komunikasi menjadi bukti kalau keberlanjutan antariksa adalah tanggung jawab umat manusia bersama. Munculnya pelaku-pelaku industri antariksa dari sektor swasta seperti SpaceX, Astroscale dan Blue Origin menjadi salah satu pertanda bahwa berkontribusi untuk sektor antariksa tidak hanya mampu dicapai oleh institusi-institusi pemerintahan.

Berbicara realita, memang sangat sulit untuk berkontribusi dalam keberlanjutan antariksa pada level individu. Namun, sebagai insan-insan calon penerus garda terdepan ilmu kedirgantaraan, informasi ini menjadi bukti kalau aspek keberlanjutan dalam level dan segi apapun, akan selalu ada dan selalu penting untuk dipertimbangkan.

[1] Who owns our orbit: Just how many satellites are there in space? https://www.weforum.org/agenda/2020/10/visualizing-easrth-satellites-sapce-spacex. Diakses pada 7 Maret 2021

[2] What is space junk and why is it a problem?. https://www.nhm.ac.uk/discover/what-is-space-junk-and-why-is-it-a-problem.html. Diakses pada 7 Maret 2021

[3] 2 large pieces of space junk nearly collided in ‘high risk’ situation. https://www.nationalgeographic.com/science/article/two-large-pieces-of-space-junk-have-a-high-risk-of-colliding. Diakses pada 7 Maret 2021

[4] The cost of avoiding collision https://www.esa.int/ESA_Multimedia/Images/2021/02/The_cost_of_avoiding_collision#.YETbwhLEfwQ.link. Diakses pada 7 Maret 2021

[5] Hypervelocity impacts and protecting spacecraft https://www.esa.int/Safety_Security/Space_Debris/Hypervelocity_impacts_and_protecting_spacecraft . Diakses pada 7 Maret 2021

[6] Celestrak:Iridium-33/Kosmos-2251 Collision http://celestrak.com/events/collision/. Diakses pada 7 Maret 2021

[7] Micrometeroids and Orbital Debris. https://www.nasa.gov/centers/wstf/site_tour/remote_hypervelocity_test_laboratory/micrometeoroid_and_orbital_debris.html. Diakses pada 7 Maret 2021

[8] Mitigating space debris generation https://www.esa.int/Safety_Security/Space_Debris/Mitigating_space_debris_generation. Diakses pada 7 Maret 2021

[9] Active debris removal https://www.esa.int/Safety_Security/Space_Debris/Active_debris_removal. Diakses pada 7 Maret 2021

[10] Active debris removal, Astroscale https://astroscale.com/services/active-debris-removal-adr/. Diakses pada 7 Maret 2021

[11] Mark, et al. Review of Active Space Debris Removal Methods. 2019

--

--